Bendera Merah Putih dan Pemuda
Hari itu, langit di desa kecil di lereng Gunung Merapi terlihat cerah, seolah menyambut penuh semangat peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke-79. Desa itu bernama Giritirta, tempat dimana tradisi dan sejarah masih begitu kuat dipegang oleh para warganya. Setiap tahun, desa ini mengadakan upacara bendera di lapangan desa, dihadiri oleh seluruh warga, tua dan muda.
Dika, seorang pemuda berusia 17 tahun, berdiri di sudut lapangan dengan mata berbinar. Tahun ini, dia dipercaya untuk menjadi pembawa bendera. Bagi Dika, ini adalah kehormatan besar yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Meskipun hanya pemuda desa, Dika selalu memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, terinspirasi oleh cerita-cerita perjuangan kakeknya yang seorang veteran perang kemerdekaan.
Pagi itu, Dika bangun lebih awal dari biasanya. Dia mengenakan seragam putih-putih dengan hati berdebar. Di dalam pikirannya, terbayang wajah kakeknya, Pak Marno, yang kini sudah berusia 89 tahun. Pak Marno adalah saksi hidup perjuangan kemerdekaan, dan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, dia selalu duduk di kursi depan, mengenakan medali kehormatannya, dengan tatapan penuh kebanggaan.
Dika berjalan menuju rumah kakeknya sebelum menuju lapangan. “Kek, aku mau berangkat. Doakan aku ya, Kek,” ucapnya sambil menunduk hormat. Pak Marno yang duduk di teras rumah tersenyum hangat. Wajah tuanya penuh kerutan, tetapi matanya masih menyala seperti dulu, saat dia bercerita tentang pertempuran di Surabaya.
“Semangat, Nak. Jangan pernah lupakan jasa para pahlawan. Kibarkan bendera itu dengan bangga, seperti mereka mengibarkan Merah Putih di medan perang,” kata Pak Marno sambil menepuk pundak Dika.
Dika mengangguk dan berpamitan. Dalam hatinya, dia berjanji akan membawa bendera itu dengan sepenuh hati, sebagai bentuk penghormatan kepada semua pejuang yang telah gugur demi kemerdekaan Indonesia.
Sesampainya di lapangan, suasana sudah ramai. Anak-anak kecil berlarian dengan gembira, para ibu sibuk mempersiapkan makanan untuk acara syukuran, sementara para bapak memasang bendera di sepanjang jalan. Dika berjalan menuju barisan Pasukan Pengibar Bendera, merasa tegang tetapi juga bangga. Dia berdiri di barisan depan, memegang bendera Merah Putih yang akan dikibarkan dalam hitungan menit.
Saat detik-detik proklamasi diperingati, seluruh lapangan sunyi. Hanya terdengar suara gemerisik daun dan angin yang seakan ikut khidmat. Dika merasakan jantungnya berdegup kencang ketika lagu Indonesia Raya mulai berkumandang. Dengan langkah tegap, dia maju membawa bendera, diiringi pandangan kagum dari seluruh warga desa.
Namun, tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari arah rumah Pak Marno. Warga langsung panik, dan seorang pemuda datang berlari menuju Dika. “Dika, kakekmu… beliau pingsan!” katanya terengah-engah.
Tanpa berpikir panjang, Dika menyerahkan bendera kepada rekannya dan berlari secepat mungkin menuju rumah kakeknya. Hatinya berdebar kencang, bukan hanya karena khawatir, tapi juga karena rasa bersalah meninggalkan tugas penting itu.
Saat tiba di rumah, dia melihat kakeknya terbaring lemah di atas dipan, dengan wajah pucat. Ibu Dika dan beberapa tetangga sudah berada di sana, mencoba memberi pertolongan pertama. Pak Marno membuka matanya perlahan ketika merasakan kehadiran Dika.
“Kek, aku di sini,” kata Dika dengan suara bergetar, menahan air mata.
Pak Marno tersenyum lemah. “Maafkan kakek, Nak… Kakek ingin sekali melihat kamu mengibarkan bendera itu… tapi mungkin waktunya sudah tiba…” ucapnya terputus-putus.
Dika menggenggam tangan kakeknya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Jangan bicara begitu, Kek. Kakek harus kuat,” katanya dengan suara serak.
“Kibarkan bendera itu untuk kakek… dan untuk semua yang telah berjuang demi negeri ini…” kata Pak Marno perlahan, sebelum akhirnya matanya tertutup, dan napasnya berhenti.
Dika merasakan dunia seolah berhenti berputar. Kakek yang sangat dia cintai telah pergi, tepat di hari peringatan kemerdekaan yang ke-79. Dengan air mata yang mengalir deras, Dika mencium tangan kakeknya untuk terakhir kalinya.
Meski hatinya hancur, Dika tahu bahwa dia harus kembali ke lapangan. Dia menghapus air matanya dan berlari kembali, membawa semangat kakeknya yang masih membara di dalam dadanya.
Ketika Dika tiba di lapangan, upacara hampir selesai. Namun, dia masih memiliki kesempatan untuk mengibarkan bendera, seperti yang diinginkan kakeknya. Dengan mata yang berkaca-kaca, Dika mengambil kembali bendera itu, dan dengan langkah penuh tekad, dia mengibarkannya ke puncak tiang, membiarkan Merah Putih berkibar di bawah langit biru.
Saat bendera mencapai puncak, angin bertiup kencang, membuatnya berkibar megah. Dika berdiri tegap, menatap bendera dengan perasaan campur aduk. Di balik setiap kibaran itu, Dika melihat bayangan kakeknya, tersenyum bangga.
Upacara berakhir dengan hening. Tapi bagi Dika, hari itu adalah awal dari tanggung jawab besar untuk melanjutkan perjuangan, menjaga kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Dika tahu, kemerdekaan bukan sekadar bendera yang berkibar, tapi juga semangat, pengorbanan, dan harapan yang harus terus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar