Aida Fitria, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cincin Kenangan

Cincin Kenangan

Malam semakin pekat, desau angin di luar sana memainkan pucuk-pucuk tebu dengan nakalnya. Fia menarik selimut menutupi tubuhnya yang mulai letih. Udara dingin terasa semakin menusuk kulit putihnya. Sudah sepertiga malam, mata Fia tak mau terpejam jua. Keputusan ayahnya untuk menerima pinangan Boni membuatnya putus asa. Angannya melayang jauh entah kemana. Pikiran mengembara mencari sesosok bayang yang telah memberinya sejuta harap.

“Da Marta, engkau dimana?” Desah Fia dalam hati. Tak terasa, bulir bening merembes dari netranya yang sejak tadi telah mengabur. Bulir bening yang sejak kemaren selalu mengaburkan netranya, akhirnya jatuh jua. Pertahanannya jebol, mengalir menganak sungai, di pipinya yang tirus. Ya, Fia tak kuasa menahan rasa yang seakan menyesak sukma. Hingga raganya merasa tiada daya. Desakan orang tuanya untuk segera menikah membuat Fia bimbang. Sementara Marta, sosok lelaki yang biasa dipanggilnya Uda, yang telah memberinya sejuta janji tak jua kunjung kembali. Sosok yang begitu dekat, tempat Fia berbagi kisah dan kasih sejak masa sekolah dulu. Sejak mereka sama-sama menimba ilmu di kota dingin tanpa salju. Meskipun Marta adalah seniornya, namun dia mampu menaklukkan hati dan perasaan Fia. Sosok lelaki yang telah mengenalkan Fia pada cinta pertamanya.

Fia ingat saat-saat terakhir pertemuan mereka. Ketika mereka sama-sama mendapatkan predikat lulus dari sekolah. Mereka melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda, dua kota yang dipisahkan oleh luasnya samudera. Kala itu Marta memberi sebuah sajadah bewarna kuning yang sampai sekarang selalu dijadikan tempatnya bersujud. Tempatnya melabuhkan doa-doa panjang di sepertiga malam. Dan sajadah itu, mengingatkan saat-saat terakhir kebersamaan mereka. Fia ingat janji sehidup semati yang selalu terucap.

Awalnya komunikasi mereka berjalan lancar, melalui surat cinta yang selalu dikirim Marta untuk Fia. Ribuan kata cinta merasuk sukma selalu terucap dalam larik-larik kalimatnya. Dan Fia selalu membalas meski Marta sering berpindah alamat. Fia tak peduli entah terdampar kemana surat cintanya. Yang dia ingat hanyalah untaian kata penuh asa yang selalu terukir menemani hari-hari mereka.

Pernah suatu ketika Marta pulang, setelah lima tahun kepergiannya. Waktu itu Fia sedang melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi kota P, dan Marta sudah bekerja di sebuah perusahaan tambang minyak lepas pantai. Mereka sempat bertemu, menikmati indahnya mentari tenggelam di kaki langit senja itu. Menikmati sepiring rujak sambil menyaksikan riuhnya ombak pantai yang saling berkejaran. Hingga malam menjelang, saat rembulan mulai mengintip di cakrawala, menyaksikan mereka memadu kasih, mengikat janji sehidup semati. Dan jauh di atas sana, bintang gemintang seakan memandang mereka penuh jelusi. Saat itulah Marta menyematkan sebentuk cincin di jari manisnya.

“Jagalah hatimu, Fia, tunggu Uda. Uda akan kembali menjemputmu, kita akan memasuki babak baru di depan penghulu, sayang”, kata Marta saat itu.

Fia merasa bahagia, angannya seakan melayang jauh menembus langit. Tak sepatah katapun meluncur dari bibirnya. Ucapan Marta seakan mengaduk-aduk perasaanya. Matanya terpejam, seakan ingin mendengar lagi kata-kata itu muncul dari bibir Marta. Ada bening mengambang di netranya. Tak sanggup rasanya berpisah lagi.

“Dua tahun lagi sayang, Uda akan kembali. Uda mencintaimu, karenanya uda akan kembali untukmu”, kata Marta meyakinkannya lagi sambil menyeka bening disudut mata Fia dengan ujung jemarinya. Namun Fia tak jua mampu bersuara, ada denyut rasa menggugah jiwanya, ada ragu menyelimuti palung hatinya. Di dadanya berkecamuk berjuta rasa.

Saat itu Marta meyakinkan Fia untuk bersabar menanti kedatangannya. Sebagai pekerja tambang lepas pantai, Marta tak punya banyak waktu untuk berlama-lama dengannya. Cuma sekejap kehadirannya, menyisakan rindu di ruang kalbu. Menyisakan rindu yang membeku.

Dan sekarang, puluhan kali purnama telah terlewati. Rasa rindu di hati Fia semakin membuncah. Marta seakan hilang di telan bumi. Surat-suratnya tak lagi datang menghampiri. Fia bagaikan layangan tanpa teraju. Terombang ambing membelah cakrawala dunia. Terhempas kian kemari dipermainkan sang bayu. Fia seakan hilang kepercayaan terhadap sebuah janji suci.

Fia hampir terpuruk dalam keputus asaan. Fia tak tahu lagi harus menghubungi Marta kemana. Yang ia tahu, kekasih hatinya bekerja di sebuah negara penghasil minyak. Ia ingat pesan Marta dalam suratnya yang terakhir, agar menunggunya kembali ke Indonesia, menunggunya datang untuk mewujudkan janji suci di sebuah altar pernikahan. Fia menunggu dan menunggu, hingga malam ini, entah sudah berapa puluh purnama terlewati, sejak surat terakhirnya.

“Da Marta, haruskah kuakhiri penantian ini?” batin Fia nelangsa. Bagaimanapun juga, Fia tak ingin mengingkari janjinya. Tak ingin dia menjadi pengkhianat cinta. Apa nanti jawabannya jika Marta suatu saat kembali? Tak ada alasan lagi untuk menolak pinangan Boni, teman kampusnya yang selalu setia membantu. Teman kuliah yang sejak dulu memang menaruh hati padanya. Ah, Boni memang berhasil mengambil hati kedua orang tuanya. Namun dia tak mampu menggoyahkan kesetiaan Fia, dia tak mampu merengkuh hati Fia yang telah beku. Besok pagi keluarga Boni akan datang meminangnya. Fia harus bisa memberi ketegasan pada mereka. Terutama pada kedua orang tuanya. Mereka yang selalu mengharapkan pernikahan Fia berlangsung secepatnya.

“Fia, kami sudah tua dan sakit-sakitan. Usiamu juga tidak muda lagi, Nak. Kalau kau sayang sama orang tuamu, segeralah menikah.” Kata ibu waktu itu. Fia semakin tergugu dalam ragu, terbenam dalam tangisnya. Ah, bagaimana mungkin aku akan menikah dengan orang yang sama sekali tak pernah ada di hati? Bagaimana bisa aku hidup bersama orang yang tak dicintai?.

“Da Marta, datanglah, penuhi janjimu. Beri aku kepastian, Da…”, jerit Fia dalam hati. Ingin rasanya berteriak lantang, agar semesta tahu betapa sakitnya penantian ini. Fia menggenggam kuat kepalanya sekedar melepaskan rasa yang berkecamuk dan hasrat yang membuncah. Perlahan Fia berdiri mendekati jendela kamar. Dibukanya daun jendela berbingkai kayu. Terpaan angin malam meyambutnya di penghujung waktu. Udara dingin semakin ganas menerpa wajahnya. Fia menelan salivanya yang pahit. Dia menatap nanar ke ujung jalan, membayangkan sosok Marta . Berharap udanya itu akan datang menjemput.

“Da Marta, andai kau datang malam ini, aku akan ikut kemanapun kamu bawa”, rintih Fia lagi dalam hati. Namun hingga pagi menjelang, saat sang rembulan mulai bersembunyi dari garangnya si raja langit, Marta yang dinantinya tak pernah ada. Habislah sudah harapan Fia. Tak ada waktu lagi untuk kembali merajut kasih seperti dulu. Tanpa menghiraukan dinginnya udara, subuh itu Fia membasuh wajahnya yang sembab. Keputusasaan melingkupi relung hatinya yang rapuh. Dalam doa panjangnya subuh itu, Fia meminta petunjuk dari yang maha Agung. Fia memasrahkan diri dalam sujudnya.

“Da Marta, maafkan aku. Aku tak hendak jadi pengkhianat cinta kita. Namun aku tak berdaya melawan perputaran waktu. Dua tahun yang kau janjikan telah terlewati tanpa sebuah kepastian” kata Fia sambil mendesah panjang.

Dipeluknya sekali lagi sajadah kuning pemberian Marta. Di kecup mesra cincin yang melingkar di jari manisnya. Tanpa sadar Fia menangis sesenggukan. Ada rasa yang tak terkatakan, ada rindu yang tak tersampaikan, ada luka yang takkan terobati. Ingin rasanya berlari, meninggalkan seisi rumah yang selalu menuntutnya segera menikah. Tapi Fia tak hendak jadi anak durhaka. Terbayang raut lusuh ayah dan ibunya. Terbayang adiknya yang masih membutuhkan bimbingannya.

Sejenak Fia tengadah, mencoba mengukir senyum di pipinya yang basah. Apa dan bagaimanapun jua, keputusan harus segera diambil. Namun, semanis apapun senyum yang diukir di bibirnya, sederas itu juga bulir bening membasahi pipinya. Entah sudah berapa banyak bulir itu mengalir. Senyum dan tangis seakan berlomba, mengaduk-aduk rasa di hatinya yang papa. Tuhan, beginikah takdir cintaku? Sesakit inikah akhir penantianku?

Hujan rinai di pagi itu, seakan ikut merasakan pedihnya akhir penantian Fia. Perlahan, dibukanya cincin yang melingkar di jari manisnya, dicium lembut penuh kasih. Fia mengambil kotak kecil dari lacinya, dan memasukkan cincin kenangan ke dalamnya, sambil berkata dalam hati, ”Da Marta, ku harap, suatu saat cincin ini akan menemui tuannya kembali. Karena cinta kan membawa kita bersatu lagi”.

Tugas 1 Kelas menulis cerpen.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sangat menawan kisahnya. Sehat dan sukses selalu bucantik

21 Dec
Balas

Trims bu

14 Jan

Kan mantap cerpen Uni tu. Keren

16 Sep
Balas

He he, baru pemula, sebelumnya ndak yakin bisa.

17 Sep

Keren Bunda. Salam literasi. Kita ketemu di kelas yang sama. Alhamdulillah bisa follow Bunda.

16 Sep
Balas

Trims bu, ketemu di kelas yang sama ya.

17 Sep

Semangat, Ibu. Cerpennya keren dan menarik. Semoga semakin sukses. Salam literasi.

21 Feb
Balas

Keren banget diksinya fit... bagus sekali cerpennya... sampai jumpa di bedah cerpen.. salam sukses selalu

17 Sep
Balas

Trims Fia, nggak yakin bisa sebenarnya.

17 Sep

Harus yakin say...dirimu sangat berbakat... usahakan untuk ikut tatangan lagi...agar cerpen karyamu bisa terkumpul untuk di bukukan.. semangat ya kawan.. dirimu pasti bisa...

17 Sep



search

New Post