Cucu Pertama di Masa Pandemi
Cucu Pertama di Masa Pandemi
Ini adalah pengalamanku di tengah masa pandemi covid 19 ini. Untuk memutus mata rantai perkembangan virus covid 19 ini pemerintah menerapkan masa PSBB di beberapa wilayah. Termasuk wilayah Sumatera Barat. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah, anakku tinggal di kota Padang, yang merupakan zona merah covid 19. Dan dia sedang menunggu kelahiran anak pertamanya. Bukannya aku tidak percaya pada dokter yang menanganinya nanti. Tapi karena sejak awal dokter sudah memberi sinyal kalau anakku tidak akan bisa melahirkan secara normal. Dan itu adalah cucu pertama kami. Tentunya anakku dan suaminya butuh pendampingan dari keluarga.
Jadwal operasi sudah disepakati dengan dokter, yaitu hari Sabtu tanggal 09 Mei nanti. Sulungku telah mengabarkan jadwal operasinya. Namun diluar dugaan, tiga hari sebelum hari yang disepakati, menjelang sahur kami mendapat berita bahwa anakku sedang menuju ke rumah sakit. Karena sesuatu hal, pagi ini juga dia harus menjalani operasi melahirkan. Tidak membutuhkan waktu lama, kami segera berkemas dan selesai shalat subuh segera berangkat menuju kota Padang. Harap-harap cemas kami merambah kabut subuh itu. Jalanan masih sepi ketika kami sampai di perbatasan kota Padang, tepatnya di Lubuk Peraku. Kami berhenti ketika ada petugas mengisyaratkan mobil untuk menepi.
“Cek poin dulu, Pak,” kata petugas di sana. Dengan patuh kami bertiga turun. Kami diarahkan untuk cuci tangan di tempat yang sudah disediakan, lalu menuju ruangan berbatas terpal untuk memeriksakan suhu tubuh. Setelah menjawab beberapa pertanyaan, akhirnya kami dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
Sampai di sebuah rumah sakit di kota Padang, kami harus menunggu lebih kurang lima jam sampai anakku bisa ditemui. Selama lima jam itu, kami hanya bisa menunggu di depan rumah sakit, kadang pindah ke tempat parkir. Karena untuk masuk sekedar memberikan semangat kepada suaminya yang sedang menunggu tidak bisa. Penjagaan ketat sekali. Kami harus bersabar menunggu, meski terik mentari seakan membakar tubuh kala itu. Lalu lalang petugas rumah sakit yang menggunakan APD lengkap menciutkan nyaliku. Ya, Allah selamatkan anak dan cucuku, doaku dalam hati.
Menjelang sore, aku dan suami baru bisa menemui anak dan cucuku. Mereka sudah dibawa ke ruang perawatan. Malam itu, diputuskan, aku yang akan menunggui putriku di rumah sakit. Karena hanya satu orang anggota keluarga yang diijinkan menunggui pasien. Malam semakin larut, mentari sudah nyenyak di peraduannya. Sementara putriku yang baru selesai dioperasi mulai merasakan reaksi hebat di tubuhnya, lantaran pengaruh obat bius sudah mulai hilang. Ku perhatikan wajahnya, pucat pasi. Keringat dingin mengalir dari tubuhnya. Erangan dan rintihan yang keluar dari mulutnya seakan mengiris hatiku. Kubisikkan Asma Allah di telinganya. Kuingatkan dia agar selalu beristigfar, mengharap pertolongan Allah. Tak tega hatiku melihat putriku merintih kesakitan. Seandainya bisa, ingin rasanya aku menggantikan rasa sakit itu.
Tidak sampai di situ saja, cucuku yang baru sekian jam menghirup udara di dunia, mulai merengek. Instingku mengatakan, si mungil ini haus atau lapar. Tapi apa daya, putriku belum sanggup memberikannya ASI. Karena keadaannya sendiri belum stabil. Berulangkali ku coba minta bantuan perawat yang ada malam itu. Tapi aku tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Duh, benar-benar kesabaranku diuji. Tak ada yang bisa kulakukan, selain menatap mereka bergantian. Sesekali kocoba menggendong sang bayi. Meninabobokkannya, walau tangan ini sebenarnya gemetar karena sudah lama tidak menggendong bayi.
Untuk kesekian kalinya, kucoba lagi mendekati sang perawat. Dengan wajah memelas, kusampaikan keadaan anak dan cucuku. Tapi lagi-lagi aku disuruh menunggu, karena dokter jaga sedang ada pasien juga. Aku tidak bisa menampik, memang keadaan waktu itu di ruangan perawat terlihat sibuk sekali. Petugas berpakaian APD lengkap silih berganti, keluar masuk ruangan. Aku memaklumi keadaan mereka. Di masa pandemic ini, banyak paien yang harus mereka layani.
Aku kembali ke kamar, ke tempat anakku terbaring merintih kesakitan. Sekilas kulihat dia tertidur, tapi kembali terbangun dengan rintihan yang keluar dari mulutnya. Aku hanya bisa mambelai rambutnya, mengusap keringat dinginnya. Kubisikkan ke telinganya, agar dia sabar menjalaninya. Dalam hati aku berdoa, semoga Allah meringankan rasa sakit pada anak dan cucuku. Aamiin.
Sekian
#Tugas Pak Eko. Sagusabu online 1
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
pergulatan yang luar biasa ya bu aida. uji kesabaran yang menyebabkan kita makin dekat denganNya
Iya bunda, trims mampirnya.
Luar biasa perjuanganmu ibu sekaligus nenek. Hebat sekalii
Terimakasih bu
Subhanallah,, semoga semuanya sehat ya Bun
Aamiin.
Tulisan Ibu keren, selamat atas kelahiran cucunya.
Terimakasih Pak. Salam kenal
makin inspiratif dan semoga makin sukses
Aamiin
Selamat atas kelahiran cucu pertamanya.
Trims pak
Pengalaman pertama yang sangat mendebarkan...Mantap... luar biasa Diajeng.
Begitulah bu, sangat mendebarkan. Trims bu