Aida Fitria, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Penantian Tak Berujung (Part 2)

Penantian Tak Berujung (Part 2)

#Tantangan Gurusiana hari ke 4

Sekali lagi Rara mencoba mengintip dari balik kaca. Sosok yang berdiri di balik pintu itu adalah ayahnya. Ya, meski mereka sudah lama tidak bertemu, tapi dia masih ingat dengan sosok itu, sosok yang selama ini dipanggilnya ayah. Rara tidak berani membuka pintu rumahnya. Rasa rindu yang selam ini dipendamnya berubah menjadi perasaan takut manakala ingat sifat kasar ayah dahulu, ketika mereka masih bersama.

            Tok tok tok, suara itu terdengar lagi. Kali ini disertai dengan suara pintu yang berusaha dibuka dari luar. Rara semakin cemas. Hatinya ciut.

            “Assalamualaikum,” terdengar suara ayah dari luar.

            “Rara…,” suara itu terdengar memanggil namanya. Ragu-ragu Rara memutar kunci yang tergayut di pintu, dan membukakannya. Dilihatnya, ayah sudah berdiri di hadapannya. Ayahnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Jenggot  juga kumisnya juga terlihat mulai memutih. Sudah banyak perubahan kelihatannya.

            “Rara, ayah kangen, Nak!,” kata ayah sambil berusaha memeluk Rara. Rara diam saja, tanpa ekspresi.  Entah mengapa, rasa rindu yang selama ini membuncah di dadanya hilang begitu saja. “Rara mau kan ikut dengan ayah?,”  tanya ayah lagi, kali ini sambil mengangkat tubuh Rara ke pangkuannya.

            “Tidak, Ayah,” jawab Rara sambil berusaha melepaskan diri dan turun dari pangkuan ayah. Rara ingat pesan ibu, bahwa Rara tidak boleh pergi kemanapun dan sama siapapun tanpa ijin dulu dari ibu.

            “Kenapa, Rara?,” Tanya ayah.

            “Kata ibu, Rara tidak boleh pergi sebelum mendapat ijin dulu,” Rara mecoba menjelaskan. “Ah, gampang itu, nanti biar ayah yang bilang sama ibu. Rara tidak usah cemas,” kata ayah, kali ini dia langsung mengangkat tubuh kecil Rara ke mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah. Rara berontak, tapi tenaganya yang lemah tak mampu melawan tangan kokoh yang memegangi tubuhnya.

***

                Rara duduk sambil menangis di kursi tamu sebuah rumah yang sangat asing baginya. Ia ingat ibunya. Pasti ibu sudah pulang, dan panik mancarinya. Rara ingin segera pulang ke rumah. Bayangan wajah ibu dan dua kakaknya silih berganti menghias pelupuk matanya. Air matanya semakin deras. Kue coklat kesukaanya yang dibelikan ayah tak disentuhnya sama sekali.

            “Rara, kenapa menangis?,” Tanya ayah yang tiba-tiba keluar dari kamarnya bersama seorang wanita, yang kelihatannya lebih muda dari ibunya. Rara kaget, oh, inikah sebabnya ayah pergi meninggalkan mereka? Batinnya bertanya-tanya. Rara mendadak menjadi muak. Kebencian semakin menggunung di hatinya. Apa lagi melihat sikap manja yang diperlihatkan oleh wanita itu pada ayahnya.. Tangisan Rara semakin menjadi, dia ingin segera pulang.

            “Rara mau pulang,  Ayah,” kata Rara sambil tetap menangis.

            “Besok saja pulangnya, besok siang ayah akan mengantarkan Rara kembali. Jangan cemas anak manis, kan Rara di sini sama ayah dan tante Sely,” kata ayah melihat kearah wanita itu.  Oh, namanya Tante Sely, batin Rara sambil melihat ke arah wanita itu. Tante itu tersenyum manis kepada Rara. Tapi Rara tidak hendak membalas senyumannya. Tante itu yang telah membuat keluarganya hancur.

            “Ayo, Rara, sekarang kita makan malam dulu ya. Rara dari tadi belum makan bukan?,” bujuk tante Sely. Tante Sely menggamit tangan Rara, dan membawanya ke meja makan. Rara tak sanggup menolak, bagaimanapun bencinya, tapi dia harus menghormati orang yang lebih tua darinya. Itu yang diajarkan ibu selalu kepadanya.

            Di meja makan tante Sely mengambilkan nasi dan lauk untuk Rara. Rara ingat, dari tadi dia belum makan. Perutnya keroncongan. Malam itu mereka makan bertiga, Rara, ayah, dan tante Sely. Ketika makan ayah dan tante memperlihatkan sikap yang baik sekali kepada Rara. Mereka melayani Rara seperti biasa ibu kepada Rara. Tidak terlihat sikap kasar ayah sedikitpun. Berbeda dengan ketika ayah masih bersama mereka.  Namun begitu, Rara tetap ingin pulang ke rumah, ke pangkuan ibu. Rara ingat ibu, pasti beliau cemas dan khawatir saat ini. Ibu pasti panic mencari keberadaan Rara.  

            “Yah, Rara mau menelpon ibu, boleh ya, yah?” Tanya Rara sambil memandang ayah. Ayah terlihat ragu, beberapa saat kemudian dia baru mengiyakan. “Boleh, tapi jangan lama-lama ya.” 

              Setelah menelpon ibu, hati Rara sedikit tenang. Meski awalnya ibu nampak keberatan dan sangat tidak suka kalau Rara menginap di tempat ayah. Tapi setelah ayah menjanjikan akan mengantar Rara kembali besok siang, dengan sangat terpaksa ibu akhirnya mengijinkan. Malam itu Rara menginap di rumah ayah, rumah yang sangat asing baginya. Matanya tak mau terpejam meski malam semakin larut. Rara ingat ibunya, pasti saat ini ibu termenung dan sedih memikirkannya. Tapi Rara harus bersabar menunggu sampai esok menjelang, dan dia akan kembali pulang ke rumah.

 

(Akankah Rara kembali pulang esok harinya?. Tunggu kisah selanjutnya.)

 

 

           

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren. Ditunggu lanjutannya, Bu.

16 Apr
Balas

Trims, Pak.

16 Apr

Rara pulangkan bu,kasihan ibu yang selalu setia menunggunya.Aha di tunggu lanjutan nya bucan.

16 Apr
Balas

He he, trims singgahnya bucan.

16 Apr



search

New Post