Malam setelah di bawa ke dokter, Windu tidur dengan dihangatkan lampu pijar. Tengah malam diperhatikan nafasnya teratur. Semoga Windu dapat bertahan. Dua kali Windu diselamatkan. Pertama ketika terjebak di loteng dapur yang sempit. Suaranya sudah lemah, ketika loteng di buka, kepalanya tersangkut. Syukur Windu selamat. Sejak itu Windu dipisahkan dari induknya. Saudara-saudaranya juga. Mereka diberi makan makanan cair.

Paginya Windu bisa makan sendiri walau sedikit. Saya ingat saran dokter agar memaksanya untuk makan dengan spet. Saya semprot dua kali. Siangnya dia sudah bisa keluar sendiri dari keranjang dan berjalan ke halaman. Demikian juga pada hari ketiga. Kami berharap sekali Windu dapat sembuh karena dia tidak diare lagi. Namun yang membuat saya ragu, Windu bahkan tidak ada pub. Jangan-jangan keras sehingga tidak bisa keluar sementara dia selalu di kasih makan.

Malam berikutnya Windu masih dihangatkan. Setelah saya suapi obat dicampur makanan cair terlihat dia agak lemas. Walaupun ngeongnya masih kencang. Windu masih belum pub. Subuh saya bangun, dia mengeong seperti memanggil. Dia ingin ditemani dan dielus-elus. Saya ingat sekali tatapannya. Dia mendengkur ketika dielus. Namun badannya lemas. Saya tetesi air putih. Saya tidak berani memberi makan. Terlihat air tersebut di telannya. Saya elus-elus terus. Dia sepertinya kesakitan. Mungkin juga sakit perut. Makin lama makin lemah. Akhirnya diam. Ya, Rindu sudah pergi. Dia memanggil agar ditemani. Rasanya saya sudah berusaha menyelamatkan. Jika Windu pergi itu adalah kehendak-Nya. Daun yang gugur satu helai saja adalah kehendak Allah, apalagi hewan dan manusia. Kita hanya berusaha. Kami ikhllas Windu pergi.