Angin sore menerpa wajahku. Aku adalah seorang gadis remaja yang hanya lulusan SMA. Kini aku tinggal bersana nenek yang sudah lanjut usia. Bahkan untuk berjalan saja, ia memerlukan tongkat sebagai tumpuan. Rumah peninggalan kakek yang berukuran 42 meter persegi, cukup luas untuk kami berdua tempati.

"Cu, mana gunting yang kamu punya? Nenek akan memotong kain panjang untuk dijadikan keset." Teriak nenek dengan suara bergetar karena parkinson. Kubawakan gunting satu-satunya di rumah dengan tangan gemetar. Tak terasa kakiku pun melemah saat gunting itu keberikan nenek. "Ini, Nek. Besok jika susah gajian, aku belikan gunting baru." Seharusnya aku serahkan benda itu pada Nenek. Tetapi saat nenek mengulurkan tangannya, guntung langsung aku tarik secepat kilat. "Nek, ini gunting berdarah. Akan aku buang saja? "

Gunting tersebutlah yang menghantarkan ibuku ke hotel prodeo. Benda itu telah merenggut nyawa pamanku. Gunting itu telah kutancapkan pada dadanya saat ingin menodai kesucianku. Saat benda itu masih berlumuran darah, ibuku memegangnya dan melaporkan diri pada Pak RT. Tak seberapa lama, beberapa orang pakaian berseragam polisi datang dan membawa ibuku diiringi tangisku tanpa suara.

Jember, 17112020