ainul mizan

Seorang guru di SDIT Insantama Malang. Suka mencoret - coret untuk sekedar menumpahkan uneg uneg, perasaan dan pikiran. Walau tertatih berusaha menjadi guru, ay...

Selengkapnya
Navigasi Web
KOPIKU TIDAK HITAM LAGI

KOPIKU TIDAK HITAM LAGI

KOPIKU TIDAK HITAM LAGI

Oleh Ainul Mizan

Sekonyong – konyong mendung menggelayuti awan. Hujan turun menyusul setelah itu. Orang – orang berhamburan dengan kesibukannya sendiri. Mereka menghindar agar tubuhnya ataupun jemurannya tidak basah kuyup. Ada yang berlari kecil – kecil. Ada yang berlari agak cepat, bahkan ada yang berjalan gontai. Yang berjalan gontai ini bisa jadi kepikiran utang minum kopi di warteg.

Ngomong – ngomong tentang kopi, tentunya udah kebayang kalo minuman satu ini enak disruput saat hujan. Mengurangi rasa dingin angin yang menyapa, menjadi alasan penikmat kopi. Ah… sebagian orang ada yang mengatakan kopi itu tetap nikmat disruput saat kapan pun. Sensasi rileks menjadi godaan tersendiri dari ketegangan fisik dan mental.

Kopi hitam itu menyelinap ke dalam poti – pori tubuh dan saraf. Efek kejutan dari minum kopi bagi sebagian orang sangat fantastis. Mata jadi melek seolah mau diajak begadang hingga pagi. Efek kejut ini hanya dibutuhkan saat mengejar deadline.

Berbeda pula efek kejutan kopi bagi segolongan lainnya. Mereka merasakan sensasi rileks, hangat bahkan hebatnya ide – ide brillian bisa muncul dari minum kopi. Akan tetapi, kopi tidak berdaya untuk mencegah kantuk yang bertamu. Ya…, bagi mereka obatnya kantuk itu tidur, bukan minum kopi. Apakah mereka ini sudah kena efek ketagihan dengan kafeinnya kopi? Bisa jadi. Rasanya sekali saja tidak minum kopi, gimana gitu. Hidup terasa seperti masakan tanpa garam.

Hidup ini tidaklah selalu mulus dijalani. Ada sensasi kejutan layaknya minum kopi. Ada senang, ada susah. Ada bahagia, ada sedih. Ada suka, ada duka. Tidaklah adil bila manusia menuntut satu rasa dalam hidupnya di dunia. Tidak akan mungkin hanya terdapat kebahagiaan, sebagaimana pula tidak mungkin hanya ada kesedihan hidup.

Dalam menyikapi sensasi kejutan kehidupan, Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesabaran itu terletak pada pukulan yang pertama. Orang yang gagap menghadapi kejutan dalam hidup rentan terperangkap dalam sikap apatis, dan lupa daratan. Ahh… jangan lebay gitu. Sueer… coba anda bayangkan saja, ada orang yang baru pertama kali naik kapal laut, bisa jadi timbul dalam dirinya rasa gagap. Wuih, begini toh sensasi ombak laut. Kalau ia nggak kuat pastinya jadi mabuk laut. Perjalanan 1 jam dari Pelabuhan Ketapang menuju Pelabuhan Gilimanuk baginya serasa berjam – jam. Bisa dibayangkan ia tersiksa dengan keadaannya demikian.

Diakui atau tidak, dalam hidup ini ada orang – orang yang dalam mengarungi samudera kehidupan ini menderita mabuk laut. Suatu waktu tatkala ia terkena musibah, dan atau hal – hal yang tidak menyenangkan menurut estimasinya, serasa menjadi pukulan godam yang menghilangkan keseimbangannya. Ia lupa diri. Ia lupa akan Tuhannya. Bahkan ia bisa berani menghujat Allah SWT atas setiap ketidaknyamanan yang dirasainya. Seolah ia tidak pernah sekalipun merasakan karunia Allah SWT. Begitu pula, kejutan kehidupan itu bisa berupa kenikmatan melimpah. Ia menjadi lupa daratan. Ia merasa bahwa semua keberhasilannya berkat strateginya dan jenius akalnya. Endingnya mereka keluar sebagai sosok yang kalah dan merugi baik di dunia maupun hingga kehidupan sesungguhnya di kampong akherat.

Sementara itu, ada yang menghadapi sensasi kejutan dalam hidup layaknya orang yang nyeruput kopi, merasakan sensasinya dan tidak terjebak dalam fatamorgana sensasi kafein. Bahkan bisa jadi seringkali ia harus nyeruput kopi, tapi pada saat yang bersamaan ia ingat akan kebutuhan dirinya. Waktunya kantuk menyerang, ia sadar untuk segera mengobatinya dengan tidur. Bahkan dalam kondisi ia masih menikmati aliran kopi di dalam rongga – rongga pencernaannya. Merekalah orang yang sabar dalam menghadapi ujian berupa kesengsaraan maupun kenikmatan. Ia menyadari bahwa ujian itu diberikan sebagai timbangan keimanan. Akhirnya mereka berjalan terus tanpa menoleh lagi ke belakang. Tatapannya lurus menuju masa depan ridho ilahi.

Kopi hitam itu tidak lagi terasa pahit baginya. Panasnya air kopi yang sementara waktu mampu mematikan rasa lidahnya, tidak menyebabkan ia terjungkal dan akhirnya menderita opname dalam rumah sakit kehidupan. Tidak…, dan tidak akan terjadi. Alasannya simpel bahwa ia sadar bahwa dalam hidup ini ia adalah musafir yang singgah sebentar guna membawa bekal kebaikan sebanyak – banyaknya.

Ohh… tanpa kusadari, jam dinding rumahku berdentang. Kulihat jarum pendek dan jarum panjang tepat menunjuk angka 12. Istriku telah terlelap lama dalam tidurnya. Yang masih setia menemaniku adalah laptop dan secangkir kopi. Ya, secangkir kopi yang sudah kuseruput sejak bakda Isya tadi. Ini tinggal seruputan yang terakhir. Masya Alloh, aku baru sadar ternyata kopiku sudah tidak hitam lagi. Wedang jahe made in istri telah menggantikan kopiku yang hitam untuk menemani kontemplasiku malam ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah, Bapak nih, ya jelaslah tak hitam, wedang jahe. hihihi

21 Jan
Balas

he he he

22 Jan



search

New Post