Aisyah Hany Auliya

Aisyah, seorang yang senang membaca. Membaca apa saja yang memberi manfaat. Manfaat yang bisa beranak pinak....

Selengkapnya
Navigasi Web
Lamang Bakujuik
📷 Sumber tak di kenal

Lamang Bakujuik

Berbekal sebatang colok, Aisyah kecil menyusuri pinggiran tebing yang menjadi penghubung satu-satunya menuju surau nagari. Riuh perkampungan dengan rumahnya, terpisah oleh kecuraman sebuah lereng. Entah kenapa, Datuk Lenggang Marajo, kakek buyutnya, membangun hunian yang terpisah dengan pemukiman yang ramai di seberang jurang.

Kondisi geografis sepanjang punggung gunung Marapi, menciptakan pembagian wilayah atas dua bagian. Pertama wilayah perkampungan yang merupakan pusat kehidupan bermasyarakat. Kedua, wilayah persawahan.

Wilayah persawahan, beserta deretan bukit barisan, laksana pagar pelindung, dihiasi petak-petak sawah sepuas mata memandang. Kadang hijau membentang tatkala musim tanam tiba. Menciptakan keteduhan dan kedamaian siapa saja yang menatapnya. Mampu hilangkan gundah dan galau di dada. Pada masanya, berganti kuning emas membentang. Warna cerah yang menimbulkan berjuta harap dan semangat akan masa depan.

Satu dua dangau berdiri di antara lupak-lupak sawah. Lupak-lupak itu berfungsi sebagai pembatas kepemilikan. Makan bersama di dangau kala istirahat, menjadi saat yang dinanti-nanti. Tak terasa dua piring nasi yang menggunung segera lesap ke dalam perut, tatkala ikan asin goreng, daun singkong rebus dan sambal matah menyertai. Lelah mengolah lahan, diiringi angin pegunungan yang semilir membuat lupa segalanya. Surga mungil bagi para perantau kala sekali-sekali pulang.

Wilayah perkampungan terdiri dari dua dataran yang dipisahkan oleh sebuah jurang. Penghubung antara kedua dataran tersebut hanya jalan setapak di sepanjang lereng tebing. Dataran luas dihuni oleh sebagian besar penduduk perkampungan, sedangkan sebagian dataran di seberang jurang merupakan dataran yang menjadi milik keluarga Datuak Lenggang Marajo, kakek buyut Aisyah.

Perkampungan merupakan tempat kehidupan sosial berlangsung. Tempat terhubungnya kekerabatan suku. Ada lima suku besar di perkampungan tersebut. Sikumbang, Melayu, Panyalai, Pisang dan Jambak. Aisyah dan keluarganya merupakan keluarga besar bersuku Sikumbang.

Senja itu, dalam rangka menjalankan ritual ibadah shalat magrib dan isya, Aisyah kecil selalu melaksanakannya di surau nagari. Sama seperti penduduk di jorong tersebut. Menyusuri lereng tebing, ditemani sebatang colok sebagai penerang jalan. Melenggang tenang sambil bersenandung irama salawat. Kaki kecilnya dengan lincah menapaki jalanan tersebut. Jalanan yang selalui dilewatinya dengan riang. Bunyi-bunyian senja menemani sepanjang perjalanan. Lengking kalangkikiak berebut dengan suara jangkrik, menciptakan orkestra alam yang sangat menawan. Kunang-kunang yang mulai bermunculan laksana kerlip lampu lima watt. Beterbangan hilir mudik sambil menyambar satu sama lain. Mereka saling menyapa, itu yang ada dalam pikiran Aisyah kecil.

Dengan keriangan seorang kanak, Aisyah menjalani kehidupan nyaman tersebut selama bertahun. Di surau nagari, bukan hanya shalat yang dikejarnya. Faisal, teman mengajinya yang dengan sabar membantu ketertinggalannya dalam mengaji, dengan setia mengantar pulang selepas isya, selalu membuat semangatnya ke surau tidak pernah susut.

Mak Ijah, ibu Faisal, tidak pernah lupa membawakan sepotong lamang bakujuik sebagai penganan yang menemani selama mengaji. Lamang bakujuik, penganan khas terbuat dari pulut ketan. Dibungkus daun pisang berbentuk gulungan sepanjang 25 cm dengan ikatan pada kedua ujungnya. Ikatan yang menyerupai ikatan kafan pada ujung kepala dan ujung kaki. Ikatan yang di kampungnya dikenal dengan sebutan bakujuik. Direbus dengan santan sehingga memberikan rasa gurih dan mengenyangkan.

Lamang yang selalu diselundupkan diam-diam ke barisan anak-anak perempuan melalui celah bilik surau yang sedikit terbuka. Mencuri-curi kesempatan saat memakannya, agar tidak ketahuan Angku Ilyas, menjadi tantangan tersendiri. Aisyah kecil, dengan wajah polosnya mampu mengecoh Angku Ilyas, guru mengaji yang terkenal disiplin.

Aisyah tidak lahir di jorong tersebut. Dia lahir jauh di tanah Jawa. Setelah ibunya meninggal, ayahnya membawa dirinya pulang ke kampung halaman. Selayaknya kanak-kanak di jorong tersebut, tidak ada anak yang tidak bisa mengaji setelah mencapai usia lima tahun. Memasuki sekolah dasar, pada usia tujuh tahun, anak-anak sudah mampu mengaji dari kitab al-qur’an besar, dengan makhraj yang cukup bagus. Tidak lagi dari juz amma.

Aisyah, yang pindah ke jorong tersebut pada usianya yang ke delapan tahun, sama sekali belum mengenal huruf hijaiyah. Keadaan ini menjadikannya sebagai bahan bulan-bulanan teman-teman barunya. Untung ada Faisal, teman besarnya yang selalu membela, saat Aisyah diejek maupun ditertawakan.

Kala itu Faisal sudah kelas enam sekolah dasar. Dengan sabar, di saat istirahat mengaji, ditemani lamang pemberian dari Mak Ijah, Faisal membantu Aisyah mengeja satu persatu ketertinggalannya. Dia memang ditempatkan bersama anak-anak kelompok belajar kitab juz amma. Anak-anak yang masih berusia empat dan lima tahun. Aisyah menjadi murid tertua di kelompoknya. Namun kecerdasannya, dan kesabaran Faisal mengajar, menjadikan Aisyah mampu menuntaskan juz amma dengan makhraj yang baik hanya dalam waktu empat bulan. Angku Ilyaspun memindahkannya ke kelompok belajar kitab al-qur’an besar tanpa tajwid. Akhirnya Aisyah berada bersama teman-teman seumurannya. Namun kecerdasannya mampu meninggalkan teman-temannya. Hanya dalam waktu empat bulan, kembali Angku Ilyas memindahkan Aisyah ke kelompok belajar kitab al qur’an besar beserta tajwid dan irama Akhirnya Aisyah berada pada kelompok anak-anak kelas enam SD. Kemampuan Aisyah telah menyamai kemampuan Faisal.

....

Wuss! Selarik angin menyambar dari balik tingkuluak (selendang) yang digunakan Aisyah. Reflek, tangan kanannya menampik kilatan wajah yang terasa mendekat ke tengkuk. Namun wajah di belakang dengan cekatan menelengkan sedikit kepalanya arah kiri dan tangannya menyambar, merebut colok yang berada dalam genggaman tangan kiri Aisyah.

“Uda Faisal...!” hentak Aisyah mendorong Faisal yang berhasil mengerjainya. Pias keterkejutan menghiasi wajah Aisyah.

“Hahaha!” gelak Faisal mengumandang memenuhi tebing sepanjang lereng yang biasa dilalui Aisyah. “Masa cucu Angku Datuak Lenggang Marajo geraknya lamban begitu.” Senang hati Faisal memandang wajah Aisyah yang pasi.

“Coba saja tiga tahun lagi. Kulempar uda ke dalam jurang itu. Aku baru belajar jatuh. Gaek Datuak belum mau menambahkan keahlian sebelum jatuhku sempurna.”

“Tiga tahun lagi? Jangan-jangan saat itu tiba, kita tidak lagi bersama.” Faisal berujar lambat dengan nafas tertahan. “Aku antar kamu sampai rumah. Hujan-hujan begini biasanya inyiak sering turun.”

Inyiak adalah sebutan untuk harimau yang masih banyak menghuni hutan-hutan di sepanjang punggung gunung Marapi.

“Uda mau ke mana? Memangnya Uda mau merantau? Mau melanjutkan sekolah ke kota? Tiga tahun lagi Uda tamat SMA. Uda mau kuliah di mana?” Kejar Aisyah penasaran dengan ucapan Faisal.

“Sudahlah, tiga tahun itu masih lama. Kita masih bisa bersama. Amak tadi menyuruhku menyusul dan mengantarmu pulang. Amak menitipkan lamang bakujuik untuk kalian sekeluarga.”

“Ayolah, Uda. Tiga tahun lagi Uda mau ke mana? Kalau Uda sekolah di kota, aku juga mau. Kita bisa tetap bersama.”

“Tidak ke mana-mana. Sudahlah, tiga tahun lagi, Uda ingin kamu sudah bisa memasak lamang bakujuik seenak buatan amak. Uda ingin menjadi orang pertama yang menikmatinya. Cepatkan langkahmu! Hujan semakin lebat!" Ujar Faisal menyudahi tanya Aisyah. Harus tegas memutus percakapan. Kalau tidak, akan bertambah-tambah tanya yang meluncur dari bibir mungil gadis yang selalu dalam penjagaannya itu. Gadis cerdas yang diam-diam selalu mengisi ruang angannya. Gadis yang selalu ingin dilindunginya. Gadis tempat dia ingin menghabiskan waktu bersama hingga akhir. Huff! dengan berat dan perlahan dihembuskannya nafas yang memenuhi rongga dada. Berharap beban ikut keluar bersama udara, meringankan sebak di dada.

....

"Lama sekali engkau meninggalkan desa. Limabelas tahun, tak kau jejak tanah jorong ini. Amak sudah putus asa berharap akan berjumpa dengan kau lagi, Nak. Betul-betul menghilang, kau buat tanpa jejak. Tak tahu kami hendak mencarimu ke mana. Amak berpikir sudah kehilangan dirimu. Tak tahukah kau, kehilangan dua anak sekaligus betul-betul membuat amak terpukul. Untung kau masih ingat pulang kali ini. Bila tidak, mungkin hanya pusara amak yang akan kau jumpai.” Mak Ijah muncul dari belakang. Memecah lamunan Aisyah yang mengembara ke masa lalu.

Dengan kelembutan seorang ibu yang penuh kasih, dielusnya kepala gadis kecilnya dulu yang saat ini sudah tumbuh dewasa. Gadis yang kini telah berubah menjadi wanita dewasa matang. Namun di mata Mak Ijah, gadis itu tetap anak kecil manis, yang saat ini sedang menambatkan penat hati di pangkuannya. Berdua mereka memandang surau yang dipenuhi kanak-kanak yang sedang menanti magrib tiba.

“Makanlah lamang itu, Nak! Kenapa kau kuahi dengan air matamu? Bukankah itu makanan kesukaanmu?” Mak Ijah mengambil lamang bakujuik dari piring, lalu mengupas kulitnya. Mengangsurkan piring itu kehadapan Aisyah, berusaha menyuapkan ke mulut mungilnya.

“Sudahlah, Mak. Tak mampu lagi aku menelan lamang itu. Setiap memandang lamang, hatiku pedih serasa berdarah. Tak lagi terasa nikmat lamang...” sendat Aisyah, sembari menepis piring yang diangsurkan Amak Ijah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post