Aisyah Hany Auliya

Aisyah, seorang yang senang membaca. Membaca apa saja yang memberi manfaat. Manfaat yang bisa beranak pinak....

Selengkapnya
Navigasi Web
Suara
📷 Islamidia.com

Suara

Lorong ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Entah apa yang menghambat jarak pandang. Rasanya mata ini sudah membelalak begitu besar. Tapi, benar, lorong ini gelap sekali dan terasa sempit.

Kamu di mana? Aah..., kamu tidak sedang berada di dekatku kah? Ya sudah. Aku akan berusaha keluar dari lorong gelap ini untuk menemuimu.

Hai...! lihat...! Itu ada cahaya dari sebuah celah. Bergegas aku melangkah ke arah cahaya itu. Benar, itu cahaya yang menyusup melalui sebuah celah seperti jendela. Apakah itu jendela? Tapi, mengapa berada di atas? Atau tingkap sebuah loteng? Entahlah, yang pasti itu sumber cahaya dari luar lorong gelap ini.

Hup... hup... berlonjak aku menggapai celah itu, namun tak kunjung terjangkau. Hup... sekali lagi kucoba. Tetap tidak terjangkau. Ah, aku harus melompat dengan lompatan memutar bertumpu pada sisi dinding lorong sebagai pijakan bantu. Dan hup..., tingkap itu terbuka sudah. tingkap yang terbuat dari selembar papan panjang.

Aku harus melompat tinggi agar bisa mencelat keluar dari lorong ini. Tapi ketinggian lorong ini melebihi kemampuan loncatanku. Hm... teknik meloncat berputar bertumpu pada dinding lorong sepertinya jalan yang paling tepat. Dua kali jejakkan, aku rasa akan melambungkan tubuhku hingga ke luar sana. Dan... hup... hup... hup... dua putaran dengan tiga jejakkan benar-benar telah membawaku keluar dari lorong gelap dan sempit itu.

Aku memandang ke bawah ke lorong tempatku barada tadi. Tentu saja terasa gelap dan sempit, batinku. Lorong itu hanya berukuran sekitar 2 × 1 m. Ah..., sudahlah. Yang jelas sekarang aku sudah berada di tengah padang ilalang luas berteman hembusan angin yang begitu menyegarkan. Ilalang-ilalang ini begitu tinggi, hingga mampu menghambat teriknya matahari menjilat kulitku, namun tidak menghalangi angin berembus. Aah... aku yang terlalu kecil atau ilalang ini yang terlalu tinggi? Rasanya baru kali ini bertemu dengan ilalang yang begitu tinggi melebihi tingginya rumput gajah yang selama ini kukenal.

Menyusuri padang ilalang dengan matahari sebagai satu-satunya penunjuk arah, betul-betul membuat pikiran pepat. Sepepat pandangan yang hanya tertumpu pada rumpun ilalang dan rumpun ilalang saja. Aah... tidak adakah kehidupan lain selain aku di padang ilalang ini?

Aku mau pulang. Benakku sebelah kanan meneriakkan ingin itu. Namun benakku sebelah kiri sama sekali tidak bisa mengingat arah pulang. Daerah ini betul-betul tidak kukenal.

Seketika terdengar gemuruh suara kereta yang berdesis.... Sss.... sss.... sss.... diiringi gerakan ilalang yang semakin kuat. Desis itu berasal dari depan sana. Syukurlah, ada kehidupan. Pikiranku menyambut suara desis itu dengan bahagia.

Tuhan...! Makhluk apa ini? Tiba-tiba sumber desis tadi sudah berada tak jauh di depan ku. "Berbalik dan lari sekencangnya!" Mendadak perintah itu muncul di pikirku. Tuhan...! aku pasti akan terlindas oleh makhluk ini. Makhluk dengan dua corong cahaya besar dengan kekuatan laksana maghnet itu semakin memendekkan jarak.

Aku tidak akan tersentuh... aku tidak akan tersentuh... sesuai teorema limit yang kupelajari, aku tidak akan tersentuh. Aku berada di depan. Sugesti itu kumasukkan ke dalam otak sebelah kanan. Namun sugesti tinggal sugesti. Makhluk itu semakin rapat di belakangku. Tuhan... apakah aku akan mati di tempat ini menjadi mangsa makhluk ini?

Ser...! nafas makhluk itu terasa panas di tengkukku. Lariku semakin kencang. Kaki ini berputar tidak lagi menjejak tanah. Dengan sekuat tenaga kukerahkan semua kemampuan yang bisa kuingat untuk menghindari makhluk yang berlarian ke arahku tersebut. Menyusup ke dalam tanah, terbang di atas pucuk-pucuk ilalang, meloncat setinggi-tingginya, menembus batu yang menghadang di depan. Semua kulakukan demi keselamatan. Namun sekuat apapun aku berlari, mereka makhluk-makhluk itu tetap berada selayang di belakangku.

Mereka, makhluk itu baru kulihat hari ini. Perawakan tinggi besar dengan wajah manusia. Hanya saja wajah mereka seperti tertutup oleh selaput menyerupai lumpur dan mata mereka sangat besar dengan sorot yang memiliki kekuatan menarik apa saja yang ada di dekatnya.

Aku benar-benar kehabisan tenaga. Sesaat merebahkan diri di bawah pohon karet yang dulu kutanam sebagai investasi. Hai...! Aku berada di kebun karet. Benar, aku mengenali dengan baik kebun ini. Karena akulah yang menanam dan merawatnya selama ini. Tapi mengapa aku tidak mengenali orang-orang itu? Orang-orang yang bekerja menyadap dalam diam. Tak seorangpun yang menyapa. Mereka bahkan membiarkan aku terbaring di bawah pokok karet, seakan-akan tidak ada.

"Kalian siapa? Dimana Pak Rahim?" Tanyaku pada salah seorang penyadap. Namun mereka bergeming. Seakan tidak mendengar. Padahal aku bertanya dengan suara yang cukup nyaring.

Tiba-tiba orang yang kutanyai tadi berpaling. Syukurlah dia mendengar, batinku. Tapi kenapa pandangannya seperti itu? Orang itu memperlihatkan giginya yang besar sekali. Gigi yang bersinar terang laksana pedang tajam yang siap menghunjam. Tuhan...! Siapa lagi mereka? Mengapa mereka ada di kebun karet ini? Di mana orang-orang yang selama ini membantu merawat kebun? Apa yang terjadi di tanahku? Aku tidak sedang meninggalkan tanah ini. Namun mengapa aku tidak mengetahui perubahan yang terjadi?

Perlahan namun pasti, orang-orang yang menyadap dalam diam tersebut berjalan menghampiriku dengan pisau sadap berada di genggaman. Degup jantungku memuncak. Gelagat mereka sangat tidak bersahabat. Raut wajah mereka menyiratkan hasrat ingin menguasai diriku. "Lari!" Kembali alarm itu berdentang di benak kanan. Tanpa pikir panjang, akupun lari tunggang langgang meninggalkan kebun karet.

Mereka tidak membiarkanku pergi begitu saja. Di belakang sana, mereka mengejar dengan kencangnya. Kembali aku mengerahkan segala kemampuan yang kupunya. Menyelusup di balik tanah, berloncatan di ujung ranting karet. Membelah batang-batang karet yang menghalang. Semua kulakukan untuk menyelamatkan diri.

Kakiku berlari tanpa arah pasti. Benakku hanya memerintahkan lari tanpa petunjuk lainnya. Namun lagi-lagi energi yang kupunya tak lagi sanggup mendukung pelarian ini. Kembali memasuki lorong sempit yang tadi kutinggalkan adalah solusi yang kupilih.

Di atas sana, dua makhluk yang tidak kukenal itu serius berdebat dengan topik dan pembicaraan yang tidak kumengerti. Mereka seperti memperebutkan sesuatu. Mereka saling caci saling hina dan bahkan saling menyakiti. Mereka berkelahi. Benar berkelahi. Bahkan saling bunuh. Makhluk bertopeng lumpur dan makhluk bergigi tajam itu menunjuk-nunjuk ke dalam lorong sempit tempat aku bersembunyi.

Apa yang mereka perebutkan? Mengapa mereka mengejar-ngejarku seperti itu? Apa yang mereka ingin dariku? Pikiranku buntu. Bahkan aku bingung, mengapa setelah berlarian begitu jauh, lagi-lagi aku berada di lorong sempit ini.

"Hai...! Kamu...! Makhluk bodoh yang berada di bawah sana, di lorong sempit. Mengapa kau kembali ke lorong sempit itu? Mengapa engkau bersembunyi di sana? Dasar lemah!" Tiba-tiba terdengar suara menggema memenuhi ruang dengarku. Sebuah suara yang membenam harga diriku hingga titik terendah.

Aku berada di mana?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post