Ai Tin Sumartini

Ai Tin Sumartini, M.Pd, lahir di Cikajang Garut Jawa Barat. Pengabdian sebagai guru PPKn sejak tahun 1994. Pendidikan terakhir S2 Program Studi PKn di SPs UPI B...

Selengkapnya
Navigasi Web

HUJAN ABU

Tak biasanya pagi ini nampak mendung. Zahra memandang jam dinding di ruang tengah, terlihat menunjukkan pukul 6.00 pagi. Namun begitu lihat ke luar jendela kamarnya langit masih terlihat gelap. Zahra bergegas ke dapur, menghampiri ibunya yang menyiapkan sarapan pagi.

“Mah. Mengapa ya jam enam pagi ini, kok cuaca di luar masih terlihat gelap. Biasanya khan sudah terang benderang?”, tanya Zahra pasa ibunya.

“Ya, mungkin akan segera turun hujan, setelah sekian lama musim kemarau. Jangan lupa baya payung saja nanti kalau berangkat sekolah, ya Nak!” jelas ibunya.

Setelah sarapan nasi goreng yang hampir setiap hari disiapkan ibunya, Zahra bersiap-siap berangkat sekolah bersama adik dan kakaknya yang masih satu sekolah di Sekolah Dasar Kota Kecamatan. Setiap hari, mereka berjalan kaki berangkat ke sekolah dari rumah yang kini masih menumpang di rumah kakek neneknya.

Di rumah besar itu dihuni oleh banyak anggota keluarga. Selain keluarga Zahra dengan keempat saudaranya, juga ada keluarga Uwaknya dengan kedua anaknya, juga nenek dan bibi, adik dari ayahnya. Sebenarnya keluarga Zahra, sudah merasa tidak nyaman hidup bersama dengan keluarga besar ayahnya. Namun apa daya penghasilan ayah Zahra yang hanya sebagai guru sekolah menengah, baru bisa membangun rumah setengah jadi. Belum layak untuk ditempati, baru saja pasang genting namun belum ada pintu maupun jendela. Masih butuh waktu lagi untuk menabung dan membeli kebutuhan rumah hingga bisa dihuni. Tak jarang gesekan demi gesekan antaranggota keluarga terjadi di rumah itu. Tak terkecuali dengan keluarga Zahra. Menyadari hidupnya menumpang, Ibunya Zahra seringkali mengalami kesedihan. Dengan mengurus kelima anaknya yang masih kecil, namun juga dituntut untuk bisa membantu mengurus dan membersihkan rumah yang besar itu termasuk mencuci dan menyetrika pakaian anggota keluarga lainnya. Jika keadaan sudah lelah, namun ada saja konflik yang menyulut emosi dan kemarahan, maka pertengkaran pun terjadi.

Zahra bersama sang adik, Fauzi yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar dan kakaknya Fadil yang sudah kelas enam SD, mempercepat langkahnya menuju sekolah. Hatinya gelisah, khawatir upacara tidak jadi dilakukan. Dia sudah bersemangat sejak dua hari lalu latihan sebagai pengibar bendera. Cuaca sangat mendung, namun tak turun hujan. Sesampainya di sekolah, semua siswa juga merasakan keheranan dengan keadaan alam saat itu. Langit terlihat abu-abu kehitaman, seperti sore hari saja.

Mang Samin memukul bekas pelek motor yang digantung di sudut sekolah, sebagai tanda lonceng berbunyi mengawali kegiatan Senin pagi itu. Upacara bendera dilaksanakan, yang melibatkan seluruh siswa dan guru dari tiga sekolah dasar dalam komplek sekolah itu. Petugas upacara dilakukan secara bergiliran oleh ketiga sekolah dasar tersebut.

Walaupun cuaca terlihat mendung, namun upacara dilaksanakan juga. Zahra berbinar-binar, gembira kalau upacara tetap akan dilaksanakan. Sehingga latihan pengibaran bendera yang telah dilakukan tempo hari tak sia-sia. Semua peserta dan petugas upacara telah siap. Point- demi point tata upacara telah dilewati. Kini giliran Zahra bersama kedua temannya yang bertugas mengibarkan bendera maju dengan langkah tegap dan penuh percaya diri.

Saat bendera baru dinaikan sampai setengah tiang, tiba-tiba cuaca makin mendung. Dan pluk...pluk...titik-titik hitam sangat terlihat jelas di baju putih semua siswa. Tak terkesuali baju Zahra dan temannya. Makin lama makin banyak titik-titik hitam di baju putih para siswa. Namun dengan semangat, tak terpengaruh oleh turunnya titik-titik hitam tersebut, Zahra dan kedua temannya menyelesaikan tugasnya menaikkan bendera sampai ke ujung atas tiang. Begitu juga dengan tim paduan suara menyelesaikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya mengiringi penaikan bendera merah putih sampai tuntas.

Kondisi tidak memungkinkan untuk melanjutkan upacara bendera. Bapak Kepala Sekolah yang bertugas sebagai Pembina Upacara, mempersingkat sambutannya.

“Anak-anak, cuaca saat ini kurang mendukung untuk menyelesaikan upacara. Hanya Bapak informasikan, bahwa apa yang terjadi saat ini adalah karena adanya peristiwa letusan Gunung Berapi yang berada di wilayah lain. Walaupun tempatnya jauh dari daerah kita dan di luar wilayah kabupaten kita namun karena dahsyatnya letusan gunung itu, maka akibatnya sampai ke daerah kita. Titik-titik hitam yang nampak di baju kalian, adalah abu vulkanik yang disemburkan dari letusan gunung itu. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, upacara kita hentikan” Pak Pepen menerangkan.

“Baiklah, anak-anak. Komando Bapak ambil alih. Tanpa penghormatan bubar barisan ....jalan!” Pembina upacara itu membubarkan peserta upacara.

Semua siswa memasuki ruang kelas masing-masing. Keadaan di luar makin gelap, hujan abu masih terus turun menutupi sekitar lingkungan. Genting-genting sudah berubah jadi abu-abu, begitu juga tanah, pekarangan, daun-daun, bunga, tanaman dan lainnya sudah tertutup oleh abu gunung berapi. Keadaan alam yang baru pertama kali terjadi di daerah ini, membuat semua warga keheranan. Tak mengerti apa yang terjadi dan bagaimana akibatnya.

Jam pelajaran hari itu tidak seperti biasanya pulang pukul 12.30 siang, namun kegiatan belajar mengajar dibubarkan saat jam istirahat. Khawatir dengan dampak yang ditimbulkan dari abu vulkanik itu.

Zahra menunggu adik dan kakaknya pulang, payung yang dibawanya hanya satu tetapi cukup untuk melindungi kepala mereka bertiga. Di perjalanan tak henti-hentinya mulut Zahra komat kamit membaca do’a, sebisa-bisanya ia ucapkan, mengajak saudaranya untuk terus berdo’a mohon diberi perlindungan. Dua puluh menit waktu tempuh perjalanan dari sekolah ke rumah, setiap hari mereka jalani. Tanpa berkeluh kesah, karena tak ada uang untuk ongkos naik kendaraan angkutan pedesaan atau delman. Uang jajan pun kadang mereka terima, yang penting bisa sarapan dulu dari rumah.

Kondisi alam yang baru dialami, tantangan hujan abu yang tak terpikirkan harus memakai masker penutup hidung dan mulut. Ditambah tiupan angin terhempas oleh angkutan pedesaan yang lalu lalang tak menyurutkan langkah mereka untuk pulang ke rumah. Tak mengharapkan dijemput ibunya, karena kesibukkan mengurus dua adiknya yang masih balita juga mengurus pekerjaan lainnya di rumah. Tak juga mengharap dijemput ayahnya, karena memaklumi pekerjaannya sebagai tenaga pengajar di sekolah menengah yang lebih jauh lokasinya dari sekolah mereka. Kemandirian dan keprihatinan Zahra dan saudara-saudaranya, memberikan semangat untuk menjalani kehidupannya.

“Assalamualaikum....” Zahra dan kedua kakak adiknya mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Ya Allah....anak-anakku!” teriak ibunya.

“Kalian ngga apa-apa Nak, Mamah khawatir dengan keadaan kalian. Maafkan Mamah, ngga bisa jemput kalian”.

“Tak apa-apa Mah, kami disuruh pulang lebih awal oleh Pak Guru”, Fadil sang kakak menjawab.

“Syukurlah kalian selamat sampai rumah. Ayo cepat ganti baju kalian, tuh sudah banyak debu di pundak. Hati-hati, jangan sampai terhirup abunya.” Ibunya menasehati.

Tak lama ayahnya Zahra juga pulang, kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Semua berkumpul di ruang tengah bagian faviliun rumah yang disediakan neneknya untuk keluarga Zahra.

“Pak, apakah semua gunung bisa mengeluarkan abu seperti sekarang ini, dan bagaimana bisa gunung itu mengeluarkan abunya, bahkan sampai ke wilayah kita ini?” Zahra dengan polosnya bertanya, dengan kejadian di siang hari yang baru pertama di alaminya.

“Nak, tidak semua gunung bisa mengeluarkan abu, hanya gunung berapi saja yang masih aktif itu juga. Sewaktu-waktu yang termasuk gunung berapi itu akan meletus, mengeluarkan semua material yang ada di dalamnya. Bukan hanya abu, tapi juga bebatuan, lahar panas atau lahar dingin.” Ayahnya Zahra menjelaskan.

“Nah, kejadian ini juga pasti di sekitar wilayah terdekat gunung pasti akan terkena dampak yang luar biasa, bukan hanya semburan abunya saja tetapi banjir lahar panas atau dingin serta bebatuan yang dimuntahkan dari kawah gunung. Coba nanti kita lihat di televisi punya nenek di ruang depan, di mana kejadian sebenarnya.” Ajak ayahnya.

Mereka menuju ruang depan menuju tempat televisi. Ayahnya menyalakan, dan mencari frekuensi yang menayangkan berita. Setelah diketahui tayangan berita, ternyata gunung itu terletak tak jauh dengan tempat tinggalnya Zahra. Banyak korban jiwa maupun arus pengungsi penduduk di sekitar gunung, banjir lahar panas menyapu lahan dan pemukiman penduduk. Sawah, kebun peternakan, kolam ikan semuanya rata tersapu banjir lahar panas maupun lahar dingin.

Dengan seksama Zahra dan Fadil, sang kakak menyimak tayangan berita. Rasa ingin tahu kejadian letusan gunung, hingga dampaknya bisa mereka rasakan saat ini. Tiba-tiba Iwan, saudara sepupunya datang dan meminta untuk memindahkan frekuensinya ke tayangan film si Unyil di televisi swasta.

“Sebentar Wan, mau lihat dulu berita gunung meletus!” teriak Fadil

“Nggak, saya mau nonton film si Unyil!”, tak kalah berteriaknya juga Iwan menjawab

“Sebentar dulu, kita ingin tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya letusan gunung itu!” Fadil makin kencang suaranya.

“Pokoknya film si Unyil, titik!” Iwan juga makin berteriak.

“Ya, sudahlah Fadil kalian main di belakang saja, dengan adik-adikmu.” Ayahnya menasehati.

Keadaan seperti ini seringkali terjadi, bahkan hampir tiap hari rebutan tayangan televisi. Maka, untuk menghindari pertengkaran, ayah ibunya jarang mengizinkan anak-anaknya untuk menonton televisi.

Hujan abu masih berlangsung sampai keesokan harinya. Dengan rasa penasaran, Zahra mencari tempat di luar rumah yang tak terhalang oleh pepohonan atau apa pun. Mengamati sekeliling, melihat sudut pagar yang langsung terkena hujan abu tanpa terhalang apa pun juga. Melihat ada tempat yang aman dan tersembunyi, Zahra mengambil penggaris dari meja belajarnya, kemudian mengukur berapa ketebalan abu selama sehari semalam. Dia lihat ukurannya, ternyata sudah hampir tiga milimeter. Seperti seorang peneliti, Zahra langsung mencatat di buku tulisnya. Hari pertama, ketebalan abu mencapai 2 milimeter. Setiap hari Zahra lakukan, mengukur ketebalan abu. Makin lama, abu makin tebal.

“Mah, abu di pekarangan rumah makin tebal. Lihatlah catatan Zahra. Sekarang sudah hari keenam ketebalan abu sudah mencapai 1 sentimeter lebih. Daun-daun dan bunga juga nampak mati. Kenapa ya, Mah?” tanya Zahra pada ibunya di sore hari.

“Ya, abu vulkanik itu merupakan partikel halus dari material bebatuan dan kaca, kalau langsung terkena tanaman bisa mematikan. Namun dalam jangka waktu yang lama, abu itu bisa menyuburkan tanah.” Jelas ibunya.

“Mah, bagaimana dengan atap rumah, di atas genting juga kan banyak abunya. Lama kelamaan juga pasti berat karena abunya makin tebal?” tanya Zahra lagi.

“Betul juga kamu Nak, kalau genting tak mampu menahan beban mungkin atap akan roboh juga. Kita berdo’a, semoga hujan abu cepat reda, sehingga kita bisa membersihkan genting dari abu-abu tersebut.”

Baru saja Zahra dan ibunya membicarakan ketebalan abu di atas genting. Praaaak! Suara atap kayu di atas dapur roboh. Untung saja Nenek yang baru beres membuat wajit, pekerjaan setiap harinya membuat makanan dari bahan beras ketan, kelapa dan gula merah itu, memasuki kamarnya. Namun, wajit yang masih di dalam wajan itu habis tertimpa robohan atap dapur dan gentingnya berhamburan di sekitar dapur yang memang kayu-kayunya sudah lapuk.

Semua berhamburan ke luar rumah, hujan abu sudah mulai menipis. Langit terlihat agak terang, berbeda dengan keadaan kemarin dan beberapa hari yang lalu. Ayah memberikan komando, semua anggota keluarga bahu membahu membereskan robohan atap dapur. Tak ketinggalan anak-anaknya juga membantu merapikan kembali, dibantu tetangga terdekat untuk memperbaiki dapur. Dengan kejadian ini, nampak semangat gotong royong dan kebersamaan di antara penghuni rumah sebagai anggota keluarga maupun tetangga sekitar.

Zahra bergumam, semoga kekeluargaan dan kebersamaan ini tetap terjalin. Walaupun tanpa adanya musibah. Suatu saat nanti, ia akan berkunjung ke pusat semburan abu yang telah merobohkan genting dapur rumah neneknya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih koreksinya

25 Mar
Balas

typo pasa --- pada baya --- bawa khan--kan

25 Mar
Balas



search

New Post