Akhmad Fauzi

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Mer...

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru, Ini Tantangan Kita  2

Guru, Ini Tantangan Kita 2

Gerakan masiv dalam perkembangan dunia pendidikan benar-benar telah terjadi, mulai dari yang bersifat lunak (shoftware) sampai yang bersifat keras (hardwear). Perbaikan terjadi di sana-sini. Begitu pula dengan sistem pembelajaran. Tetapi masih juga ada riak-riak yang perlu penanganan lebih lanjut. Sebagai contoh hasil dari survey yang dilakukan oleh sebuah lembaga dari Jerman beberapa waktu yang lalu.

Dikabarkan di media massa hasil penelitian yang dilakukan pemerintah Jerman yang bekerja sama dengan Pemda Kabupaten Jember terhadap 10 sekolah (8 SSN, 1 RSBI, 1 SBI) di wilayah kerja kabupaten Jember (Radar Jember, September 2009). Menarik untuk dicermati. Ibarat sebuah produk pelayanan jasa, pelanggan merasa kurang puas dengan hasil pelayanan. Maka wajar jika timbul pertanyaan-pertanyaan nakal : 1) hasil ini dari sekolah kotip, SSN lagi, lantas bagaimana dengan yang di luar kotip dan yang bertaraf di bawah SSN? 2) dikemanakan hasil pembinaan dan pelatihan yang selama ini diperoleh? 3) adakah kesalahan sistem dalam hal ini? 4) sesistemik apakah kesalahan itu? Maka tersedia banyak pernyataan. Untuk menjawabnya, tergantung siapa yang akan menjawab!

Belum lagi tentang ranking Indonesia yang peringkat dua di bawah dari 62 negara yang berkaitn dengan animo masyarakat untuk budaya literasi (membaca khususnya).

Sebenarnya kondisi ini bukanlah sesuatu yang aneh. Jauh sebelumnya, beberapa kalangan (dari birokrat maupun praktisi pendidikan) sudah memprediksi terjadinya kondisi ini. Bahkan dengan ringannya mereka mengakui adanya kesalahan kronis dalam menejemen pendidikan, yang ujung-ujungnya masyarakat diminta bersabar karena angin perubahan tidaklah semudah membalikkan tangan, titik! Sementara kehidupan terus berjalan, budaya begitu dinamis, dan pola pikir masyarakat menuntut untuk melesat tinggi.

Penulis menyayangkan keadaan ini. Bisakah pemerintah disalahkan, padahal realitas menunjukkan, dalam kurun 10 tahun terakhir pemerintah begitu mesra dengan dunia pendidikan. Kran pengembangan diri dibuka lebar-lebar, dana begitu deras mengalir di pojok-pojok kelas. Lebih hebat lagi, perangkat perundangan apa lagi yang dibutuhkan pasti akan dibuatkan.

Bagaimana dengan masyarakat? Sampai detik ini tidak ditemukan alasan yang cukup kuat untuk bisa menyalahkan masyarakat, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.

Kalau demikian, berarti manusianya sebagai pelaku pendidikan.? Ternyata faktor ini masih harus di pilah lagi. Siswakah? Jelas bukan, karena siswa bukan lagi sebagai objek didik yang tentunya harus steril dari kesalahan proses pembelajaran terhadap dirinya. Kalau toh guru yang terpaksa menjadi sasaran kesalahan, di wilayah mana letak kesalahannya; sumber daya manusianya (yang biasanya berbentuk kompetensi shoftwear) ataukah faktor pendudukung yang membentuk kompetensi profesinya?

Benang merah memang terlalu rumit untuk diurai. Meski demikian, kita harus memiliki minimal 2 keyakinan, yaitu : 1) menyadari telah terjadi kesalahan tetapi tetap optimis kalau kesalahan itu adalah momen yang tepat untuk menjadi pijakan menuju yang lebih baik,dan 2) berani berimprovisasi untuk menemukan alternatif pemecahan.

Sebagai masyarakat akademik, kita harus melihat kejadian ini dengan jernih. Kompleksitas persoalan dunia pendidikan kita –diakui atau tidak- memang cukup banyak, tatapi harus diyakinkan bahwa sebesar apapun persoalan yang ada, masih ada alternatif pemecahannya. Terlalu berlebihan pula apabila kita harus menyalahkan orang lain dalam hal ini.

Berangkat dari pemikiran di atas, penulis mencoba mengkritisi keadaan ini dari sudut pandang guru. Penulis melihat ada yang kontradiktif. Di satu sisi kran-kran untuk memperbaiki kompetensi guru begitu terbuka lebar. Namun di sisi lain, terlihat pula adakalanya kran-kran tersebut terkesan tidak terprogram dan minim kelanjutan. Padahal dunia pendidikan adalah dunia dinamis, yang mengedepankan proses, yang melangkah berdasar konsep matang untuk mencapai target.

Ada cerita yang menarik ketika penulis mengikuti workshop pembelajaran CTL untuk guru di sekolah unit baru (USB) dan sekolah satu atap (SSA) –mohon dicermati status sekolahnya-. Ketika seaseon tanya jawab, ada seorang guru yang membeberkan pengalamannya dalam menangani siswa, sambil berkaca-kaca sang guru bercerita. Maka terkuaklah dalam forum itu gambaran siswa yang dekil, tidak ada minat belajar, gersangnya respon orang tua, sampai terbeber kondisi sarana yang beraliran minimalis. Inti paparannya, pembelajaran CTL atau pola apapun (dalam arti luas) adalah sesuatu yang nisbi diterapkan di sekolahnya.

Kegetiran guru tersebut bisa dimaklumi, tetapi tidak terlalu berdasar. Mari sedikit mundur kebelakang. Lima puluhan tahun yang lalu, ketika pembelajaran konstruktivistik (yang salah satunya melahirkan metode pembelajaran CTL) ini diujicobakan, sama sekali tidak mengaitkan kondisi siswa, orang tua ataupun sarana sebagai variabel penelitian. Justru kekuatan pembelajaran ini ada pada pemberdayaan faktor-faktor riil yang sedang dihadapi guru dan siswa untuk mengkontruksi fikir dan materi yang dipelajari dengan berbagai metode.

Diakui atau tidak, persepsi ini begitu subur hinggap di kalangan pendidik sendiri. Sehingga tanpa disadari menimbulkan kesalahan persepsi turunan yang lain, di antaranya :

1. rasa pesimistis (kalah sebelum perang), dalam artian, ambigu terhadap dinamika pembelajaran itu sendiri yang akhirnya memilih menerima kompetensi yang dimiliki apa adanya.

2. larut dalam tuntutan birokrasi, maksudnya, karena terlalu lamanya persepsi ini dibiarkan mengendap hingga langkah kinerjanya sebatas untuk memenuhi kewajiban administratip.

Maka lahirlah (setidaknya penulis melihat adanya dua gelagat yang cukup familier mewabah) di kalangan pendidik, apa yang saya sebut ambiguitas dalam menarik diri ketika mensikapi perubahan. Yaitu :

1. Berfikir Verbalistik

Gejala berfikir verbalistik ini dapat dilihat dari adanya kontroversi pelaksanaan ujian nasional (ketika masih ada UN). Sudah bukan rahasia lagi kalau Ujian Nasional merupakan target akhir. Dan tidak sedikit yang mensikapi perhelatan nasional ini dengan langkah-langkah yang kurang terpuji. Permasalahannya bukan pada perlu tidaknya ujian ini dilaksanakan, tetapi pada penekanan sikap. Hampir semua sekolah akan mementingkan (baca: memfokuskan energi) pada momen ini. Seakan pembelajaran adalah untuk ujian nasional. Benarkah? Betapa proses yang terjadi begitu kental dengan target angka-angka.

Gejala lain dapat pula dilihat dari maraknya workshop dengan iming-iming sertifikat bertaraf internasional. Dapat dipastikan panitia tidak akan pernah merugi, sementara peserta merasa terpuaskan dengan sertifikat yang diperoleh. Sebatas sertifikat! Mengapa? Karena dalam sertifikat ada janji-janji verbal.

2. Bersikap Eksklusif

Akhir dari rentetan kesalahan persepsi guru di atas akan berimbas pada ketertutupan diri (eksklusif). Contoh yang sederhana, realitas di lapangan membuktikan adanya keengganan sebagaian besar guru untuk membiasakan budaya tutor sejawat. Dan tidak jarang terjadi keengganan untuk membuka diri terhadap perubahan. Paradoks, bukan?

3. Memilih di Zona Nyaman

Untuk tengarai yang ketiga ini rasanya masih perlu kajian lebih mendalam. Setidaknya ada alasan penulis mengapa memilih zona nyaman ini ditengarai menjadi sebuah ambiguitas guru dalam melihat perubahan.

Adalah hal yang umum, sepuluh tahun terakhir, kemapanan hidup guru bisa dikatakan berubah drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Perubahan kesejahteraan ini sedikit banyak memberika kontribusi di sebagian guru untuk mencoba “istirahat sejenak” setelah berpuluh tahun pola kesejahteraannya (mohon maaf) rada terabaikan oleh pemangku regulasi. Kontribusi yang saya maksud adalah? Istirahat sejenak yang saya maksud adalah?

Penulis sudah 26 tahun menekuni profesi ini. Awal penulis menjadi guru, di ruang guru, di ruang pikir, di gema batin, yang terbaca saat itu adalah keterbatasan-keterbasan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Seiring perbaikan kesejahteraan, ruang guru, ruang pikir, ruang batin (di sebagian besar guru) kini tanpa disadari beralih ke garis untuk penyempurnaan pemenuhan piranti hidup. Diskusi-diskusi yang terjadi temanya benar-benar sudah berubah.

Gema perubahan atas kemapanan ini tidak jarang dijadikan ruang gelap di sebagian guru untuk memasrahkan kopetensinya atas perubahan yang terjadi. Dalam arti, cukuplah sudah rutinitas keprofesian ini seperti adanya, serahkan perubahan-perubahan itu pada mereka yang berkehendak.

Kembali saya tekankan, tengarai tentang memilih zona nyaman ini masih perlu diperdebatkan lebih lanjut. Tetapi setidaknya, jikalau ada guru yang memilih ini tidaklah terlalu banyak. Rerata, “pemaksaan” ternyata diperlukan agar yang memilih zona nyaman ini mau tergerak untuk segera bersikap memenuhi perubahan yang ada. Wallahu’alam...

Fenomena di atas adalah sebagian kecil akibat dari adanya sebuah kekhikafan (kalau tidak boleh dianggap kesalahan) pandang yang menjadi tantangan bagi guru di dunia pendidikan. Apapun kenyataannya, sungguh elegan kalau kita sebagai pelaku mengakui bahwa keprofesionalan kita sebagai pendidik sedang digugat oleh keadaan. Pensikapannyapun harus realistis dan terstruktur. Jadi, instropeksi adalah langkah yang tepat dalam mensikapi fenomena perubahan yang masiv ini.

Ujung-ujungnya, apapun pola, metode, perubahan, dan inovasi regulasi yang bergulir, penulis meyakini betul hanya dengan pembelajaran bermakna di kelaslah negeri ini akan menemukan mercusuar pendidikan. Seperti apa pembelajaran bermakna itu? Simak ulasan di bagian ketiga nanti, Iinshaa Allah. Ssemoga.

(bersambung...)

Kertonegoro, 10 Juli 2020

Salam,

Akhmad Fauzi

foto : nikenharenabio.blogspot.comm

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post