Akhmad Fauzi

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Mer...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ronde Malam 2 (cerbung akhmad fauzi)

Ronde Malam 2 (cerbung akhmad fauzi)

---

Cerita sebelumnya :

"Cinta pertamanya kandas di ujung keputusan orang tua. Ia harus mengubur rasa itu bersama jasad yang terbujur kaku. Ikhsan, menjemput ajal diperantauan, menggenggam sejuta kasih sayang. Pemuda desa yang dulu sedang naik daun potensi sepak bolanya...".

(Klik bag. 1-2 di https://m.facebook.com/profile.php?id=322638231189546&ref=content_filter)

---

Mata lelah Wiwik membanting kesana kemari, mencari ruang yang pas untuk menumpahkan rasa hati. Bukan tidak ada tempat untuk menempatkan fokus tatapan, tetapi habis sudah setiap sudut dapur sederhana rumah tua ayahnya ia titipi butir-butir air mata.

Wanto 11 tahun sudah, kurang dua bulan genap berusia 12 tahun. Hampir selama itu, bening kelopak gadis wiwik melelehkan kesedihan. Gurat kecantikan tak juga beranjak dari putri tunggal mantan petinggi desa.

Jauh sebelum ada kegetiran, ia perawan idaman. Status sang Bapak memperkuat nilai idaman yang sudah dimilikinya. Sebab itu pula, puluhan perjaka gemetaran membangun keberanian untuk menyentuhnya.

Sisa-sisa kebesaran itu, sebagian telah redup. Tetapi, keredupan itu telah melahirkan kemolekan yang lain. Mungkin sudah garis hidupnya, ia ditakdirkan memiliki kekuatan aurora cinta bagi lawan jenisnya.

Cinta pertamanya kandas di ujung keputusan orang tua. Ia harus mengubur rasa itu bersama jasad yang terbujur kaku. Ikhsan, menjemput ajal diperantauan, menggenggam sejuta kasih sayang. Pemuda desa yang dulu sedang naik daun potensi sepak bolanya.

"Kamu tidur saja Wik, kamu lelah...". Membuyarkan lamunan wiwik yang tanpa sadar sudah bersimpuh dipangkuan si Mbok.

Ia tak berhasrat memenuhi ucapan maknya. Membiarkan tangan keriput mengusap wajah basah air mata. Nafas tak lagi menghentak! Jemari lentik, dengan sebuah cincin mungil menggenggam erat lengan Mbok. Pagi yang hampa.

"Aku ngga menyangka apapun dengan kaji Dullah, Nduk. Tapi seperti itulah perasaan ku was-was saja". Timpal si Mbok, seperti ingin menjernihkan maksud ucapannya.

Wiwik tetap tidak bergeming, ia cengkeram sekuatnya lengan emak, seraya membenamkan kepala di pangkuan.

Wajah tua, Mbok, mencium kening anaknya. Lama.

"Apa ada kabar tidak enak toh Mbok, tentang kaji Dullah?", Wiwik bersuara.

"Mbok tidak mendengar kabar apapun Nduk...", bisik emak lirih ke telinga Wiwik.

"Jangan bohong, Mbok...", desak Wiwik.

"Aku tidak akan bohong pada kamu?".

"Cuma was-was saja kan?", cecar Wiwik lagi.

"Iya...".

Si Mbok mengangkat kepala Wiwik. Kelelahan terlihat di dahinya. Ia tinggalkan Wiwik sendirian.

Wiwik, terdiam. Membiarkan tubuhnya terbujur manja di atas dipan dapur. Tidak juga berhasrat untuk membenahi lekuk-lekuk tubuh yang polos tak tertutupi daster transparannya.

Dada yang besar tidak nampak gerakan cepat nafas gelisah. Entah, ia terlelap, atau sedang menimbun getir angan-angan atas perjalanan hidup sendirinya.

Pagi semakin beranjak naik, dapur tua itu lengang menenani telentangnya tubuh perempuan.

---

"Abaikan rasa itu...!".

Jauh Iksan melangkah pagi ini. Kata itu terus mengejarnya, di tengah gejolak kesungguhan hati meraba kasih mawar desa. Jika itu sebuah keputusan, berat nian harus menutup panjang jalan melumat debar kisah.

Iksan, bisa memahami ketajaman mata Wiwid mengulang kata-kata itu, usai tiga hari sebelumnya, sang ayah memintanya juga. Ketajaman mata itulah yang menancap diujung hatinya. Yang kini berusaha diguncang-guncang permohonan tegas dari sang ayah, petinggi desa, orang tua Wiwid.

Jalan desa yang terjal nan berkelok, Iksan jejaki untuk meminta sedekah bantuan rasa atas kenang indah yang pernah dinikmati bersama perindu hati, Wiwid. Memar mata Iksan setiap kali ia membuka langkah sembari meretas sudut-sudut jalan yang tertimbun kenang.

Pada sebuah balai, di pinggir selokan kecil, pinggir desa ia merebahkan diri!

"Aku tidak bisa melawan dilema ini, Mas...", Wiwid, mengusap lembut ubun-ubun Iksan.

Lajang itu membisu, tak juga hendak menatap wajah Wiwid yang bersimbah butir air mata. Iksan lebih senang meremas rambut Wiwid, yang terurai menutup dadanya.

Sore yang sepi.

"Mas, mungkin bukan sekarang waktunya untuk kita. Masih ada kesempatan", bisik Wiwid di telinga perjaka kekasihnya.

"Aku takut waktu malah melupakan kita, Wid...", sambut Iksan menjamah butiran air mata yang meleleh di sekujur pipi putih, sang kekasih.

"Setidaknya aku yang meyakini kita masih punya kesempatan itu, Mas".

"Aku juga, Wid. Aku juga...", bisik Iksan lugas.

Gadis itu, tersenyum, manja. Ia kecup tangan yang merebah dipipinya, dalam dan lama.

Sore hampir menghilang. Kabut tebal khas nuansa pedesaan mulai menyelimuti rupa teduh seluruh desa. Sejoli itu, memandang harap malam akan terus ramah dalam menggenggam cintanya.

Sore, yang akan semakin sibuk untuk menata perjalanan rindu.

(...bersambung)

Kertonegoro, 9 Januari 2018

Salam,

Akhmad Fauzi

Ilustrasi : arsip pribadi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post