Akhmad said Hidayat

Menulis adalah bagian dari kebebasan berkespreasi... menulis hal positif adalah karya dan sumbangsih intelektual. tetap berkarya!!!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Pulau
cerpen

Anak Pulau

ANAK PULAU

(terinspirasi dari cerita muridku dan saduran dari beberapa buku cerpen)

Sunyi malam, suara mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel menyeruap hingga ke dinding kamar terkecil, lampu terkadang redup dan terkadang terang, menandakan voltage turun atau ada angin yang mengganggu aliran listrik di desaku. Wajarlah, aku adalah anak pulau, tepatnya di sebelah selatan pulau Madura, Aenganyar (air baru) nama desaku, tapi nama desaku tak seperti namanya, di setiap musim kemarau aku selalu pergi ke sumur umum yang ada di sebalah timur rumahku hanya untuk mengambil beberapa liter air, karena semua sumur sudah kering, kalaupun ada rasanya sangatlah asin.

“Sesekali ajari aku mengaji,” ujarku padanya. Namun tak ada jawaban yang aku terima melainkan desingan mesin diesel yang bernyanyi mengikuti tempo ritme lampu yang terang redup.

Kemudian ia mulai mengotak-atik mesin perahu yang ada di halaman rumah, entah apa yang di otak-atik, aku belum paham saat itu, yang aku tahu ia selalu sibuk dengan mesin diesel tua yang selalu diperbaiki. Tapi hal itu, entah mengapa tak dapat menghilangkan resahku. Mengapa ejekan teman-temanku yang terus menggaung-gaung di kepalaku.

“Ha-ha,ha-ha! Karyo tidak bisa baca al-Qur’an” ejek teman-teman sekelasku.

“sudah besar tidak bisa baca al-Qur’an” lanjut temanku yang lain.

Betapa malunya aku, sampai-sampai aku menundukkukan kepalaku di bangku sekolah. Sepulang sekolah, aku menangis sambil meraung-raung kepada ayah yang sedah rebahan di bawah pohon mimba di halaman rumahku. Namun, tanpa menggubris tangisanku ayah malah memejamkan matanya sambil menghisap rokok cerutu buatan tangannya, bahkan ayah memarahiku untuk segera diam. Mendapat perlakuan seperti itu, tangis dan raunganku semakin menjadi, kemudian sekeras ombak ia menampar pipiku.

“Jangan berisik, Ayahmu ini lelah!”

Akupun kemudian berlari kecil ke bibir pantai, melihat deburan ombak yang menggulung, seolah-olah berkejaran satu sama lain. Aku nikmati deburan ombak seraya angin menggombaliku dengan belaian halus di rambutku. Aku selalu pergi ke pantai ini (sebut saja pantai soro’) untuk menenangkan hati seperti ibu menenangkan hatinya.

Karena ibu, ya ibu selalu membawaku ke sini, memberikan contoh kerasnya lautan, dan yang selalu aku ingat pesan ibu, janganlah kamu menjadi buih di lautan. Namun, aku selalu menyesali sesuatu, kenapa kau begitu cepat meninggalkanku ibu? Kenapa kau lebih dulu meninggalkanku? Kenapa kau tak mengajakku ibu?

“Tuhan mempunyai takdirnya, dan kita hanya menjalankannya, selalu bertawakkal kepada Allah nak.” Potongan nasihat itu yang terus terngiang di kepalaku.

Dan aku begitu malu saat ini, ketika tak sepotong surah Yasin dan Al fatihah kukirimkan kepada ibu, padahal aku ingin menjadi anak saleh seperti yang diimpikan. Ya, impian ibu yang nyaris mustahil untuk aku wujdukan, bukankah anak saleh itu adalah anak yang selalu mendoakan orang tuanya? Sedangkan aku, aku sampai saat ini masih belum bisa baca al-Qur’an, ibu maafin Karyo.

Akupun terus memaksa ayah, namun sekali aku bicara, seribu ombak ia menjawabnya. Ia selalu sibuk dengan mesin diesel tua dan perahunya, ia terlalu sibuk dengan tangkapan ikannya. Aku semakin merasa terkucil di kelas ketika mata pelajaran Baca Tulis al-Quran (BTQ), hanya aku satu-satunya murid di kelasku yang belum bisa membaca al-Qur’an. Hampir di setiap waktu mereka mengejekku, akhirnya aku mengambil keputusan untuk berhenti sekolah.

Bahkan ketika aku berhenti sekolah, ayah tetap biasa saja, tenang seperti lautan yang tak ada ombak di kala bulan purnama. Dan ayah selalu sibuk dengan perahu diesel tuanya dan mulai mengarungi samudra disaat malam tiba.

Kalau seperti ini, aku rindu sama ibu, aku selalu memanggil-manggil ibu, karena hanya ibulah yang mengajariku mengaji. Ayolah ibu, ajari Karyo mengaji.

Raungan dieselpun semakin malam semakin meraung-raung, seakan mengiyakan rinduku pada ibu.

Pagi yang cerah, burung-burung bersiul bersaut-sautan, matahari tidak ragu untuk menampakkan wajahnya. Namun hanya hatiku yang selalu terngiang wajah, senyum bahkan aroma bau dapur ibu.

“besok pergi ke Jakarta” ujar ayah sambil mencari sesuatu di kamarku, entah apa yang ia cari.

“mau kemana ayah?” sahutku

“buka warung, biar hidup kita tidak melarat seperti ini” jawab ayah

Aku menatap dinding langit kamarku yang tidak ber plafon, hanya ada laba-laba yang sibuk bekerja membuat jaring-jaring rumahnya. Menjaga warung (aberungan) ke jakarta?, sudah terbayang dibenakku betapa sumpeknya aberungan, hanya di dalam toko ukuran 4x4 meter, yang kesemuanya komplit disana beserta tempat tidur dan kamar mandi plus toilet di tambah barang-barang dagangan, terkadang harus tidur di tumpukan beras, karena saking sempitnya.

***

Bang, kapan abang menikahiku?” ujar Maisaroh ketika baru saja aku kulakan beras. Tampaknya ia telah menungguku lama.

Aku menatap wajah maisaroh, begitu banyak kenangan yang telah kuukir bersama, susah senang bersama, ada canda, senyum, marah, bahkan cemburupun sudah di rasakan bersama. Bahkan, dulu untuk mendapatkannya aku harus bersusah payah, karena Maisaroh bukanlah gadis yang mudah dirayu, selain tentu karena ayahku yang tidak setuju, karena sebelumnya ia telah menentukan dengan siapa aku menikah. Namun aku bersikeras mempertahankan Maisaroh, aku selalu berkata kepada ayah, aku tidak bisa hidup tanpa Maisaroh, aku cinta padanya.

“Nak, tahu apa kamu tentang cinta? Ibumu mati karena cita,” nasihatnya ketika itu ayah sudah terbatuk-batuk hingga aku berkali-kali menggantikannya untuk menjaga warungnya sampai dini hari.

“Maksud ayah?”

“Kau ini anak pulau, kau harus menikah dengan anak pulau juga” ujarnya sambil hentakan batuk semakin menjadi-jadi, aku pijat pundaknya sampai nafasnya sudah mulai teratur.

Penjelasan ayah makin tak kupahami. Tapi aku mencoba menerkanya.

Yang kuingat ibu adalah gadis yang tinggal di kota Jakarta, hampir mirip dengan Maisaroh. Sebab ibu pernah mengungkapkan kerinduannya pada tanah kelahirannya di Jakarta, sampai-sampai aku terkagum dengan cerita ibu tentang tanah kelahirannya, walaupun pada kenyataannya Jakarta adalah tempat yang paling padat dan sibuk. Aku tidak pernah mengetahui rumah ibu, karena sejak kelahiranku aku tidak pernah pergi ke rumah ibu, walaupun aku sudah bolak-balik Jakarta – Madura. Tak ada biaya yang selalu menjadi alasan.

“mereka tidak benar-benar mengerti pulau” kembali ayah berujar di sela batuknya.

Perkataan ayah benar-benar memancing nostalgia masa kanak-kanakku.

“Kenapa ibu sering membawaku ke sini?” tanyaku pada ibu ketika ia mengajakku ke pantai soro’.

“memahami pulau” jawabnya selalu.

Aku sekarang baru paham, kenapa dulu ibu hampir setiap sore mengajakku ke tempat itu. Ayah terkadang keras pada ibu, aku pernah melihatnya. Ayah memarahi ibu hanya karena ibu memintanya untuk tidak sering berlayar.

“kita itu butuh uang, kalau aku tidak berlayar mencari ikan, kamu dan karyo mau makan apa?”

Aku berguman didalam hatiku, apakah ini yang dinamakan mengerti pulau?

Namun cintaku kepada Maisaroh tidak dapat terbendung, raut wajahnya, suara merdunya selalu terngiang di telingaku, masuk dalam otakku dan merasuk kedalam kalbuku. Bahkan ketika ia bertanya tentang kepastianku, tanpa fikir panjang pun aku menganggukkan kepala. Aku hanya butuh beberapa bulan saja untuk aberungan, untuk mendapatkan uang yang cukup demi menggelar acara pernikahan kami berdua, walaupun nantinya acaranya sangat sederhana saja, yang penting sah. Tapi lagi-lagi aku mengalami kendala

“kau bisa mengaji?” tanya ayah Maisaroh

Cintaku ditantang dengan satu syarat yang kebanyakan orang itu sangat mudah, namun bagiku tidaklah semudah itu, bahkan mengeja alif saja aku sudah pusing tujuh keliling.

Teringat kembali aku pada ibu, berapa banyak surah Yasin dan al-Fatihah yang belum aku kirim padanya?

Belum sempat aku menuntaskan syarat itu, ayah Maisaroh sudah datang beberapa minggu kemudian dengan muka yang begitu garang.

“Kali ini kau harus menikahinya! Kau harus bertanggung jawab atas kehamilan anakku!”

Akupun mengiyakan. Tak perlu aku bahas tentang suatu kehamilan, karena itu hanyalah kebohongan. Maisaroh hanya berbohong kepada keluarganya, karena dia tau betapa aku begitu sulitnya untuk membaca al-Qur’an.

Dalam hatiku hanya berkata : Ayah, kata siapa kota tidak bisa memahami pulau?

***

Hari, bulan, dan tahun pun berganti, musim-musimpun sudah menemani kami berdua, aku dan istriku bekerja di jakarta sebagai pedagang kecil (aberungan). seperti biasa layaknya orang-orang pulau yang merantau ke Jakarta yang memang pekerjaanku bersama ayah sejak aku putus sekolah SD.

Namun usaha pedagang semakin tahun pun semakin banyak ditiru oleh orang pulau, banyak orang pulau yang aberungan ke Jakarta, hingga pada akhirnya kami bangkrut dikarenakan sepi pembeli dan banyak para pedagang baru yang mendirikan di tempat sekitarku.

Aku dan istriku pulang ke pulau Giligenting, tempat kelahiranku, salah satu pulau yang berada di sebelah selatan pulau Madura. Aku bekerja di pulau itu sebagai nelayan, sebagai perahunya adalah warisan dari perahu diesel tua ayahku. Hanya perahu itu sebagai modal untuk menafkahi Maisaroh.

Meninggalnya istriku, aku benar-benar kesepian, sakit batuk dan TBC yang menyerang istriku membuat ia tidak bisa bertahan. Lima belas tahun sudah ia menemaniku. Cukup banyak hal yang terjadi pada kami, suka maupun duka. Adapun buah percintaan kami, seorang anak lelaki kini berumur sepuluh tahun.

Aku sangat menyayangi anak itu, makanya terkadang aku tidak tega meninggalkan dia sendirian sementara aku melaut, makanya terkadang aku melaut ketika dia sudah tidur dan pulang hampir subuh. Seperti ayah yang tidak pernah memberikan beban apapun kepadaku. Ah, Ayah yang telah meninggalkanku setahu setelah penikahanku itu, sungguh-sungguh aku belum banyak menimba ilmu dari matanya yang sayu itu.

Dan tentang Maisaroh? Entah mengapa, kini setiap kali aku ketepian pantai untuk melabuhkan perahuku dan menghitung hasil tangkapan ikan, teringat selalu wajah Maisaroh yang hitam manis itu. Ia selalu menyisakan lubang dalam hatiku. Ah, sungguh rindu. Benar-benar begitu mesra kami dulu, walau terkadang kami harus bertengkar untuk masalah berlayar.

“Anakmu ini masih kecil, sering-seringlah di rumah. Aku lelah seharian menjaganya. Siang aku merawatnya, memandikan, memberi makan, menyusi, sementara malam harinya, aku harus mendengar tangisannya. Aku sungguh lelah Bang,sekali-kali bantulah aku!”

Mendengar kata-kata itu, beringaslah diriku. Ia pikir aku tidak kerja?

“kau pikir aku melaut untuk bersenang-senang? kita itu butuh uang, kalau aku tidak berlayar mencari ikan, kamu dan anak kita mau makan apa?”

Lalu kami saling beralasan satu sama lainnya. Aku bersikuku, begitupun dengan dirinya. Sementara bunyi mesin Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) selalu meraung dan menyeruap seperti dulu sampai tempat kamar terkecilpun.

Ayah teringat aku padamu, benarkan apa yang kau ucapkan dulu tentang anak pulau?

Ketika aku baru merebahkan tubuhku di bawah pohon mimba depan halaman rumahku untuk beristirahat sembari menghisap cerutu hasil buatan tangan, entah kenapa anakku menangis, meraung-raung sejadi-jadinya dari sekolah.

“Ayah ajari aku mengaji,” di sela tangisannya. Aku terdiam, selama ini keinginannya untuk mengajarinya mengaji tak juga kupenuhi, tidak lain karena sedikit pun aku tak pandai mengaji, tak dapat membaca al-Qur’an dengan benar dan baik.

Aku menutupinya dengan berusaha tak peduli padanya. Namun, tangisnya semakin menjadi-jadi. Tubuhku yang lelah membuatku jadi pemarah. Aku menjadi begitu geram, gigiku gemrutuk menahan amarah. Tetapi akhirnya pecah juga. Kupu ia diselangi bentakanku yang cukup keras.

Ia terdiam, kemudia pergi entah kemana. Aku kembali merebahkan tubuhku, teringat wajah ayah, apakah kau bisa mengaji?

Seperti biasa, tak ada jawaban yang aku terima melainkan suarau raungan mesin PLTD di dekat rumahku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ikut terbawa alunan cerita yang mengharukan. Mantul tulisannya. Salam lietrasi!

23 Feb
Balas

iya bu makasih, salam kenal dari saya , guru dari pulau garam Sumenep Madura

23 Feb



search

New Post