Akhmad said Hidayat

Menulis adalah bagian dari kebebasan berkespreasi... menulis hal positif adalah karya dan sumbangsih intelektual. tetap berkarya!!!...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGAPA TUT WURI HANDAYANI???

MENGAPA TUT WURI HANDAYANI???

MENGAPA TUT WURI HANDAYANI???

Sebuah Filsuf Lokal yang tiada tandingannya

Oleh : Akhmad Said Hidayat,S.Pd.SD

Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangon karso, tut wuri handayani.

(di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi daya kekuatan)

“.....kok gak ing ngarso sung tulodho atau ing madyo mangon karso?”. Pertanyaan ini memang selalu muncul semenjak saya mengenal kalimat Tut Wuri Handayani, saya mengenal kalimat tersebut disaat duduk di bangku Sekolah Dasar, karena memang kalimat itu sangat familiar dan sudah tertulis di setiap topi sekolah dan juga slogan-slogan di buku mata pelajaran, bahkan sudah terpampang di sampul buku tulis saya. namun pada saat itu saya hanya mengenal kalimatnya saja tanpa tahu kutipan sebelumnya bahkan maknanya.

Seiring berjalannya waktu, kalimat Tut Wuri Handayani ini hanya menjadi kalimat saja, pasalnya selama saya mengenyam pendidikan sejak SD sampai lulus kuliah, saya tak pernah mendapatkan ulasan arti falsafah ini, kecuali sebatas pelajaran sejarah yang hanya mengenalkan saja. saya hanya dipelajari sedikit saja tentang ulasan kalimat “Tut Wuri Handayani” di bangku sekolah, namun walaupun hanya sebatas ulasan pelajaran sejarah saja, saya sudah cukup bergembira, ternyata sebelum kalimat “Tut Wuri Handayani” ada kalimat lain dibelakangnya yaitu kalimat “Ing ngarso sung tulodho dan ing madyo mangon karso”.

Kegelisahan saya semakin bertambah ketika saya berada di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU), mata pelajaran di bangku SMU jurusan IPS beramai – ramai menunjukkan kearifan filsafat bangsa lain, seperti plato dan aristoteles dan lain sebagainya. Banyak ulasan yang lebih detail tentang para filsuf tersebut, namun sedikit sekali membahas tentang filsafat kearifan lokal khususnya kalimat “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangon karso, tut wuri handayani”. Saya seolah-olah di cekoki filsafat bangsa lain yang menurut saya tidak pernah ada kaitannya dengan budaya lokal. Dan sempat saya berfikir “apa iya hasil pemikiran/filsafat bangsa lain itu bisa menjamin untuk bertahannya budaya kita?” sedangkan ulasan filsafat bangsa sendiri mendapatkan porsi sedikit di dalam mata pelajaran? Kenapa? Apakah bangsa Indonesia ini tidak Percaya Diri? Ah Dunia kita beramai-ramai mempelajari filsafat dari bangsa lain (sebetulnya ini juga tak salah jika dibarengi dengan pengkajian falsafah bangsa) tapi enggan menyelami kearifan lokalnya” Ibaratnya kita lupa pada baju sendiri dan selalu melirik pada baju tetangga.

Kembali pada pertanyaan di atas. “Kenapa Tut Wuri Handayani? Mengapa tidak yang lainnya saja? mengapa tidak Ing ngarso sung tulodho atau ing madyo mangon karso? Mengapa mengambil kalimat yang paling belakang? Ada apa dengan Tut Wuri Handayani? Benarkan itu cita-cita sekaligus cermin dari pendidikan bangsa ini?”

Pertanyaan tersebut terinspirasi dari siswa pertanyaan salah satu siswa saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5. Mereka bertanya : “Pak, kenapa harus Tut Wuri Handayani?” sontak saya menelan ludah, dan sontak pikiran saya secara auto terkumpul beberapa pertanyaan seperti yang saya tuliskan diatas. (“Kenapa Tut Wuri Handayani? Mengapa tidak yang lainnya saja? mengapa tidak Ing ngarso sung tulodho atau ing madyo mangon karso? Mengapa mengambil kalimat yang paling belakang? Ada apa dengan Tut Wuri Handayani? Benarkan itu cita-cita sekaligus cermin dari pendidikan bangsa ini?”)

Sebelum membahas tentang falsafah ini, alangkah arifnya jika kita kembali menengok sejarah, melihat rahim kelahiran pendidikan bangsa ini yang kemudian mengangkat “Tut Wuri Handayani” menjadi falsafahnya. Mengingat masalah pendidikan kita mungkin akan teringat pada peran bapak pendidikan kita, yaitu Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya. Lembaga pendidikan ini didirikan bertujuan untuk membuat budaya tanding terhadap pendidikan kolonial masa itu. Selian itu, pendidikan bermaksud menyadarkan bangsa ini dari keterjajahan, baik fisik dan budaya, sehingga tercapai sebagai bangsa yang memiliki kemerdekaan seutuhnya. Taman siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara setelah beliau pulang dari menuntut ilmu di Negeri Belanda. Tapatnya pendirina Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Taman siswa mempunyai 7 pasal asas yang dijadikan pedoman bagi kalangan Taman Siswa.

Pernyataan asas Taman Siswa, seperti yang ditulis Abdurachman Surjomihardjo dalam bukunya Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam Sejarah Indonesia Modern, itu berisi 7 (tujuh) pasal yang dapat diringkas sebagai berikut: pasal 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran, maka hal itu merupakan usaha mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib-damainya hidup bersama.

Di dalam pasal 1 termasuk juga dasar kodrat alam, yang diterangkan perlunya, agar kemauan sejati dapat diperoleh dengan perkembangan kodrat, yang terkenal dengan “evolusi”. Dasar ini mewujudkan sistem among, yang salah satu seginya ialah mewajibkan para guru untuk berperan sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi “mempengaruhi” dengan memberi kesempatan kepaada anak didik untuk mewujudkan diri sendiri. Itulah yang disebut tut wuri handayani. Di samping guru diharuskam dapat membangkitkan pikiran murid, bila berada di tengah-tengah mereka, memberi telada bila di depan.

Pasal 3 menyinggung sosial, ekonomi dan politik. Kecenderungan bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan kebarat-baratan akan menimbulkan pelbagai kekacuan. Sistem pengajaran yang timbul dianggap terlampau mementingkan kecerdasan pikiran, yang melanggar dasar-dasar kodrati yang terdapat dalam kebudayaan sendiri, sehingga tidak menjamin keserasian dan memberi kepuasan.

Pasal 4 mengandung dasar kerakyatan. Pernyataan “tidak ada pengajaran, bagaimanapun tingginya dapat berguna, apabila hanya diberikan kepada sebagaian kecil dalam pergaulan hidup. Daerah pengajaran harus diperluas.”

Pasal 5 merupakan asas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya. Pokok dasar ini ialah percaya kepada kekuatan sendiri untuk tumbuh.

Pasal 6 berisi pernyataan dalam mengajar kemerdekaan dengan jalan keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha.

Pasal 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir dan batin bagi guru untuk mendekati anak didiknya.

Itulah 7 pasal yang menjadi landasan taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Jika kita perhatikan pasal tersebut lebih menekankan, atau berpusat pada siswa (student centered), peran guru sekedar fasilitator (meminjam gaya bahasa pendidikan yang sering kita dengar). Jadi, tak ayal jika dunia pendidikan kita mengambil Tut Wuri Handayani sebagai slogan, falsafah pendidikannya.

Dan juga saya sempat teringat pada teori pembelajaran konstruktivisme Menurut teori ini (Trianto, 2010: 74), guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya.

Esensi dari teori pembelajaran ini adalah siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu informasi komplek apabila mereka menginginkan informasi itu menjadi miliknya Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivisme adalah teori yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita (Slavin, 1994: 225)

Dari kesimpulan teori konstruktivisme siswa yang secara aktif di depan membangun pengetahuan dengan cara kontinuitas mengupdate informasi, namun nantinya jika ada gejala siswa melakukan kesalahan, guru memberikan masukan atau arahan dari belakang yang kita kenal dengan istilah Tut Wuri Handayani.

Konsep konstruktivime dengan model pembelajaran berpusat pada siswa ini sebenarnya sama dengan konsep Slogan Tut Wuri Handayani atau dalam bahasa madura “nganjuh” atau mengasuh. Artinya seorang guru mengasuh muridnya dengan mengikuti setiap gerak geriknya tanpa harus terlibat didalamnya. diibaratkan kita nganjuh/mengasuh anak balita yang sedang belajar merangkak, kita ikuti saja gerak-gerik si anak tanpa harus merangkak juga, namun ketika si anak mau merangkak ke arah listrik,kompor atau benda yang berbahaya, kita angkat anaknya kemudian kita taruh lagi ke tempat yang lebih aman dan kemudian merangkak lagi bayinya, sampai pada akhirnya si anak tersebut fasih dalam merangkak. Dalam proses merangkak tersebut biarkan anak mendapatkan informasi dengan sendirinya, anak akan merasakan jatuh, bangun, jatuh dan bangun lagi hingga anak akan memiliki kesimpulan dengan sendirinya

Inilah falsafah lokal yang tiada tandingannya, inilah falsafah lokal rasa internasional, dan pada akhirnya saya mengerti kenapa harus Tut Wuri Handayani sebagai slogan pendidikan kita.

Ayo Majukan Pendidikan kita dengan Tutwuri Handayani. Selamat Hari Pendidikan 02-Mei-2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post