Akhmad said Hidayat

Menulis adalah bagian dari kebebasan berkespreasi... menulis hal positif adalah karya dan sumbangsih intelektual. tetap berkarya!!!...

Selengkapnya
Navigasi Web
TANTANGAN SEKOLAH DALAM MELITERASIKAN BUDAYA LITERASI

TANTANGAN SEKOLAH DALAM MELITERASIKAN BUDAYA LITERASI

Contoh paling mengesankan tentang budaya literasi adalah apa yang pernah dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah dahulu. Dinasti yang berkuasa kurang lebih 90 tahun (661-750 M) ini mampu menyajikan budaya keilmuwan yang sangat luar biasa, memberikan fasilitas kepada siapa saja yang cinta terhadap ilmu pengetahuan, bahkan para ulama yang cinta ilmu pengetahuan itu diberikan kebebasan untuk secara kontinu melakukan riset dalam bidang pengembangan sains guna menciptakan macam-macam teknologi berdaya guna.

Budaya ini bukan suatu hal yang tiba-tiba ada dan otomatis begitu saja muncul. Budaya ini dimulai oleh pemimpin pada masanya, dimana khalifah Dinasti Abbasiyah memang sangat mencitai ilmu pengetahuan. Harun Ar-Rasyid misalnya, seorang khalifah Abbasiyah yang menerjemahkan cintanya terhadap pengetahuan dengan cara mendirikan suatu perpustakaan bernama Baitul Hikmah. Perpustakaan ini, konon kabarnya setelah produksi kertas ditemukan, koleksi bukunya menyentuh angka satu juta buku pada tahun 815 M, dan berpuluh-puluh tahun kemudian, di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini sejarahwan mencatat ada lebih dari 100 perpustakaan di Baghdad. Kota-kota kecil bahkan bisa dipastikan sudah mempunyai rumah baca dengan masing-masing koleksinya 40 ribu buku.

Sepertinya, budaya cinta ilmu pengetahuan di zaman keemasa Islam ini memang mengakar kuat di hati sanubari muslim pada waktu itu. Menjadi sesuatu yang prestige. Buktinya, tidak hanya Dinasti Abbasiyah di Baghdad, bahkan di Mesir dimana kekuasaan dipegang oleh Dinasti Fatimiyah juga mendirikan Al-Azhar guna menyaingi Baitul Hikmah di Baghdad tadi. Tidak mau kalah juga, yaitu Sultan al-Hakam II, seorang khalifah Dinasti Umayyah di Spanyol, dimana beliau dikabarkan mempunyai koleksi buku lebih dari 600 ribu buku, bahkan beliau juga membangun perpustakaan besar di Kordoba-Spanyol dengan meniru Baitul Hikmah Abbasiyah. Cinta ilmu pengetahuan menjadi persaingan, berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam upgrade bidang keilmuwan.

Demikian, budaya baik yang dimulai oleh penguasa ini pada akhirnya melahirkan sesuatu yang luar biasa, Islam sukses gilang gemilang. Lahir dari rahimnya para ilmuwan cerdas cendekia. Tidak diragukan kualitasnya. Bahkan dunia modern saat ini masih merujuk kepada buku-buku induk yang pernah dibuat oleh ilmuwan muslim pada masa keemasan ini.

Selain Islam, contoh paling dekat adalah apa yang pernah dilakukan oleh Jepang. Pada masa Restorasi Meiji tahun 1866-1869, Jepang menggalakkan program penerjemahan buku secara besar-besaran. Konon, akibat dari Restorasi Meiji ini, buku yang terbit pekan ini di Amerika sudah dapat tersaji bukunya dalam bahasa Jepang di pekan berikutnya, dan ini ditujukan agar masyarakat dapat mengkonsumsi bacaan tanpa harus bersanding dengan kamus. Kemudian hasilnya, bisa dilihat Jepang dewasa ini, Jepang menjelma salah satu negara yang diperhitungkan di dunia, teknologinya meroket perkembangannya.

Memang benar adanya, bahwa untuk memupuk sumber daya manusia yang berkualitas perlu adanya budaya cinta pengetahuan, atau konsumsi terhadap ilmu pengetahuan yang tinggi. Contohnya dua ilustrasi di atas, bahwa masyarakat dengan daya konsumsi tinggi terhadap ilmu pengetahuan dapat secara perlahan meningkatkan kualitas manusianya, yang secara pasti menggiring kepada kualitas bangsa secara umum. Dinasti Abbasiyah tadi, menjadi digdaya akibat pemimpinnya yang memang memberikan fasilitas terhadap akses pengetahuan, begitu juga Jepang menjadi cemerlang akibat kebijakan pemerintahnya untuk memberikan kemudahan kepada masyarakatnya guna berkenalan dengan pengetahuan-pengetahuan non lokal. Masyarakatnya perlahan menjadi cerdas dan arif, kemudian menyokong kualitas bangsanya secara general.

Budaya mencintai ilmu pengetahuan dewasa ini bisa disebut dengan istilah lain, yaitu budaya literasi; dimana seseorang mempunyai kemampuan untuk selalu konsisten mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis dan atau berbicara. Melalui budaya literasi ini maka harapannya seseorang mempunyai budaya belajar sepanjang hayatnya, seseorang kemudian mempunyai kebiasaan untuk terus menerus meng-upgrade dirinya dengan pengetahuan-pengetahuan baru dan tidak pernah merasa puas dan berhenti dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Budaya literasi menggiring seseorang untuk semakin haus akan ilmu pengetahuan, menggiring seseorang untuk tidak pernah puas dengan kreasinya dan terus mencari hal baru demi memperbaharui kreasinya itu.

Namun, tidak mudah menanamkan budaya macam budaya literasi ini. Budaya literasi bukanlah sesuatu yang ketika dikerjakan pada detik ini maka hasilnya akan kelihatan di detik selanjutnya. Pengetahuan yang digali melalui budaya literasi ini memang tidak instan dampaknya, tidak langsung bisa dirasakan manis buahnya, sebab pengetahuan-pengetahuan yang seseorang serap setiap harinya memerlukan waktu untuk kemudian menjadi praktis-aplikatif.

Penanaman budaya literasi menjadi semakin tidak mudah dan semakin menantang dewasa ini karena ada sesuatu yang bernama ledakan informasi (information explosion) yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi bersama sosial media. Segala macam informasi dewasa ini bercampur baur, tidak bisa disortir mana informasi yang layak dikonsumsi dan tidak layak dikonsumsi. Sehingga, kondisi demikian hanya memberikan rangsangan kepada seseorang untuk mengkonsumsi informasi yang dapat memuaskan hasratnya semata, bukan murni untuk perkembangan pola pikir dan kualitas dirinya.

Bahkan hal yang lebih ekstrim dapat terjadi, yaitu pemanfaatan secara negatif terkait ledakan informasi ini. Ada beberapa oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan ledakan informasi ini untuk menyebarkan sesuatu yang negatif, demi kepentingannya sendiri, bahkan mendapatkan penghasilan dari itu, tanpa ada pertimbangan utilitas dari informasi yang disebarkannya.

Kemudian sekarang mari lihat kondisi Indonesia, budaya literasinya. Pada tingkat sekolah menengah, yaitu usia 15 tahun, geliat literasi—pemahaman membaca peserta didik—Indonesia diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Pada tahun 2009, peserta didik Indonesia berada di peringkat ke-57, dan pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke-64. Namun perlu diketahui, bahwa partisipan dalam PISA 2009 dan 2012 ini adalah 65 negara, dan dapat disimpulkan sendiri bagaimana kualitas budaya literasi Indonesia ini.

Oleh karena itu, maka penanaman budaya literasi ini sangat perlu dilakukan sedini mungkin. Dan ini sebenarnya telah digalakkan oleh pemerintah itu sendiri melalui suatu gerakan yang bernama GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Peserta didik di sekolah digiring kepada suatu budaya positif untuk terangsang minatnya terhadap aktivitas membaca, menelaah, bahkan pada menyimpulkan sesuatu. Menarik sekali apa yang telah disajikan pemerintah terkait panduan bagaimana menggalakkan GLS ini; di sekolah dasar misalnya, tahapan pelaksanaan GLS meliputi tiga tahap, yang antara lain (1) penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca, (2) meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan (3) meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran: menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran.

Dengan demikian, peserta didik di sekolah telah diberikan fasilitas berupa atmosfer dimana peserta didik akan bertemu dengan geliat literasi dalam setiap aktivitasnya, baik di luar atau di dalam kelas. Bahkan melalui GLS ini sekolah mempunyai target berupa penyediaan sudut buku kelas, perpustakaan, atau area baca; dan tentang eksekusi bagaimana membuat peserta didik tertarik terhadap aktivitas literasi adalah hal yang bersangkutan dengan kreativitas guru itu sendiri dalam mengemas GLS ini.

Sebab masalah utamanya tentang literasi ini sepertinya bukanlah di sekolah, melainkan sesuatu di luar sekolah itu sendiri. Tidak ada sekolah, sepertinya, yang membiarkan peserta didiknya untuk tidak membaca, paling tidak materi ajar di dalam kelas. Tidak ada guru, sepertinya, yang tidak memberikan motivasi tentang apa pentingnya membaca. Bahkan demi menunjang hal demikian, pihak sekolah tidak jarang memberikan penghargaan melalui penyelenggaraan lomba-lomba yang berkaitan dengan literasi ini.

Logikanya adalah jika lembaga sekolah hanyalah satu-satunya lembaga yang berusaha merangsang peserta didik untuk giat dalam literasi, tentu hasilnya tidak akan maksimal. Sekolah masih perlu dukungan dari lembaga-lembaga lain, lembaga keluarga misalnya, atau bahkan masyarakat itu sendiri. Sebab, apabila lingkungan keluarga juga memberikan dukungan dalam penyediaan lingkungan literasi terhadap peserta didik maka usaha di sekolah tentu akan semakin melekat, semacam ada keberlanjutan/kontinuitas penanaman budaya literasi.

Apabila usaha sekolah tidak kunjung mendapat dukungan dari lembaga keluarga atau masyarakat ini, maka tentu lambat laun gerakan literasi di sekolah hanya akan menjadi rutinitas belaka. Peserta didik hanya akan menganggapnya sebagai bagian dari kegiatan rutin dirinya di sekolah, sepulang sekolah maka literasi tidak lagi diperlukan. Aktivitas literasi hanyalah suatu pekerjaan yang hanya perlu dikerjakan di sekolah saja, dan di luar sekolah literasi tidak lagi diingat-ingat dan bahkan ditinggalkan.

Oleh karenanya, jika sekolah memang benar-benar serius dengan gerakan literasi ini, maka langkahnya adalah komunikasi dengan pihak keluarga peserta didik, untuk juga mendukung dalam semarak gerakan literasi ini. Paling tidak, keluarga memberikan pengawasan dalam konsumsi informasi dari anaknya, dimana dewasa ini anak-anak meski masih belia sudah mahir dalam penggunaan sosial media; orang tua paling tidak menggiring anak-anak untuk menyukai konten-konten positif dan mendidik ketika sedang berinteraksi dengan teknologi informasi semacam sosial media, televisi atau yang lainnya.

Demikianlah, bahwa untuk benar-benar mewujudkan mimpi budaya literasi bagi negeri ini tidak bisa hanya mengandalkan lembaga sekolah; pihak lembaga keluarga perlu diberikan kesadaran untuk juga mendorong dan melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh sekolah melalui program literasi ini. Begitu juga masyarakat, akan semakin dahsyat dampaknya apabila mampu memberikan atmosfir senada dengan apa yang telah sekolah berikan. Lembaga sekolah-keluarga-masyarakat bersatu padu menggalang gerakan literasi, tidak membiarkan panca indera peserta didik lepas dari aktivitas literasi; di sekolah bertemu dengan literasi, rumah juga demikian, lingkungan masyarakat yang ditemuinya saat keluar dari rumah juga demikian. Aktivitas literasi ada di mana-mana. Bersatu padu demi membangun masa depan bangsa, Indonesia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Jadikan bapak sbg prototipe literasi dg banyak membaca dan aktif menulis. Tetap semangat dan sukses selalu

14 Feb
Balas

Siap bu... Butuh bimbingn dri rekan2x disini.

14 Feb

Salam literasi dan salam kenal pak. Semoga gerakan literasi bisa terwujud di semua sekolah

14 Feb
Balas

Sala kenal juga bu

14 Feb

Siap bu.. Saling meng follow y bu... Biar kita bisa menyambung silaturahim,wawasan, pengetahuan n pengalaman

14 Feb
Balas

Maree pak saling follow kita

14 Feb



search

New Post