Akhmad Ubedi

Lahir di Tegal, kini sebagai guru di SMPN 257 Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketupat Lebaran

Ketupat Lebaran

Ketupat Lebaran

Oleh Ubedi

Siang ini suasana Pasar Cibinong nyaris penuh. Pembeli berdesak-desakan melewati tiap lorong. Mereka hilir mudik saling bersenggolan. Suasana semakin riuh oleh teriakan pedagang yang menawarkan dagangannya. Udara terasa pengap di tengah-tengah pasar.

"Dibeli, dibeli, dibeli. Dipilih, dipilih, dipilih. Mari Bu, belanja buat lebaran," teriak pedagang yang masih sangat muda.

Di sampingnya seorang perempuan duduk sambil membolak-balikan dagangannya.

"Bu, ketupat lebaran. Dua puluh ribu." Seorang bocah laki-laki menawarkan bungkus ketupat janur.

Bu, tinggal 3 ikat lagi. Suaranya memelas minta agar aku membelinya. Beli ya Bu, pintanya.

Aku tatap wajah sayunya. Matanya bening. Rambutnya agak keriting. Kulitnya bersih. Hidungnya tidak terlalu mancung.

Aku ajak bocah itu ke tempat yang agak longgar agar bisa berbincang dengannya. Ia menurut saja saat aku ajak ke tempat parkir. Di situ tidak terlalu sempit dan terganggu lalu lalang orang.

"Nak, berapa satu ikatnya," tanyaku.

"Dua puluh ribu." Ini ketupannya gede-gede, Bu."

Aku perhatikan gerak bibirnya saat mengatakan gede-gede. Suaranya mirip seseorang yang aku kenal. Ya orang yang dua lima tahun lalu aku kenal.

Sore sepulang praktikum IPA aku pulang bareng Karto. Kami memang sering bersama karena rumahnya searah denganku. Karto senang bercanda. Aku jadi tak bosan bila pulang bersamanya. Ada saja bahan obrolan sepanjang perjalanan. Jarak yang jauh terasa sebentar kalau sudah ngobrol dengannya.

Turun dari angkot kami masih harus jalan kaki melewati sawah dan pekarangan di sepanjang jalan. Sore itu cuaca mendung. Perjalanan masih jauh sampai ke rumah. Aku takut hujan akan turun sebelum sampai rumah. Tiba-tiba hujan turun. Kami kebingungan mencari tempat berteduh. Karto berlari tidak peduli denganku. Aku ditinggal sementara hujan rasanya akan semakin deras. Aku berteriak keras. Teriakanku tak digubris. Aku kesal. Aku ingin menangis.

Aku percepat langkah kaki agar bisa berteduh. Tapi, tak mungkin rumah warga masih belum tampak. Aku terus melangkah dengam menutup kepala dengan tas. Biarlah tasku basah asal kepalaku terlindungi.

Aku terus berjalan sendiri di bawah hujan yang makin deras. Mataku sudah panas. Aku tak mau menangis di bawah hujan. Air mata kupaksa tidak mengalir. Aku memaki dalam hati kenapa tadi tidak berlari bersama Karto.

Bajuku sudah mulai basah. Aku tak peduli. Di belalang kudengar suara kaki berlari mendekat. Aku tak berani menoleh. Aku terus berjalan makin cepat.

"Murfiah tunggu." Teriak Karto memanggilnya. Napasnya tersengal-sengal. Di tangannya dua pelepah daun pisang yang cukup lebar. Ia sodorkan satu untukku.

"Maaf, aku kelamaan sampai bajumu sudah basah begini," katanya. "Tapi, tidak apa yang penting kepala kamu tidak basah. Biar tidak masuk angin."

Ia tarik tangan kananku untuk menerima pelepah daun pisang sebagai pelindung kepala. Aku diam tak berkata apapun. Ada rasa bersalah telah mengira Karto meninggalkan aku sendiri di bawah hujan.

Aku menurut saja ketika tangannya menarik tangan kiriku meninggalkan tempat itu.

"Ibu mau berapa ikat?" suara bocah itu mengagetkanku.

Aku tersenyum memandang mata bening dan rambut keritingnya. Kuberikan dua lembar uang seratus ribu.

"Bu, ini kebanyakan," kulihat matanya penuh keraguan.

29 Ramadhan 1443

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post