Akhmad Ubedi

Lahir di Tegal, kini sebagai guru di SMPN 257 Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Penjual Koran

Penjual Koran

Penjual Koran

Akhmad Ubedi

Korannya Pak, koran..., koran. Seorang anak kecil berbaju hitam celana pendek warna gelap mondar-mandir menjajakan koran ke setiap orang yang lalu lalang di Pasar Cibinong. Di tangannya memegang beberapa koran berbagai penerbit. Wajahnya kelihatan kusam oleh debu halus yang menempel di sekitar pipinya.

"Korannya Pak...!" Dia mendekatiku yang sedang berdiri di emperan toko sambil menunggu isteri yang sedang belanja. "Pak...korannya, Pak...koran".

Dia menyodorkan korannya. Sesekali ditempelkan ke lenganku. Aku tersenyum menyaksikan ulah anak itu. Kuperhatikan mata dan kulit hitamnya. Makin kuperhatikan rambut ikalnya. Hatiku berdebar seakan mengenal sosok anak ini.

"De, sini!" Aku menyuruh anak itu mendekat. "Ya, Pak!" Ia berjalan mendekatiku. Tangan kanannya masih memegang koran yang tadi sempat ditawarkan. Sementara tangan kiri beberapa judul koran ada dalam dekapannya.

Melihat sosok anak penjual koran, tiba-tiba aku teringat sahabat lamaku tiga puluh tahun silam. Saat itu, media massa apa saja laris menjadi bacaan masyarakat untuk mencari informasi. Tidak memandang status sosial, koran menjadi salah satu media murah dan aktual. Banyak permunculan penerbit koran baru yang menginformasikan baik dunia kriminal, politik, bahkan yang berbau esek esek menjamur. Kebebasan informasi kebablasan menjadi makna tersendiri bagi dunia media massa. Di bis kota, terminal, lampu merah perempatan kota terlihat penjaja koran saling menawarkan koran.

Aku yang saat itu masih kelas 2 SMP mengajak Rahmat menemui agen koran. Aku minta dibolehkan ikut menjajakan koran sore sepulang sekolah. Aku dan Rahmat berjualan koran di perempatan lampu merah Pasar Rebo. Di situ tempat yang sangat strategis. Di sekitar perempatan banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di trotoar. Banyak pula penumpang bis kota yang hilir mudik.

Aku dan Rahmat kadang berebut naik bis kota. Kami sudah punya komitmen tak tertulis. Seandainya aku sudah duluan di dalam bis kota Rahmat langsung turun, juga sebaliknya. Kami tidak pernah ada keributan rebutan konsumen. Menjelang magrib kami ketemuan di samping pedagang buah. Kami hitung berapa koran yang terjual. Sebelum akhirnya harus setor ke agen koran, Bang Togar.

"Mat, berapa koran!" "Duapuluh satu". "Aku cuma lima belas." "Lumayan, Kar, masih diberi rezeki. Kita patut bersyukur Kar," ujar Rahmat dengan senyuman khasnya. Terlihat lesung pipit pada pipinya saat dia tersenyum. Kulit hitamnya tampak lebih mengkilat oleh peluh yang membasahi wajah dan tangannya. Rambut ikalnya membingkai wajah tampannya.

"Bang, besok kasih lima puluh ya", pinta Rahmat kepada Bang Togar. "Kau bisa pulang jam sembilan tau," kata Bang Togar sambil tertawa. "Rebes, eh beres Bang," ujar Rahmat sambil menyerahkan uang penjualan koran.

Aku merasakan kebahagian Rahmat saat membawa uang hasil penjualan koran. Dia tak pernah mengeluh walau kadang hanya laku lima koran saja. Dia tetap semangat sambil terus berkejaran dengan penumpang bis kota yang selalu berjubel.

Rahmat terus menjajakan koran di perempatan Pasar Rebo setelah lulus SMP. Sementara aku harus berpisah karena ikut Pakde melanjutkan SMA dan kuliah di Surabaya. Sejak perpisahan itu aku tidak saling berkomunikasi. Aku dengan aktivitas sampai menyelesaikan kuliah. Entah dengan Rahmat, tapi kabar terakhir Rahmat tetap fokus mengelola koran. Bahkan dia sudah menjadi agen koran besar dan menguasai wilayah Jakarta Timur.

Perubahan teknologi telah mempengaruhi dunia media di negeri ini.Hingga kondisi media koran redup. Masyarakat pembaca koran beralih ke media online dan koran streaming. Koran sudah banyak ditinggalkan. Agen koran yang Rahmat kelola ikut bangkrut. Rahmat tidak ada kabar lagi. Kini setelah tiga puluh tahun kami berpisah. Dihadapanku ada anak penjaja koran yang rupa dan fisiknya seperti Rahmat.

"Korannya Pak!" "Eh, apa...!" Aku mengusap wajah untuk mengumpulkan kesadaran.

"Bapak mau koran apa," tanya anak itu sekali lagi menyadarkan aku dari lamunan. Aku mendengar suara Rahmat seakan-akan dia sedang menawarkan pada orang-orang yang menunggu bis di halte. Mataku mengerjap tatkala kulihat bukan Rahmat yang ada di depanku tetapi anak kecil berambut ikal.

Aku tersenyum untuk menghilangkan kekagetanku. Aku menyebutkan koran favoritku. "Maaf, Pak sudah habis, tinggal yang ini." Dia menyodorkan koran yang masih tersisa. Aku mengambil korannya dan kuberikan uang dua puluh ribuan.

"Pak, ini kembaliannya!" "Ambil saja, De!"

Dia berlalu setelah mengucapkan beberapa kali terima kasih. Kuamati gerak langkah kakinya dan kelincahannya saat menawarkan koran. Bayangan Rahmat tiga puluh tahun silam kembali hadir. Kupandangi langkah dia yang terus menawarkan koran kepada orang yang lalu lalang keluar masuk pasar. "Koran, koran... korannya Pak, korannya Bu."

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post