Ali Harsojo

Saya adalah pribadi yang sangat sederhana dilahirkan di kota kecil Sumenep, Madura. Suka berkolaborasi dan bersinergi. Selalu ingin mencari tahu setiap ilmu yan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Senja yang Terakhir

Senja yang Terakhir

Senja yang Terakhir

"petikan novel Sepatu Aisyah"

Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Sebab, kikuk rasanya menerjemahkan alam bawah sadar ke dalam diksi-diksi yang indah. Meski rembulan mulai bersinar sejak senja, pertanda purnama telah tiba. Ya, purnama ketiga belas. Masa yang cukup matang untuk tanamanku di kebun. Atau cukup memperoleh pengetahuan 2 semester anak kuliahan. Atau waktu yang relatif cukup menyelami senja dengan segala maknanya.

Senja, identik dengan pemandangan yang indah. Siluet yang selalu ditunggu hingga mentari mulai tenggelam. Panorama jingga kadang dihiasi dengan pelangi mengalungi awan, ketika memasuki musim hujan. Dedaunan berlatar belakang berkas sinar yang menjingga, menjadikan hati selalu sejuk memandanginya.

Apalagi, senja ditemani dengan secangkir kopi buatanmu, kekasih hati. Apalagi, saat kau bermanja dengan segala kata dan ucap yang terbit dari sejelejer bibirmu..Tak terasa detik demi detik melalui senja bersama yang menelaga dari teras rumah bak di taman syurga hingga ujung semesta. Sejuta kisah senja yang telah tertulis dan terukir di hati menjadi naskah rindu keabadian. Tak mungkin mengulangi masa dengan waktu yang sama untuk senja kapan saja. Sebab, sejatinya kita hanya menikmati sedetik waktu yang tak akan pernah terulang kembali. Hanyalah kebahagiaan yang akan terpatri di hati. Hanya setandan renjana yang akan menetap dalam jiwa.

Kadang ada seumpama kerikil kecil. Kaki kita tersandung dan perih. Begitu pula dengan senja-senja yang berlalu, terdapat satu atau dua senja yang membuat hati tergores dan sakit. Itu sebab perspektif dan cara pandang terhadap kuasa Tuhan yang berbeda. Atau memaknai setiap denyut nadi dan detak jantung yang tidak sama. Atau memahami getaran hati yang berselisih. Namun, indah sekali jika saling mengerti dan memahami. Bukankah takdir itu selalu ada untuk senantiasa dimohonkan?

Kadang ada seumpama kerikil kecil. Kaki kita tersandung dan perih. Begitu pula dengan senja-senja yang berlalu, terdapat satu atau dua senja yang membuat hati tergores dan sakit. Itu sebab perspektif dan cara pandang terhadap kuasa Tuhan yang berbeda. Atau memaknai setiap denyut nadi dan detak jantung yang tidak sama. Atau memahami getaran hati yang berselisih. Namun, indah sekali jika saling mengerti dan memahami. Bukankah takdir itu selalu ada untuk senantiasa dimohonkan?

Kadang, senja juga berlumur darah atau nanah dari luka atau sayatan yang tidak sengaja. Kadang, senja menyisakan berkas cahaya mentari yang menyelinap di antara daun pintu atau jendela. Atau senja menjadi sejarah tentang segala ucap, kata-kata dan tulisan yang tereja. Pada masa senja pula semua yang dilihat dan dipandangi menjadi saksi bisu kehendak Sang Pencipta.

Seperti yang seringkali kutuliskan bahwa anugerah atau cobaan seringkali silih berganti. Padu Renjana menjadi impian abadi. Segala cita dan doa menghiasi bintang sepertiga malam yang akhir. Mengharap segera RidaNya adalah napas yang selalu dimohonkan.

Senja, yang terus membingkai dalam angan. Berjibaku dengan pekerjaan. Berjuang dengan waktu dan berteduh dalam hidayahNya. Jika pun tak ada cita renjana nirwana, maka tak mungkin setiap derai mengaliri lekukan pipi renta ini. Juga tak mungkin memanen senja setiap waktu. Tidak mungkin dengan harap selalu menunggu sang bidadari menari, di atas khayangan.

Senja, terakhir di akhir sasi. Ketika senyummu berbuah laraku. Ucapmu menjadi badaiku. Keputusanmu melesak napasku. Tapi, itulah yang membuatmu bahagia. Itulah yang kau maksudkan tata. Itulah hirarki takdirNya.

Sungguh tak menyangka, percakapan itu menjadi bincang yang tak bisa dilupakan. Sekaligus mengiris gumpalan hati, menggores bilik jantungku.

"Jangan menungguku lagi. Tidak usah ditunggu. Aku tidak akan lagi menjumpamu, senja"

Aku yakin ucapmu bukan sekadar puisi yang membuat orang yang membaca bisa menangis. Aku meyakini, katamu yang terucap bukanlah diksi-diksi memukau yang mampu menghipnotis sastrawan. Aku tahu itu lahir dari hatimu terdalam. Pun diucapkan dalam sadar pada senja.

Aku tersenyum lirih sambil menahan perih. Kugigit bibirku yang mulai bergetar. Kutahan derai yang mulai tumpah ruah. Kuberdiri seolah kokoh diantara tubuh yang mulai sempoyongan.

Ya, aku tersungkur pada bibir senja yang mulai tenggelam. Dan larut pada impian yang terbawa mentari tenggelam.

Aku menerima semua terpaan badai senja itu. Aku berupaya kuat dan kokoh seolah tidak terjadi apa-apa. Memang, tidak terjadi apa-apa bagimu yang selalu kuat membaja.

Sejuta asa kuberusaha tegar. Tetap memandangi senja meski mulai temaram. Bahkan, masih berdiri tegak ketika mentari menuju malam.

Kuteringat petuah dari para sastrawan. Pahamilah sesuatu yang tak mungkin terulang kembali. Melempar batu yang tak pernah kembali. Meludah yang tak akan bisa diraih lagi. Kata-kata yang telah diucapkan tak bisa disembunyikan dan usia yang menuju senja tak kan kembali muda lagi.

Aku masih terduduk di serambi gubukku. Hingga kuulangi menyebut namamu, memandangi rautmu laksana bidadari yang selalu indah.dipandang.

Senja, kutitip kisah dalam segenggam naskah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post