Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru yang Membodohkan

Guru yang Membodohkan

Sebetulnya para murid itu sudah selalu atau setidaknya sering melakukan shalat berjam'ah di masjid sesuai yang diagendakan sekolah. Tetapi tiba-tiba saja mereka dianggap seolah-olah tak pernah melakukan kegiatan ini. Sebuah kegiatan yang menurut “almarhum” KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) digolongkan sebagai kegiatan pembiasaan di samping kegiatan upacara bendera, tugas piket kelas, berdo'a sebelum memulai pelajaran, saling mengucap salam, dan sebagainya.

Tetapi dalam kisah ini sengaja difokuskan pada soal shalat berjama'ah karena kegiatan ini harus diikuti oleh seluruh civitas akademika. Dari sinilah kemudian timbul masalah dan seperti biasa, para murid yang menjadi terdakwa. Lalu apa gerangan penyebabnya sehingga para murid itu tiba-tiba dianggap seperti tidak pernah melakukan shalat berjama'ah? Oh! rupanya hari itu ada seorang guru, kebetulan punya tugas tambahan yang banyak menyita waktunya, yang baru tumben ikut shalat berjama'ah. Ketika kegiatan ini selesai, dia meminta waktu untuk berbicara di depan para jama'ah yang mayoritas terdiri dari para murid. "Saya kecewa sama kalian karena tak pernah tertib melaksanakan shalat berjama'ah".

Inilah salah satu kalimat yang disampaikan sang guru saat menyampaikan nasihat kepada para muridnya. Seketika mereka terdiam semua, tenang tetapi tampak tegang. Tampak sebagian murid bersungut-sungut. Ada pula yang saling berbisik, "Kayaknya bapak itu juga jarang deh ikut shalat jama'ah sama kita"

Lagi-lagi para murid menjadi terdakwa dan secara perlahan juga mengalami pembodohan justru oleh orang-orang pintar namun tak sabar. Seandainya ketika guru yang sedang bicara di depan para murid itu sedikit bersabar dan tidak terpancing kegaduhan murid-murid saat akan shalat bahkan juga ada beberapa yang masih gaduh ketika shalat berlangsung, maka kalimat-kalimat nasihatnya tidak seperti di atas bunyinya, “Saya kecewa…..”. Tapi akan berbunyi, “Maaf. Kali ini saya baru bisa bersama kalian melaksanakan shalat berjama’ah. Sebab saya selama ini lebih sering tugas di luar sekolah” Agaknya kalimat ini akan lebih menarik untuk didengar para murid karena ada nuansa kejujuran seorang guru yang kenyataannya memang jarang bertemu para murid karena kesibukannya. Kalimat itu akan semakin berdaya simpatik bahkan empatik bila dilanjutkan, “Maklum. Sebagai kepala sekolah, saya harus memenuhi undangan dari sana-sini yang sebetulnya juga ada hubungannya dengan kebutuhan kita di sekolah ini. Meskipun saya jarang di tempat, saya tahu dan yakin kalian mampu melaksanakan tugas-tugas sekolah, termasuk kegiatan shalat berjamaah ini dengan baik. Kalau tadi ada sedikit kegaduhan, mungkin baru kali ini saja, ya?”

Sayangnya itu tidak terjadi dan yang sering mengemuka di sekolah justru sebaliknya. Anak-anak murid itu lebih sering merasa dipojokkan sehingga terkesan sebagai anak durhaka justru oleh orang-orang shaleh namun tak berstamina untuk membimbing mereka. Bahkan anak-anak itu mendapat contoh bagaimana mendikotomikan ilmu dari ucapan gurunya, "Gak ada gunanya kalian pintar matematika dan bahasa Inggris kalau shalat saja gak becus!". Padahal secara teoritis sebetulnya guru ini juga paham bahwa pada hakikatnya ilmu itu sesuatu yang padu. Lantas mengapa sikap yang tampak ambivalen dan tak konsisten ini bisa terjadi?

Bisa jadi salah satu soalnya adalah karena proses pembelajaran tidak berorientasi pada kepentingan murid. Melainkan semata-mata demi publikasi berbagai keunggulan diri guru. Para murid juga tidak tercerahkan kesadarannya akibat minimnya kecerdasan inter dan intrapersonal gurunya. Ya...meskipun secara intelek sangat mengagumkan. Tapi justru guru semacam ini akan semakin membanggakan kecerdasan intelektualnya seiring dengan semakin banyaknya murid yang gak paham akan penjelasannya. "Dasar anak-anak malas. Sudah berapa kali saya jelaskan, kok masih gak 'nyambung' juga sih!" Begitu katanya sambil membusungkan dada. Cerita yang “membanggakan” diri ini akan semakin bertambah bila sebagian besar murid-muridnya memperoleh nilai rendah dan harus melakukan remedial test dari mata pelajaran yang diampunya. Karena ini menunjukkan betapa sulitnya mata pelajaran yang diampunya dan ini sekaligus menandakan kualitas sang guru yang cerdas karena mampu menjadi guru untuk mata pelajaran yang sulit.

“Banyak banget bu, anak-anak yang ikut remedial test?” Tanya seorang guru BK yang kebetulan lewat di depan suatu kelas yang sebagian besar murid-muridnya tampak mengerjakan soal-soal ulangan di luar kelas. Sedangkan sebagian kecil lainnya berada di dalam kelas bersama sang guru yang tampak duduk santai di kursinya sambil bercengkerama dengan beberapa murid yang ada di kelas. Sementara guru BK ikut duduk jongkok di antara murid-murid yang sedang melaksanakan remedial test di lantai depan kelas sambil sesekali berbicara kepada satu-dua dari mereka, “Alhamdulillah, kalian dapet kesempatan remedial test. Semoga nilainya lebih tinggi dari teman-teman yang sudah lulus duluan, ya”. Dan dijawab mereka dengan kompak, “Amin”.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post