Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pak Supangat, Guru yang Tidak Menggurui

Pak Supangat, Guru yang Tidak Menggurui

Serasa belum mengajar kalau guru belum banyak bicara menjelaskan materi pelajaran di depan murid-muridnya. Dari awal jam pelajaran hingga pertengahan, bahkan menjelang waktu berakhir, guru sibuk dan atraktif mendemonstrasikan ilmunya di depan murid-murid sambil sesekali bertanya kepada mereka, “paham kalian” atau “jelas!”. Lantas dijawab mereka dengan serentak, “pahaaaam”. Meskipun belum tentu apakah mereka benar-benar sudah paham atau belum. Sangat jarang murid yang menjawab berbeda atas pertanyaan super pendek sang guru itu, misalnya, “Belum” atau menjawab lebih panjang, “Kami belum paham, pak guru

Adalah pak Supangat, namanya. Seorang guru yang lebih suka membelajarkan murid-muridnya dengan teknik bertanya. Baginya, proses pembelajaran itu adalah kegiatan mengorkestrasi murid agar aktif belajar, bukan bagaimana guru mengajar. Teknik bertanya atau lebih tepatnya teknik tanya-jawab dalam proses pembelajaran merupakan salah satu teknik yang dapat menstimulasi rasa ingin tahu para murid dan berusaha mencari jawabannya. Dari sini orkestrasi kelas dimulai. Mereka akan saling berinteraksi antara guru-murid, murid-guru dan murid-murid. Bahkan proses ini dapat berfungsi juga untuk menanamkan rasa “butuh buku” dalam diri mereka .

Itulah mengapa pak Supangat sering memulai pembelajarannya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang materi yang akan dibahas. Begitu juga ketika menutup pembelajaran dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang akan dipelajari selanjutnya.

Dalam praktik pembelajarannya, biasanya pak Supangat memulainya dengan menuliskan atau menayangkan pokok-pokok bahasan kemudian meminta para murid untuk mengungkapkan apa saja yang sudah dan yang belum diketahui tentang pokok bahasan itu. Selanjutnya mereka diminta untuk membacakan hasil temuannya. Tahap ini berguna untuk saling mengklarifikasi antar temuan teman tentang apa yang belum diketahui teman yang satu tapi sudah diketahui teman yang lainnya.

Begitulah gaya pak Supangat dalam mengelola kelas saat pembelajaran. Yakni kesediaannya untuk tidak terburu-buru “menggurui” murid-muridnya. Tapi cukup memberi stimulasi agar murid bisa menemukan sendiri simpul-simpul pengetahuannya untuk kemudian mengkonstruksikanya menjadi pengetahuan baru sesuai dengan pengalaman masing-masing. Simpul atau bahan pengetahuan yang sudah dimiliki murid diolah, disusun, dikaitkan atau dikonstruksikan dengan tambahan bahan-bahan pengalaman pribadi yang khas.

Demikian pula ketika di luar kelas. Pak Supangat sangat peduli pada murid-murid. Bila dia melihat murid yang melanggar peraturan, tidak serta merta mencatatnya sebagai kesalahan. Tapi lebih mendahulukan memberi peringatan dan pemahaman akan konsekuensinya. Murid yang ketahuan membuang sampah sembarangan, segera dia pungut sampah itu dan memberikannya pada murid yang membuangnya agar mau memasukkannya pada tempat sampah. Bila ditemukan murid tidak mengenakan seragam sekolah sesuai ketentuan, dia malah cenderung mengabaikan bila hanya soal warna sepatu, topi, dasi, kaos kaki dan pernak-pernik lainnya. Ini semua dilakukan pak Supangat agar para murid tidak merasa terbebani dengan hal-hal yang tidak substantif.

Meskipun begitu, dia tetap memberi wawasan tentang pentingnya mengikuti peraturan. Bahwa peraturan dibuat agar orang-orang dalam kelompok atau komunitas tertentu tidak saling menonjolkan selera, kemauan, gaya “semau gue”, dan lain sebagainya. Hanya sebatas itu dan tidak berpretensi untuk menyeragamkan segalanya. Pak Supangat paham betul bahwa penyeragaman secara serta-merta mustahil atau sulit diterapkan. Karena secara alamiah manusia itu unik dan oleh karenanya heterogenitas kehidupannya menjadi keniscayaan. Secara fisik manusia sangat jelas perbedaannya. Secara intelek manusia memiliki beragam kecerdasan. Ada yang cerdas linguisticnya, musicalnya, logic-matematicnya, visualnya, kinestetiknya, intra dan interpersonalnya. Demikian juga secara sosial-budaya, amat sangat beragam.

Keniscayaan hidup manusia yang beragam itulah yang membuat pak Supangat memilih sikap demokratis terhadap murid-muridnya. Dia tidak suka “menggurui” meskipun dirinya seorang guru. Sebab “menggurui” itu konotasinya suka menceramahi, mendikte dan yang semacamnya. Pokoknya “menggurui” itu sifatnya teacher oriented-lah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post