Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web

Pegiat Literasi, Mestinya Literat

Saya bukan orang yang faham betul tentang ini. Tapi saya resah melihat saudara sesama Muslim yang mempertanyakan, "Islam Nusantara itu agama baru, Nabinya siapa, shalatnya menghadap ke mana?" dan lain sebagainya. Lebih meresahkan lagi, karena ternyata pertanyaan semacam itu juga dilontarkan oleh teman-teman para pegiat literasi.

Menurut saya itu bukan lagi sikap kritis yang dilandasi semangat ukhuwah demi kebaikan bersama sebagai sesama Muslim. Bukan juga pertanyaan yang dilandasi semangat untuk tabayun atau klarifikasi. Tapi sudah bernuansa permusuhan yang mengancam perpecahan dan terputusnya silaturahim.

Untuk itu kita, terutama para penggerak literasi tak akan membiarkan diri larut oleh orkestrasi perpecahan yang entah dibunyikan oleh siapa dan dari mana. Namun kita justru tertantang untuk lebih mendalami banyak literatur tentang Islam, termasuk tentang wacana Islam Nusantara. Bagi sebagian pihak, mungkin ini terasa aneh sehingga langsung berujar, "Islam ya Islam dan gak boleh ada embel-embel nama bangsa tertentu"

Inilah tantangan kita, khususnya para penggerak literasi untuk membuktikan diri sebagai seorang literat. Ya. Hanya itu dan bukan agar kita menyetujui jika kita benar-benar tak sepaham. Namun setidaknya, ketidak sepahaman kita itu telah dilandasi oleh banyak litaratur yang kita baca dari berbagai sumber yang otoritatif.

Ada salah satu literatur tentang Islam Nusantara yang layak untuk dibaca karena ditulis oleh seorang Kyai yang mengajar di Ma'had Aly Pesantren Salafiyah Assyafi'iyah Situbondo Jawa Timur sebagai guru utama Fiqih dan Ushul Fiqh. Dalam tulisan, dia menjelaskan bahwa Dalam tulisannya dia menjelaskan bahwa makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Tak ada kebencian dalam Islam Nusantara terhadap warna-warni Islam pada bangsa-bangsa lain, terutama Arab sebagai negeri tempat diturunkannya Islam.

SALAM LITERASI

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Memang benar, Saya setuju dengan judul yang disampaikan. Seharusnya seorang pegiat literasi harus juga eorang literat.

09 Jul
Balas

Sebaiknya kita menulis yang aman-aman saja, yang menimbulkan pertentangan nggak sebaiknya kita tulis, karena kita beragam latar belakangnya Pak Ustad

08 Jul
Balas

lho...itu justru saya maksudkan untuk mendorong kita agar mau meluangkan waktu untuk membaca. dg begitu, wawasan menjadi luas dan tak mudah bertentangan dengan orang lain yang berbeda pandangan sekalipun.

08 Jul

Wah, jangankan nulis yang menimbulkan perpecahan pak, nulis yang saya tidak menguasai saja tidak berani. Walaupun itu hanya soal sepele, misalnya mengomentari tentang permainan sepak bola yang sedang ngehitz. Karena saya tidak menonton permainannya. Menurutku penggiat literasi yang literat sudah punya filter tentang topik tulisan yang mereka angkat. Entah jenisnya apa (artikel, opini, reportase, cerpen, puisi, dan lain-lain) tentu bermuara pada keselarasan hidup bersama yang damai sentosa. Toh menulis itu niatnya berbagi atau beramal dengan ilmu dan pengalaman yang kita miliki. Kadang juga menulis untuk berbagi kebaikan, memotivasi, menginspirasi orang lain, untuk mengembangkan diri, menginformasikan, menghibur, dan lainnya.

08 Jul
Balas

makanya fokus saya pada tulisan itu bukan pada soal yang sedang banyak diperdebatkan orang itu. Saya hanya fokus pada soal literasi. Tak ada salahnya tho, meluaskan bacaan sekalipun kita tak setuju dengan isinya. Jad, filter itu baru berfungsi kalau kita sudah menceburkan diri pada samudera ilmu melalui bacaan.

08 Jul

Setuju sekali pak Ali, budaya tabayun sudah mulai sirna. Ketika ada hal baru yang kurang bisa dipahami bahkan tidak paham komentarnya hampir dipastikan kurang arif. Budaya tabayun hendaknya kita lakukan agar kita saling memahami bukan. Super sekali "penggiat literasi juga seorang literat"

08 Jul
Balas

Ya. di situ fokus saya. cukup disayangkan sebetulnya kalau gerakan literasi ini dikerdilkan hanya pada wacana tertentu. Bahkan pertentangan di kalangan ulama' sekelas Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sudah biasa. Tapi pertentangan mereka bersifat literatif. Misalnya Al-Ghazali pernah mengkritik filsafat lewat bukunya berjudul "Tahafut Al-Falasifah" (kerancuan filsafat) lalu dikritik balik oleh Ibnu Rusyd lewat bukunya "Tahafut At-Tahafut" (kerancuan buku Tahafut).

08 Jul



search

New Post