Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Politik
(Foto:plus.google.com)

Politik "Cebong-Kampret", Sudahlah!

Dalam suasana tahun politik saat ini, mulai dari pelaksanaan Pilkada dan bersambung dengan Pilpres di tahun depan, ternyata agama masih dianggap sebagai instrumen paling penting dalam wacana politik. Sebenarnya ini tidak sepenuhnya keliru tetapi juga sekaligus tak bisa diklaim sebagai kebenaran.

Agama sebagai sistem nilai, tak mungkin dipisahkan dari berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal berpolitik. Apalagi politik dalam pengertian generiknya adalah cara bertindak dalam menghadapi dan menangani masalah, pengetahuan tentang ketatanegaraan, segala urusan tentang pemerintahan Negara (baik dalam negeri maupun terhadap Negara lain), dan kebijaksanaan. Maka nilai-nilai agama tak mungkin bertentangan dengan politik karena keduanya sama-sama bertujuan untuk menata hidup manusia agar tidak berbenturan satu sama lain.

Imam Ghazali dalam bukunya “Nashihatul-muluk” (Nasihat untuk para raja) menyatakan bahwa agama (Islam) tak dapat dipisahkan dengan polirtik (Muhbib Abdul Wahab, Sindonews.com, 3 April 2017). Keterkaitan keduanya ibarat dua saudara kembar. Politik yang erat kaitannya dengan masalah kekuasaan harus dikawal agama. Sedangkan agama perlu diterapkan sisi kebumiannya dan menyatu dengan politik agar tidak semata-mata berorientasi kekuasaan tetapi demi kesejahteraan hidup manusia di bumi.. Agama memang berasal dari “langit” tetapi Tuhan menurunkannya ke bumi untuk kebaikan hidup manusia. Sedangkan politik merupakan kreatifitas manusia akan nilai-nilai agama dalam wujudnya yang lebih operasional demi mengelola hidupnya di bumi.

Tentu saja yang dimaksud agama di sini adalah sunnatullah (orang-orang sekuler menyebutnya “hukum alam”) yang melekat dalam diri individu. Yakni energi yang mendorong seseorang untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Apa kebutuhan manusia? Setidaknya seperti yang diidentifikasi Abraham Maslow yang meliputi kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta-kasih, kepemilikan, penghargaan, dan aktualisasi diri.

Dalam perspektif itulah kita tergoda menyaksikan realitas praksis politik saat ini. Pihak-pihak yang berbeda pandangan politik yang direpresentasikan dalam pilihan partai politik yang berbeda-beda, telah terbelah hingga menimbulkan perseteruan yang kekanak-kanakan dan memalukan. Bagaimana tidak, sebab mereka telah saling klaim sebagai pihak yang paling benar dan pihak lain paling salah, saling menyesatkan, saling mengkafirkan, saling memunafikkan, saling tuduh sebagai penghianat, menebar fitnah secara terang-terangan dan bertubi-tubi. Sementara mereka juga saling menganjurkan pihak lain untuk segera sadar, bertobat, menyadari ketersesatannya dan lain sebagainya.

Dalam suasana komunikasi model seperti itu, tak berlaku lagi diskusi meskipun dengan argumentasi serasional apapun. Pokoknya mereka yang tak sealiran pasti sesat dan harus disikat. Jangankan terhadap sesama rakyat, bahkan terhadap para ulama dan para pemegang otoritas ilmu dan kekuasan pun pasti dicaci maki kalau tak sealiran. Inilah akibat dari praktik keberagamaan formalistik-simbolik yang justru menjungkir balikkan tatanan nilai-nilai agama.

Satu lagi yang sangat disayangkan adalah munculnya kosa kata baru, “cebong” dan “kampret” untuk menyebut kelompok lawan politik mereka. Apa bedanya ini dengan kata “anjing” dan “monyet” yang berkonotasi buruk untuk menyebut pihak lain yang tidak disukai? Padahal mereka yang berseteru itu adalah orang-orang beragama, kenapa sampai seburuk itu perilakunya hanya untuk kepentingan politik praktis yang hanya sesaat? Khususnya bagi Muslim, pasti tahu adanya larangan tentang hal ini seperti dalam firman Allah sebagai berikut.

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS.Al-Hujurat:11)

Sudahlah teman. Gak usah “cebong-cebongan” dan “kampret-kampretan” lagi. Cuma urusan Pilkada dan Pilpres saja kok, jadi pada musuh-musuhan sampai pada pethenthengan. Pilkada dan Pilpres itu pesta demokrasi, kan? Kalau pesta, biasanya kan disambut dengan riang gembira, isi dengan permainan yang menghibur, tawarkan aneka sajian yang fresh dan menggugah selera, tampilkan berbagai aksi inovatif dan inspiratif yang sanggup membuat para “penonton” (pemilik hak suara) terpukau. “Wow, keren!”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Karena itulah saya tidak tertarik dengan politik, cuma mendoakan agar hasil sebuah pesta demokrasi terpilih pemimpin yang berakhlaq, amanah dan pro rakyat. Diantaranya dengan mencoblos calon yang mendekati kriteria itu. Artikel yang bagus pak, jadi semakin paham dinamika dunia politik yang tambah runyam dan tidak santun.

24 Jun
Balas



search

New Post