Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sagusaku-Sagusabu. Bersaing tapi Bersanding

Sagusaku-Sagusabu. Bersaing tapi Bersanding

Kata motivator, “Tugas berat itu bukan masalah tapi tantangan yang menggoda keberanian orang untuk menaklukkannya”. Tentu tidak ada salahnya dengan pernyataan ini. Tapi coba sekarang kita bayangkan, andai tugas berat itu benar-benar disodorkan di depan mata kita. Apakah kita masih ingat motivasi itu, atau justru membayangkan aneka ragam kerumitan dan kritikan pedas orang-orang?

Apapun yang kita pikirkan tentang sebuah kemungkinan, toh plus-minusnya masih abstark. Kenapa tidak kita pilih kemungkinan plusnya? Ya. Ini soal pilihan dan kita berperan penuh sebagai penentunya. Siapa lagi kalau bukan kita? Lha wong “tantangan besar” itu jelas-jelas ada di depan mata kita, kok. Mosok orang lain yang harus menentukan. Nggak, kan?

Memang ada resiko. Tak ada pilihan apapun yang bebas resiko. Makin besar tantangan, makin besar resiko. Hay. Apakah kata “resiko” gak tepat dan terkesan menakutkan? Oke. Mari kita ganti saja dengan kata “konsekuensi”. Pilihan apapun yang kita tentukan pasti ada konsekuensinya. Ya sudah. Mari kita hadapi saja dengan sukacita. Apalagi sejak pertama kita menghuni planet bumi ini, sudah berapa banyak kita melewati berbagai konsekuensi? Banyak banget, kan?

Waktu berumur 1 tahun-an, saat belajar berjalan dan harus jatuh bangun berkali-kali, kita toh tetap terus belajar hingga benar-benar mampu berjalan bahkan berlari. Kenapa ini bisa terjadi? Kata para psikolog, itu dikarenakan saat itu kita belajar tanpa beban “takut gagal”. Saat belajar naik sepeda, kita mengalami jatuh-bangun juga. Bisa jadi saat itu ada beberapa teman yang mentertawakan kita, bahkan mencemooh, “Ah. Gitu aja gak bisa. Payah kamu”. Mungkin saat itu ada beberapa di antara kita yang memutuskan tidak mau lagi belajar naik sepeda hingga beberapa lama. Nyatanya akhirnya banyak di antara kita yang bisa berspeda bahkan sukses menjadi juara balap sepeda.

Selanjutnya kita terus melakukan latihan dan belajar mengendarai motor, mobil, dan banyak hal yang lebih sulit dan konsekuensi yang jauh lebih besar

Sebuah organisasi ibarat kendaraan yang proses berjalannya melibatkan banyak komponen atau banyak pihak. Sepeda bisa dijalankan dengan lancar jika komponennya lengkap dan saling terkait secara fungsional. Begitu juga sebuah organisasi atau perusahaan. Kelihatannya ada komitmen bersama antara Toyota dan Daihatsu sehingga mereka selalu kompak memproduksi mobil kembar hingga beberapa pasang merek. Lihatlah Avanza dan Xenia yang selalu akur hingga lebih dari 10 tahun, Rush dan Terios, juga Agya dan Ayla. Avanza gak akan cemas dengan Agya yang tingkat penjualannya membayang-bayangi Avanza di peringkat kedua. Apalagi keduanya sama-sama anak kandung Toyota.

Sagusaku dan Sagusabu sama-sama singkatan dari Satu Guru Satu Buku. Keduanya juga sama-sama lahir dari “rahim” IGI (Ikatan Guru Indonesia). IGI merupakan organisasi profesi yang tergolong masih belia (belum genap 10 tahun) dibanding saudaranya, PGRI yang sudah berusia 70 tahun.

Sebagai organisasi profesi, IGI konsern terhadap upaya peningkatan kompetensi guru melalui berbagai macam training. Di antaranya adalah Training menulis buku. Kegiatan ini berawal dari Training of Trainer (TOT), kemudian berganti nama menjadi Training of Coach (TOC), yang diadakan di LPMP Surabaya pada 6 – 9 Oktober 2016. Saat itu kelas Penulisan Buku belum bernama. Kemudian atas kesepakatan peserta dan trainer (Slamet Ryanto dan Joko Wahyono) lahirlah istilah Sagusaku (satu guru satu buku). Semula akan dinamakan Sagusabu. Tapi menurut beberapa peserta, nama ini terdengar seperti sabusabu (salah satu jenis narkotika). Akhirnya tetap dipilih nama Sagusaku.

Tapi akhirnya nama Sagusabu tetap digunakan. Kali ini adalah Muhamad Ikhsan, CEO Mediaguru, yang piawai menangkap peluang untuk menggunakan istilah itu. Sama dengan IGI yang memiliki program training Sagusaku di seluruh Indonesia, Mediaguru di bawah Muhamad Ikhsan selaku CEOnya dan Eko Prasetyo selaku pemimpin redaksinya, aktif melakukan roadshow ke berbagai daerah untuk memberikan training kepada para guru tentang teknik menulis buku. Meskipun kegiatan ini menggunakan bendera Mediaguru, sebetulnya Muhamad Ikhsan bukan orang asing di tubuh IGI. Bahkan ia salah satu orang penting di IGI. Dia mantan sekjen yang sekarang menjabat sebagai ketua dewan Pembina IGI.

So. Baik Sagusaku maupun Sagusabu, keduanya produk asli IGI. Saat ini kedua program training kepenulisan ini sedang dilakukan secara massif di berbagai daerah. Tujuan utama keduanya sama yaitu sama-sama berjuang menegakkan kembali tradisi keilmuan melalui kebiasaan membaca dan menulis.

Ini tugas besar yang tidak mungkin dilakukan sendirian oleh IGI. Baik melalui Sagusaku maupun Sagusabu. Masih butuh keterlibatan banyak pihak untuk memanggulnya. Sebab secara nasional, Indonesia mempunyai problem besar dalam hal tersebut. Peringkat dan capaian nilai Programme for Internasional Student Assessment (PISA) Indonesia untuk 2015 berada pada peringkat 64 dari 72 negara. Ada peningkatan dibanding pada 2012 di mana peringkat Indonesia berada pada angka 71 dari 72 negara. Inilah hasil survei PISA tentang apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dia lakukan dengan pengetahuannya.

Selanjutnya untuk lebih mempercepat peningkatan prestasi tersebut, harus dimulai dari mengubah cara berpikir dan bertindak para guru dari gaya seorang pengajar menjadi seorang pembelajar. Sebab hanya seorang pembelajar yang mampu membelajarkan orang lain, termasuk kepada para siswa. Inilah agenda utama yang mestinya dikawal banyak pihak. Indonesia terlalu besar untuk dapat dikendalikan oleh satu atau dua kelompok saja. Kebesaran Indonesia butuh komitmen sangat kuat dari kita. Sagusaku dan Sagusabu sama-sama “bibit unggul” literasi di bumi pertiwi. Nama keduanya yang beda tipis-tipis, pinjam istilahnya Pak CEO Ikhsan yang suka bilang “selfi tipis-tipis” kepada para peserta trainingnya yang gokil abis, mirip nama minimarket Alfamart dan Indomaret yang gagah berani dalam menghadapi persaingan bisnis. Bayangkan! mereka itu bersaing tapi selalu bersanding. Betul, betul, betul?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya sangat setuju Pak AMI. Istilah yg mirip tersebut justru trlihat indah kala bersanding. Sy jadi teringat ustadz saya saat ada santri TPQ-nya absen. Saat ditanyakan pada santri lain, ternyata si fulan pindah ikut mengaji di TPQ lain yg berada di desa yg sama. Beliau berkata:"Tidak apa-apa si fulan ngaji di sana, yang penting tetep ngaji. Yang salah itu jika dia sudah ga mau ngaji." Demikian pula guru, bisa meningkatkan kompetens & ikut pelatihan dimana saja. Yang disayangkan jika guru berhenti meningkatkan kualitas dirinya.

07 Apr
Balas

TANGGAPAN: setahu saya Sagusabu oleh MediaGuru bukanlah lahir rahim dari IGI. Secara organisasi, Bapak Moh Ihsan adalah Pembina IGI. Di lain pihak, beliau adalah CEO Media Guru. Kepentingan organisasi tentu berbeda dengan kepentingan pribadi. Sebagaimana bisnis yang dimiliki oleh Ketua Umum IGI sebagai pribadi, tentu tidak bisa diklaim sebagai miliknya organisasi IGI. Masing-masing memiliki tempat sesuai dengan kapasitasnya. Yang lainnya, saya mendukung dan setuju banget bila Sagusabu dan Sagusaku bersinergi untuk saling mengisi demi mengembangkan potensi.

06 Apr
Balas

Nggih Paklek. Saya ceroboh menulis kalimat ini : Sagusaku maupun Sagusabu, keduanya produk asli IGI. Itu terjadi karena sy terlanjur memandang sosok Pak Ikhsan yg gak bisa dilepaskan dari IGI. Buat saya prinsipnya, apapun nama organisasinya, itu hanyalah kendaraan untuk tugas2 kemanusiaan yg jauh lbh penting untuk didiskusikan.

06 Apr

Betul sekali.. kalau ada lembaga lain concern melatih guru menulis , menggunakan kalimat SATU GURU SATU BUKU , tanpa disingkat boleh kan... IGI atau Media Guru tak kan mampu menangani guru sendirian di republik ini.. Mari bersanding , melangkah bersama..

06 Apr
Balas

Betulll....cikgu

05 Apr
Balas

kak roooooooss...makaseh ayam guringnya

05 Apr

Koq Kak Rosss?

06 Apr

Betul, betul, betul... Bang Ali, aye setuju banget tuh..Sagusaku & Sagusabu sama-sama "bibit unggul" literasi di Indonesia. Barokallah dan Sukses selalu buat IGI dan MediaGuru...

05 Apr
Balas

yo'i mpok im. ntu bibit unggul musti diaerin tiap hari biar numbuh, ye

05 Apr

Tak apa ada perbezaan, yang jelas dapat memajukan semangat literasi di seluruh Indonesia. Sepertinya antara Kumendan dan IGi ada perbedaan, bukan dilahirkan dari rahim IGi,kalau tidak salah.

15 Apr
Balas

Izin share ya, pak..

06 Apr
Balas

Monggo Bu Amelia. Dengan senang hati.

06 Apr



search

New Post