Ali Mustahib Elyas

Lahir di Pati Jawa Tengah pada 1967. Pendidikan dasar hingga menegah atas (Ibtidaiyah-Aliyah) ditempuh di satu madrasah yang sama. Sejak 1985 tinggal di Jakarta...

Selengkapnya
Navigasi Web
Siswa, Guru dan Sekolah Abadi

Siswa, Guru dan Sekolah Abadi

Siswa abadi sering dikonotasikan negatif sebagai siswa yang mengalami keterlambatan belajar. Akibatnya ia butuh penyesuaian lebih lama dibanding kebanyakan teman-temannya. Umumnya satu jenjang kelas harus selesai dalam waktu satu tahun. Tapi bagi siswa yang "lambat" mungkin butuh waktu dua-tiga tahun untuk menuntaskan belajarnya di satu kelas. Kenyataan lain yang baru saya temui tentang “siswa abadi” adalah sekelompok siswa yang masih merasa menjadi siswa MTs/SMP “X” meskipun mereka saat ini telah duduk di bangku MA/SMA. Mereka masih merasa menjadi muridnya bapak/ibu guru “A” meskipun saat ini mereka telah menjadi muridnya guru “B”. Luar biasa! Saya penasaran apa gerangan istimewanya MTs/SMP “X” dan guru “A” sehingga para siswa itu masih begitu setia terhadapnya? Setelah melakukan pengamatan beberapa kali dan mereviu ingatan seputar SMP “X” dan guru “A” selama 1 tahun ke belakang, lalu saya simpulkan melalui uraian berikut ini. Bila kegiatan belajar itu baiknya dilakukan berdasarkan kemampuan orang perorang, maka keberadaan "siswa lambat" mestinya tak perlu dianggap sebagai masalah. Hak mereka untuk menjalani proses belajar yang lebih lama dibanding orang lain pada umumnya harus dihargai dan sangat tidak layak bila mereka justru jadi sasaran cemo'ohan. Tapi sudahkah para guru menjamin hak-hak mereka? Bukankah para guru justru seringkali megungkit-ungkit "kelemahan" siswanya ketika mereka menemui kenyataan beberapa siswanya yang lambat belajarnya? Di sini kreatifitas, ketangguhan, kepiawaian, dan tentu saja kesabaran guru teruji. Guru sejati justru merasa tertantang ketika melihat beragam masalah siswanya. Guru sejati lebih banyak tersenyum dalam menghadapi berbagai tantangan itu. Ia malah tak segan-segan bersikap "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" terhadap para siswanya. Guru sejati bersikap egaliter, tidak menonjolkan senioritas dan intelektualitasnya sehingga membuat para siswa inferior, kikuk, ewuh-pakewuh, malu, minder, bahkan takut berhadapan dengannya. Mungkin itulah mengapa Muhamad SAW. tak pernah menyebut orang-orang yang pernah belajar kepadanya dengan istilah yang menunjukkan posisi mereka di bawah kedudukan beliau sebagai guru. Beliau lebih suka menganggap mereka sebagai sahabatnya. Sikap yang amat sangat egaliter dari seorang guru dan pemimpin sekelas beliau. Guru sejati tak menggunakan kepintarannya untuk bersikeras mencerdaskan para siswanya apalagi membodoh-bodohkannya. Guru sejati tak memperalat senioritasnya untuk memojokkan siswanya dengan berkata, "Kamu anak 'kemarin sore' tahu apa?". Guru sejati tidak sekedar suka memanggil tetapi juga ringan langkah untuk mengunjungi siswanya. Guru sejati tidak terlalu suka meminta bantuan tapi justru rajin membantu kesulitan siswanya. Guru sejati selalu berusaha menciptakan berbagai kemudahan dan menghindari sikap mempersulit siswanya. Guru macam begini pasti akan abadi dalam sanubari siswa-siswinya. Sebaliknya para siswa itu akan selalu merasa menjadi muridnya meskipun mereka telah mempunyai banyak guru baru di sekolah atau kelasnya yang baru. Sementara itu, sekolah yang telah mampu melayani para siswanya sesuai irama perkembangannya masing-masing terbukti mampu membuat mereka nyaman di sekolah dan akan terkenang terus dengan suasana itu. Itulah gambaran yang saya tangkap tentang SMP “X” dan guru-gurunya. Pelayanan pembelajaran yang sangat simpatik dan mampu melayani para siswanya secara total. Tidak banyak memang sekolah yang memilih cara ini dalam melayani para siswanya. Selanjutnya ini merupakan tantangan bagi guru baru di sekolah atau kelas baru untuk menjadikan diri guru idola yang layak dikenang sepanjang masa. Merupakan tantangan bagi para penyelenggara sekolah lain agar melipat gandakan staminanya demi memberi pelayanan terbaik bagi seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi. Buat apa gagah-gagahan dengan sekolah berlabel amat sangat prestisius kalau sejak awal telah mensyaratkan hanya anak-anak “bibit unggul” saja yang boleh masuk. Tapi MTs/SMP “X” telah melawan trend itu dengan gagah berani.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post