Aliasmin Sihotang

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cahaya Islam di Tanah Batak

Cahaya Islam di Tanah Batak

Walau aku berada di tanah Batak dan dengan marga Sihotang aku adalah seorang muslim sejak lahir. Hidup di tengah-tengah mayoritas beragama kristen memang tidak mudah, namun cahaya Islam begitu terang dan menyejukkan bagi siapa yang mendapatkan siar agama Allah SWT tersebut. Agama Islam masuk ke Sihotang pada tahun 1942 dibawakan oleh tuan guru ustad Abdul Wahab yang berasal dari Kota Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan. Saat Oppungku (ayah dari ayahku) mendapatkan siar Islam, ia memutuskan masuk Islam berserta seluruh keluarganya, karena oppung yakin seyakin-yakinnya hanya Islam agama yang diridhoi Allah SWT, Maha Suci Allah yang telah memberikan hidayah kepada oppung dan seluruh keluarganya.

Saat itu usia ayah menginjak setara kelas 1 SMP, beliau bersekolah di sekolah rakyat. Oppung sangat berusaha untuk menjadi muslim yang baik dan menjalankan semua perintah serta meninggalkan larang-Nya. Ada banyak hal yang harus ditinggalkan dan membiasakan diri menjadi seorang muslim baik, seperti tidak lagi pergi ke gereja dan tidak meminum tuak dan juga mengkonsumsi daging babi yang menjadi hal yang sangat lumrah saat itu.

Oppung adalah seorang datu bolon dengan gelar yang disematkan kepadanya Oppu Tuan Guru Pinajinjing.Beliau menjadi tempat orang bertanya, mana kala ada orang yang ingin melaksanakan pesta atau acara adat istiadat di desa tersebut. Oppung biasanya akan terlebih dahulu menjujur ari (mencari hari terbaik) dengan cara memperhatikan isi buku parhalaan (buku laklak warisan nenek moyang), setidaknya ayah berkisah seperti itu kepadaku tentang Oppung. Hal yang kuingat dari Oppung tidak seberapa banyak salah satu pesan sederhana namun sangan penting ialah Molo minum aek disibarnang, buang luda, buang air kecil adabnya harus marsattabi. Jangan berani melanggar kalau tidak ingin mendapatkan musibah.Sedangkan ayahku bernama Lansat Sihotang dengan gelar Oppu Tuan Guru Mudin karena terkenal pandai mengobati secara tradisional.Beliau pun akhirnya menikah dengan ibuku yang juga muallaf bermarga boru Sitanggang.

Ayah tidak pernah nunjukkan susahnya menjadi muslim ditengah-tengah lingkungan yang berbeda keyakinan dengannya. Ayah masih tetap berbaur dengan semua warga desa Sihotang beliau tak sungkan pula menolong mereka jika kesusahan terutama jika ada yang sakit, membuat mereka tidak pernah merasa terganggu dan keberatan dengan apa yang ayah jalani sebagai seorang muslim. Ayah menjadi guru agama islamku pertama, dia mengajarkan aku menghapal surat pertama kali adalah Al-Fatihah, surat yang akan selalu dibaca disetiap shalat hingga akhir khayat, aku berharap setiap lapas Al-Fatihah yang terucap menjadi amal jariyah untuk beliau. Aku menghapal dengan mengulang apa yang ayah ucapkan berulang-ulang kali, biasanya kami melakukannya saat beristirahat selesai makan sambil memijat-mijat kaki ayah yang sudah letih seharian di sawah. Kadang aku terkantuk-kantuk dan pijitanku melemah ayah akan mengencangkan suaranya seketika aku akan menyadarkan diriku dengan menggeleng-gelengkan kepala. Hapalan yang menyenangkan adalah hapalan bacaan tahyatul akhir karena setelah itu aku resmi bisa menjadi imam dari adik-adikku.

Ibu juga tak kalah penting dalam kelancaran hapalanku, beliau juru masak terbaik dengan bahan makanan yang seadanya, bisa saja ia menyulap menjadi makanan yang begitu enak. Contohnya saja sebelum solat magrib pertolongan pertama yg dberikan ibu kepada kami purikni iddahan atau air tajin, rasanya manis dengan tekstur kental rasa murni tanpa pengawet, tambahan MSG apalagi terkena bahan pestisida. Tidak ada yang mungkin bisa membayangkannya karena sekarang ini tidak temukan lagi padi yang benar-benar non organik seperti asupan makanku waktu kecil dulu. Ibu memberikan kami bubur putih itu di mangkuk kecil dengan kepulan asap putih yang menyerbakkan wangi padi yang dimasak dengan tujuan sebagai makanan penunda lapar, karena baru pulang kerja satu harian.

Subuh di tepian Danau Toba tidak semudah yang dibayangkan, hawa dingin yang menusuk menjadi tantangan sendiri untuk melalukan ibadah berjuta pahala ini, ayah tidak mau hanya sebatas subuh saja, shalat sunat pun harus dilakukan, terlebih lagi shalat rawatib sebelum subuh, apabila dilakukan maka mendapatkan lebih baik dari segala isi di dunia. Untungnya ayah tidak memaksakan kami untuk melalukannya shalat di mesjid karena mesjid di kampung Sihotang cuma satu dan itu jauh sekali dari rumah.Kami biasanya melakukan shalat di rumah atau pun di ladang saat sedang bersawah.

"Siapa yang mau menjadi kaya" kata ayah sewaktu kami selesai santap malam.

"Saya" sahut anak anak bersemangat.

"Sholatlah dua rakaat sebelum subuh, seluruh isi dunia jadi milikmu" itu kata ayah, suaranya mengatakan hal itu bukan janji palsu, bukan juga gurauan tapi sebuah kebenaran yang sangat ia percayai.

Bila tiba bulan suci Ramadhan ibu akan memasak makanan spesial seperti arsik ikan mas dengan bumbu spesial andaliman yang terkenal itu. Atau kalau ayam peliharaan ayah sudah tampak gemuk dan tua ibu akan memasakkan kami pinadar yang kelezatannya luar biasa enak. Makanan itu menjadi kebanggaan kami terutama masyarakat Batak Toba. Namun ada peraturan ibu yang masih ku ingat sampai saat ini ia mengultimatum siapa yang ketahuan tidak puasa tidak boleh ikut berbuka puasa dengan makan pisang. Kemeriahan Ramadhan akan terasa saat warga muslim beramai-ramai menuju ke masjid untuk shalat tarawih dengan menggunakan obor. Pada waktu itu belum ada Pembangkit Listrik dan belum terjamah PLN, di masjid pun hanya ada lampu strongkeng yang menjadi penerangan kami namun semua jemaah tetap semangat menunaikan sholat tarawih yang rakaatnya hingga dua puluh tiga rakaat ditambah lagi dengan ceramah dari ustadz yang datang dari luar desa.

Saat malam satu Syawal, hari raya Idul Fitri maka tradisi di desaku adalah takbiran dari rumah ke rumah dengan jumlah umat islam terbilang sedikit kurang dari empat puluh kepala keluarga walau begitu hal ini menjadi kesepatan yang paling berkesan untuk menjalin ukwah isalamiyah, setiap orang secara bergiliran wajib menyampaikan ucapan selamat hari raya di depan seluruh warga yang hadir, meskipun aku masih terbilang anak ingusan sekalipun aku harus memberikan sepatah kata didepan semua orang untuk mengucapkan selamat hari raya. Begitulah cahaya Islam di desaku tercinta negeri Sihotang Samosir tano hatubuan bona pasogit, terlihat temaram namun cahaya itu selalu membara disetiap hati kami yang memegangnya dengan teguh.

Tepat pada tahun 1977 Aku Masuk SMP Swasta Sihotang, Aku merasa bersyukur dapat melanjutkan sekolah hal ini tentu tidak mudah, aku tidak bisa masuk ke SMP Negeri seperti impianku, karena terletak di ibu kota kecamatan tempatnya jauh dari rumah aku harus kost jika bersekolah di sana hal itu tentu membuat aku tidak bisa membantu orang tua.

Masa remajaku tidak jauh beda dengan saat duduk bangku di Sekolah Dasar, hidup makin sulit dan makin banyak tantangan yang harus dihadapi. Ayah memutuskan untuk merelakan adik perempuanku Rosta untuk merantau ke Kota Medan dan menitipkan Abangku Nurfin dan adikku Sudiman ke panti asuhan agar mereka dapat sekolah agama Islam, Alwaslyah. Akulah yang terpilih untuk tetap tinggal bersama ayah dan ibu untuk membantu mereka menggarap sawah. Hail itu dilakukan karena ayah dan ibu tak sanggup lagi mempekerjakan orang di sawah kami. Tidak ada waktuku untuk meratapi keadaan kami waktu itu, terlalu banyak yang harus dikerjakan, ayah juga selalu berkata syukuri apa yang ada, itu sudah cukup untuk kita. Namun Allah masih menguji kami ayahku jatuh sakit berselang tak berapa lama dari kakak tertuaku yang kembali ke kampung karena tidak tahan dengan sakit yang di deritanya.Otomatis segala tanggungjawab masalah sawah ladang jatuh ketanganku rasanya aku benar benar kecil dan tidak sanggup mengemban tanggung jawab sebesar itu.Namun saat melihat ayah sakit tidak ada pilihan selain akulah yang harus memperkuat diriku.

Semua pekerjaan aku tekuni dengan tulus dan ikhlas.Berusaha bertanya kepada siapa saja juga meminta nasehat dari mana saja, tentunya aku tidak mau meninggalkan sekolah yang sudah ku perjuangkan sejak awal.Sangat sibuk tidak ada waktu berleha-leha atau sekedar bersenda gurau sepulang sekolah dengan teman-temanku. Naluri di masa transisi menuju remaja, membuatku sedikit gamang, rasanya aneh sekali jika tidak dapat berkumpul di kedai khasnya orang Batak bersama teman-teman sambil bercengkrama berbagi cerita, tak jarang teman-temanku bersenandung lagu kesukaannya pada zaman itu dengan suara merdu khas batak siapa sih yang mau melewatkannya? Sayang dan untungnya mereka kebanyakan meminum tuak aku tidak bisa bergabung dengan mereka.Aku lebih memilih menghindarinya sesuai pesan ayahku.Tidak banyak teman saat remaja tidak mengecilkan hatiku aku berusaha menjadi yang terbaik buat ayah ibu dan Agamaku. Aku seorang laki-laki suatu saat aku akan menjadi imam, aku harus belajar menjadi imam yang baik.

Aku bersyukur Allah menjawab kesabaran dan doa yang kami panjatkan Ayah dan kakakku berangsur sembuh. Disela-sela masa perawatan ayah aku selalu ingat kami berdua belajar secara otodidak menghapalkan ayat-ayat pendek karena kami berdua sama-sama tidak tahu membaca tulisan arab. Untung beberapa buku yang dikirimkan oleh saudaraku ayatnya ditulis dengan huruf latin jadi sedikit banyak kami bisa menghapalnya, walau ternyata setelah aku pelajari lagi di kemudian hari, begitu banyak kesalahan karena tidak mengerti tajuwid. Ayah mulai resah saat aku beranjak dewasa aku belum juga melakukan sunat rosul, biayanya sangat mahal karena ayah harus mengantarkan aku ke kota untuk di sunat. tepat kelas 3 SMP ayah mengajakku ke kota.

"Besok bilang sama gurumu lusa kamu tidak masuk, kita mau pergi ke kota."

"Untuk apa yah?"

"sunat, kau sudah besar harus disunat."

"sunat?"

"iya, ujung kemaluan dipotong sedikit, biar najis tidak tinggal disitu" ngilu waktu ayah berkata seperti itu, tapi aku tidak mau protes, aku buru-buru pergi kesekolah.

Setelah aku disunat, kata ayah "Setelah ini kau akan menangggung dosamu sendiri, ayah tidak lagi menanggung dosa yang kau lakukan, jadi beribadahlah dengan baik dan banyaklah berbuat baik."

Aku pun berusaha menjadi lebih baik dengan rajin ke mesjid, terutama untuk shalat jumat dan tarawih. Waktu itu mesjid di Sihotang sangat kecil saat shalat jumat atau tarawih merupakan waktu dimana orang sangat ramai ke Mesjid, bahkan shalat jumat pun perempuan di sana ikut melaksanakannya. Jadi aku harus pergi lebih awal untuk mendapatkan tempat yang nyaman.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post