#TAGUR 115#

“Shafira…” aku berusaha menahan genggaman tangan shafira. Tapi, hantaman tsunami yang begitu dahsyat tak memberiku kesempatan untuk merengkuhnya. Bahkan aku tak sempat berkata-kata. Selebihnya aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku dan Shafira. Semua menjadi gelap. Entah berapa lama.

Aku tersadar kembali saat fajar menyapa. Suasana senyap, remang-remang terlihat bongkahan kayu bergerak perlahan. Aku dengar suara rintihan, lirih seperti bayi yang tengah dilahirkan. Aku berusaha bangun dan beranjak, tak lagi menghiraukan kakiku yang masih mengucurkan darah karena tertancap paku dari bangunan yang mungkin terseret arus. Tertatih aku obrak-abrik bongkahan bangunan yang bercampur batu pasir, lumpur, sampah dan serpihan gedung berserak.

“Shafira!” Aku berusaha mengangkatnya dengan sisa tenagaku. Kakinya berlumuran darah yang masih segar. Shafira telah melahirkan. Dia masih bernafas. Dia tidak mati. Shafira masih hidup. Dia tertelungkup sujud tertimbun balok kayu dengan bayi dalam rengkuhannya. Sepertinya dia telah berusaha melindungi bayi mungil itu dari puing-puing bangunan yang menimpanya.

Alhamdulillah aku bisa membebaskan Shafira dari reruntuhan kayu yang menimpanya.

“Allahu Akbar” kudengar suara lirih Shafira menghembuskan nafas terakhirnya. Aku duduk diantara dua bidadariku dalam pangkuanku. Aroma kekosongan menyelinap, mengalir menusuk tulang rusukku.

#Mojokerto, 17 September 2020#