ALI FIKRI

Ali Fikri. Lahir di Mandailing Natal, 1 Pebruari 1977. Guru SDS 054 Muhammadiyah Hutabangun. 2007-2011: Redaktur Pelaksana Buletin Dinas Pendidikan Kab.&nbs...

Selengkapnya
Navigasi Web
Gadis Pencinta Mayat

Gadis Pencinta Mayat

GADIS PENCINTA MAYAT

(Potongan I)

Oleh: Ali Fikri

Ia masih di situ bersama senja. Merah jingga dari ufuk barat memoles wajah tanpa bedak itu. Di bawah pohon nangka, angin menerpa rambut panjangnya yang kusut. Ia tampak begitu cemas, terus mondar-mondir sambil memperhatikan jalan setapak menuju hutan itu. Jalan yang selalu dilalui para penambang emas tradisional di kampungnya. Jalan tempat ia menaruh mimpi dan hidupnya.

Ia seperti menunggu seseorang atau mungkin juga menanti sesuatu. Tak seorang pun yang melalui jalan itu luput dari perhatiannya. Dan air matanya akan berderai setelah itu. Kemudian buru-buru ia akan menyekanya dengan ujung selendang kumal yang melingkar di lehernya.

Pulanglah, Inang! Sudah malam,” seru seorang lelaki tua.

Lelaki tua itu datang ditemani istrinya. Mata mereka basah. Berkali-kali mereka merayu gadis itu. Namun mereka tak dihiraukannya. Biasanya mereka takkan beranjak dari sana sebelum berhasil membawa gadis itu ke rumah. Dan biasanya gadis itu tidak akan mau pulang sebelum sepertiga malam. Paginya, sebelum adzan shubuh ia sudah kembali ke tempatnya. Di tepi jalan, di bawah pohon nangka. Dan bila malam lagi, lelaki tua dan istrinya akan datang merayunya pulang.

Begitulah gadis itu setiap hari sejak setahun yang lalu. Sejak ia menambatkan hatinya pada seorang pemuda sederhana. Saat kenangan yang mereka tabung telah menyesaki harapan, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh selain pernikahan.

Saat pemuda sederhana itu datang melamarnya dengan sederhana. Dihadapan calon mertuanya ia berjanji sederhana, yaitu akan memberikan kehidupan sederhana. Tentu saja orang tua si gadis tak bisa menerimanya begitu saja dengan sesederhana. Hidup putri semata wayang mereka tak mungkin ia pertaruhkan sesederhana itu. Bagaimana mungkin pemuda yang selalu membawa tulilla itu akan membahagiakan putri mereka? Dengan meniup tulilla pada pertunjukan-pertunjukan kesenian rakyat, apakah putri kesayangan ini akan makan? Pertanyaan seperti itu pun dengan mudahnya menghempaskan mimpi sepasang kekasih itu.

“Aku mencintainya, Ayah!” rengek gadis itu.

Tapi, ucapan itu tak sedikit pun mengubah keputusan ayahnya. Cinta hanya bayangan yang menjemuruskan hati seseorang. Saat hati telah terjerat maka bayangan pun akan hilang menyisakan perih yang panjang. Begitu menurut ayahnya.

“Cinta bukanlah bayangan, Ayah! Sekalipun benar cinta punya bayangan. Dan aku tahu persis bedanya, Ayah!”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ditunggu kelanjutannya

03 Jun
Balas

segera, Bu! hehehehe. Salam literasi

03 Jun



search

New Post