ALI FIKRI

Ali Fikri. Lahir di Mandailing Natal, 1 Pebruari 1977. Guru SDS 054 Muhammadiyah Hutabangun. 2007-2011: Redaktur Pelaksana Buletin Dinas Pendidikan Kab.&nbs...

Selengkapnya
Navigasi Web
POLIANDRI

POLIANDRI

“Aku harus menikah lagi, Raj!” tegas Marilom, isteriku.

Angin singgah sesaat di beranda. Malam diam. Awan perlahan merapat ke bulan. Aku tak bergeming. Entah sudah berapa kali ia mengutarakan hal itu. Sebuah ancaman bagi pernikahan belia.

“Boleh , Raj?” desaknya lebih berani, seperti tanpa beban.

Aku tak menoleh. Kuhela nafas panjang sambil membetulkan duduk. Bulan oval seolah tak bergerak. Langit hitam seperti akan hujan. Embun turun. Udara beku. Aku tetap diam. Berbagai rasa menumpuk, membuncah di kepalaku.

“Mengapa kau tak pernah menanggapi pertanyaanku, Raj?” Marilom terus mendesak.

Aku tetap bungkam. Angkasa kuterawang, mengeja takdir yang tertulis pada setiap jengkal langit malam yang tak bertepi itu.

“Raj!” bentaknya.

Aku tersentak, lantas meliriknya tajam. Dengan setengah tersenyum ia mencoba mencairkan keteganganku. Teh daun kopi kuseruput. Malam seperti tak beranjak. Entah bagaimana hati dan rasanya bisa tersesat, pikirku. Delapan tahun di kota, selain mengenyam pendidikan, ia juga telah mengecap racun kehidupan. Intelektualitas, bukannya mendekatkan dirinya pada kearifan lokal, tapi malah melupakan tradisi.

“Raj!” serunya lagi dengan lembut.

Aku terhenyak lagi dari lamunanku. Tak kusahuti. Diam adalah cara terbaik menghindari pertengkaran.

“Ayolah, Raj! Berilah sedikit tanggapan!”

“Kau gila!” bentakku.

Ia mundur beberapa langkah. Seberkas kilat memancar di ujung langit.

“Raj!”

“Mungkin kau tak mencintaiku. Tapi, tak bisakah kau sedikit menghargaiku, Mar?” ujarku geram.

Diamku pecah. Marilom tersenyum sinis, berusaha memoles malam yang kian kelam, lalu beranjak ke tepi beranda. Ia mendekap salah satu tiang kayu sambil memandang jauh ke dalam gelap itu. Rambutnya tergerai.

“Jangan bilang begitu, Raj! Apakah aku pernah bilang membencimu? Tidak, Raj! Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Karena itu aku bersedia menikah denganmu.”

Selalu saja membingungkanku. Ia selalu terampil memilih kalimat menyudutkanku. Aku tak beranjak dari kursi rotanku. Angin melintas bersama bayang-bayang tulangku, ayah Marilom, saudara kandung ibuku.

“Kau dengar, Raj?” tanya Marilom menyentakku. “Aku mencintaimu!”

“Aku juga mencintaimu, Mar!” sahutku dingin.

“Aku tahu, Raj! Karena itu ijinkanlah aku menikah lagi!”

“Tapi, kenapa, Mar?”

“Karena kita saling mencintai, Raj!”

“Ah! Jangan buat aku bingung, Mar! Cobalah memahami keadaanku. Aku tak mungkin mengkhianati tulang. Jangan mendesakku untuk menceraikanmu.”

“Tidak, Raj! Jangan pernah berpikir menceraikan aku!”

“Lalu mengapa kau ingin menikah dengan orang lain?”

“Menikah lagi tak mesti bercerai denganmu, Raj!”

“Maksudmu apa?”

“Hakekat, Raj! Kebebasan, freedom.”

Buru-buru kuseruput teh kopi daun khas Mandailing ini sekedar melumuri dada yang sesak. Malam merangkak. Perlahan Marilom mendekatiku, merangkul bahuku, lalu menyandarkan kepalanya di pipiku. Agak lama kukira.

“Waktu kecil kita selalu bersama, Mar! Berlarian di pematang sawah, menangkap belalang, bermain perahu dari daun di kali. Dan bila musim panen tiba, kita berlomba membuat uyup-uyup dari batang padi, lalu kita meniupnya bersama. Indah, ya? Tapi, itu sudah lama sekali,” kenangku.

Marilom tertegun agak lama. Lalu ia tertawa kecil, sambil bangkit lagi menuju pinggir beranda, merentangkan tangan seperti menangkap embun. Tujuh kunang-kunang redup bercengkerama di antara ranting-ranting pokok kopi di halaman. Mencoba jadi bintang, karena langit kian pekat. Sesekali guntur mulai bergemuruh di kejauhan.

“Ternyata kau masih ingat semua, Raj!” katanya. Ia menyanggul rambutnya.

“Kemudian kau sekolah ke kota. Menjadi gadis intelek, anggun, membuat kita kian berbeda. Sementara aku tetap di sini, menunggu bersama kenangan yang tak pernah sirna dari anganku itu. Ya, kenangan serta angan bersamamu. Kau tahu yang kulakukan bila rindu padamu mendera? Aku akan meniup tulilla memanggil bayangmu. Ah, sudahlah! Mungkin aku terlalu berlebihan.”

Ia menatapku lama. Lebih dalam kukira. Matanya basah. Lalu ia kembali menatap langit lagi seraya mengibaskan rambutnya lagi. Sepi kembali melintas.

“Siapa yang bisa menerka perjalanan hidup siapa. Dan siapa yang bisa mengelak dari sejumlah kenangan yang ditorehkan hidup padanya,” ungkapnya parau. “Seperti aku, Raj! Ada kenangan membunuh kenangan lain. Dan kau tahu? Aku terperangkap pada kenangan terkuat hingga aku terjerumus pada dilema yang akut. Ya, aku mencintai orang lain yang telah mewafatkan kenangan kita, Raj!”

Darahku tiba-tiba mendidih. Sudah kuduga seperti itu. Tapi tak tahu harus berbuat apa. Menceraikannya, itu tak mungkin, bahkan mustahil kulakukan. Aku tak bisa menghianati permintaan terakhir tulang. Kau harus menikahi dan menjaga boru tulangmu si Marilom!, katanya saat itu, ketika ajal menjelang. Siapa yang kuasa menolak permintaan seorang tulang dalam adat Mandailing.

“Sudah jelas kau tak mencintaiku,” tukasku kemudian.

“Aku mencintaimu, Raj!”

“Lalu bagaimana kau mencintai orang lain? Cinta tak bisa dibagi, Mar!”

“Aku tidak membagi, Raj! Cintaku utuh.”

“Lalu cinta yang mana yang akan kau berikan pada kekasihmu itu? Aku bisa memaklumi kalau kau punya kekasih di kota. Tapi, sekarang kita sudah menikah dengan atau tanpa keinginanmu.”

“Cinta yang lain, Raj!”

“Sama saja, Mar!”

“Beda, Raj!”

Sepi melintas lagi. Darahku terus mendidih melelehkan setiap sel dalam tubuhku. Dingin terusir.

“Kau gadis Mandailing, Mar! Dalam konteks adat Mandailing suami isteri dianjurkan untuk menikah satu kali saja. Marsarak tumbilang, itu pilosofinya. Hanya ajal yang bisa memisahkan. Sebuah konsep kesetiaan dalam perkawinan yang diwariskan turun-temurun.”

Marilom melirikku tanpa memalingkan wajah, lalu tersenyum sinis. Matanya tak basah lagi. Ia menghela nafas panjang, seperti menghirup seluruh malam ke paru-parunya.

“Aku bangga padamu yang masih setia mempertahankan tradisi, Raj! Tapi…, tapi bagaimana, ya? Susah menjelaskannya. Ah, begini saja! Kau tahu suku Mosuo? Mereka suku minoritas yang tinggal di danau Lugu, perbatasan Cina dan Tibet.”

“Tidak.”

“Di sana wanita bebas memilih suami berapa pun ia mau. Unik, ya? Cinta dibuat sesuai hakekat, yang bisa tumbuh di mana saja dan pada siapa saja.”

Angin berhembus lagi. Kali ini agak kencang. Beberapa bunga jambu sempat terbang mengenai rambut Marilom. Sambil membersihkannya ia terus berceloteh tentang penghuni Danau Lugu itu. Kaum lelaki, katanya, kerjanya tak lebih hanya mengambil ikan di danau. Urusan domestik dan selebihnya, itu urusan wanita. Berkali-kali ia memuji wanita Mosuo yang berperan sebagai kepala rumah tangga dan berhak memutuskan hubungan dengan laki-laki yang tak lagi disukainya. Di antara celotehnya, aku hanya membayangkan gadis Mandailing yang penurut dan pemalu. Tak pernah protes pada takdir yang dipatrikan padanya. Juga tak menolak saat mereka dijodohkan dengan anak namboru mereka.

“Bagaimana pendapatmu tentang suku Mosuo itu, Raj?”

Tak kujawab. Itu keterlaluan menurutku.

“Raj?”

“Ini Mandailing, Mar! bukan danau Lugu,” sergahku.

“Apa bedanya? Mereka juga manusia. Wilayah geografis bisa saja membuat ras berbeda, tapi hakekat tetap sama.”

“Ya, tapi manusia mesti membatasi kebebasan itu dengan hukum, norma, adab dan undang-undang. Itulah yang membedakan kita dengan hewan.”

“Aha! Kau makin pintar saja, Raj! Tapi kau tetap belum paham. Membatasi kebebasan berarti melanggar hakekat.”

“Ya, sudah!” ucapku jengkel.

Ia tertawa. Dingin menyergap. Gerimis mulai turun, tapi tak juga bisa redam bara di dadaku. Marilom berusaha memungut gerimis itu dengan menjulurkan tangannya ke luar.

“Apa bedanya, ya, kita dengan Mosuo?” tanyanya lagi.

“Bedanya mereka Mosuo dan kita Mandailing.”

“Aduh, Raj! Bukan sukunya. Hakekat, Sayang! Hakekat!” ia membuang air di tangannya, lantas mendekatiku lagi, memelukku dari belakang. “Kau tahu Elizabeth, kan? Margaret Tatcher, Bnazir Bhuto dan masih banyak lagi wanita-wanita tangguh di belahan bumi ini. Mereka dengan anggun memimpin sebuah negara. Mereka wanita, Raj! Dan orang-orang yang dipimpinnya dapat menerima itu.”

“Sudahlah, Mar! Kau tak perlu menjelaskan kehebatan perempuan padaku.”

“Wanita, Raj! Bukan perempuan.”

“Sama saja.”

“Beda, Raj!”

“Terserah!”

Marilom tertawa begitu lepas sambil bangkit menuju tepi beranda lagi. Tampaknya ia tak peduli dengan malam yang telah larut. Dan aku yakin, ia juga tak mau tahu tentang mimpi warga sekitar yang mungkin terusik.

“Sederhana sekali, Raj! Aku hanya menuntut secuil kebebasan, menikah lagi.”

Ia melirikku lagi dengan ekspresi memohon. Aku tegang. Dadaku meletup-letup. Beban ini terlalu berat buatku.

“Maafkan aku, Raj! Aku menjengkelkan, ya? Tapi aku hanya ingin kamu bisa memahami bahwa dunia terus berubah kearah kebebasan itu.”

“Sampai saat ini semua tradisi Mandailing itu berjalan dan masih baik-baik saja. Sudahlah! Aku tak mau mendengar ocehan dan perspektif gilamu. Aku mau tidur,” ucapku jengkel sambil beranjak masuk.

“Kau marah, Raj?” ujarnya parau.

Aku berhenti sebentar di depan pintu tanpa menoleh. Juga tak bicara.

“Maafkan aku, Raj!”

Tak kuhiraukan. Aku lelah.

***

Malam terus merayap menuju peraduan. Tak bisa juga kupicingkan mata. Pikiranku terbang, hingga tak ingat di detik mana mataku terpejam.

“Maafkan aku, Mar!” ujarku saat Marilom tiba-tiba telah di sampingku, menatapku.

“Tidak apa-apa, Raj! Tapi, ijinkan aku menikah lagi, ya, Sayang!” pintanya.

***

GLOSARIUM Tulang : Saudara laki-laki dari ibu. Singkut : Sejenis rumput berdaun panjang uyup-uyup : alat musik tiup suku Mandailing Gordang Sambilan : alat musik perkusi suku Mandailing Tulilla : alat musik tiup suku Mandailing. Sejenis seruling terbuat dari bambu berdiameter kecil Boru tulang : Anak perempuan dari tulang. Marsarak tumbilang : Berpisah tembilang. Artinya, berpisah hanya disebabkan ajal. anak namboru : Putra dari saudara perempuan ayah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus ceritanya. Andai ada perempuan seperti Marilom, pastinya dia tidak mengerti syariat Islam yang sangat dipegang teguh oleh warga mandailing. Pesan tersirat dalam cerita ini dalam sekali. Saya suka. Salam literasi dari Medan. Semoga sehat dan sukses selalu. Barakallah.

14 May
Balas

Trims, Raihana! Salam literasi.

14 May
Balas



search

New Post