Kini raut wajah pak Malin tidak seindah dulu, waktu-waktu habis berpikir untuk kesembuhan putra semata wayangnya. Siapa yang tidak akan galau, anak bujang yang hidup sudah mapan serta sudah punya calon istri yang sarjana walaupun anak Pak Malin tidak sarjana tetapi ia sudah hidup layak. Siang itu tidak ada angin maupun badai, anak semata wayangnya yang sudah mulai bicara sendiri serta setiap orang yang lewat disalami dengan ucapan mohon maaf segala kesalahaannya. Awalnya pak Malin melihat hal biasa, tetapi setiap waktu di perhatikan anaknya sudah jauh berubah.

Setiap orang ditemuhi oleh anak Pak Malin hanya permohonan maaf serta ia tidak pernah diam, selalu menganggap dirinya kotor dari debu, maka setiap saat ia selalu bersihkan dirinya dengan tangan. Masalah ini sudah hampir dua bulan di jalani pak Malin. Pada kesempatan itu, terjadi pada malam hari, anak Pak Malin brontak ingin lepas. Beban psikologi lebih berat dirasakan oleh Pak Malin, karena selama ini ia menganggap ia yang paling hebat serta menganggap orang lain musuhnya.

Malam semakin larut, Ade anak pak Malin tidak bisa tidur, ia brontak akhirnya pagi-pagi ja masukan ke rumah sakit jiwa. Pagi-pagi sudah berangkat menuju rumah sakit jiwa. Sesampai disana ia periksa dan perawat menyampaikan harus rawat inap. Satu minggu Ade di rawat di rumah sakit jiwa, dapat kabar bahwa ia sudah jau dari sebelumnya. Pagi-pagi pak Malin sudah berangkat menjemput Ade. Sesampai disana Pak Malin menemui perawat dan mendapat izin untuk dibawa pulang. Dilihat sama pak Malin, sudah jau perubahan akan tetapi jika di ajak ngomong belum fasih serta ingatan hilang timbul.