Amalia Damaianti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dari Anakku untuk Mas Mesah

Tantangan hari ke-3 #

Menjelang makan malam, aku masih duduk di pinggir jendela kamar anakku. Panasnya belum juga turun. Padahal, sudah berkali-kali kukompres. Telapak tangannya bersentuhan erat dengan telapak tanganku. Kupikir malam ini mas Mesah akan pulang, jadi kusiapkan nasi hangat dan ayam taliwang kesukaannya di meja makan. “Bu, Bapak sudah pulang? Seperti ada yang mengetuk pintu,” suara lirih anakku mengenai telingaku. “Tunggu saja di sini. Kalau bapakmu pulang, pasti langsung menemui kita,” jawabku yakin. “Aku tak sabar menunggu bapak pulang. Besok kan ada lomba tilawah di sekolah. Aku mau bapak duduk di barisan paling depan, melihatku tampil, ” tubuhnya mulai diangkat. Terlihat wajahnya yang sumringah meskipun tubuhnya masih panas. Kulemparkan senyumku padanya. “Berarti sekarang kamu harus istirahat, supaya besok bisa tampil optimal.” Kurebahkan tubuhnya. Kulebarkan selimut doraemon kesayangannya agar menutupi setengah tubuhnya. Ia tidak bisa tidur tanpa selimut itu. Kukompres keningnya dengan sisa air dalam baskom. Aku tidak tau harus beralasan apa lagi untuk menjelaskan padanya perihal mas Mesah besok. Kulihat matanya mulai terpejam. Lima menit berlalu, kuangkat kain kompresan dari keningnya. Kurasa panas tubuhnya mulai turun. *** Di atas meja makan sudah kusiapkan sepiring nasi lengkap dengan orak arik kesukaannya. Ayam taliwang semalam yang kusiapkan untuk mas Mesah sepertinya masih enak, jadi kuhangatkan sebentar. Anakku masih sibuk di kamar menyiapkan perlengkapan yang harus dibawanya saat lomba. Panasnya sudah mulai turun. Sengaja kupilihkan baju muslim kuning pemberian mas Mesah saat dia genap berusia tujuh tahun dulu. Sampai sekarang masih pas. “Ibu, bapak mana? Jam 8 sudah harus datang ke sekolah,” harapannya semakin membuatku gugup memberi penjelasan. Belum ada kabar apapun perihal mas Mesah. Sade juga tidak mengirimkan sepucuk surat balasan untukku. Apa surat dariku belum sampai sana, atau memang ibu mertuaku tidak sempat menuliskan surat balasan untukku? Entahlah, tidak terjangkau oleh akalku. Anakku masih saja berharap padanya. Kurasa perempuan simpanannya itu yang membuat mas Mesah belum juga pulang. “Tunggu saja, kamu tampil dulu. Tidak harus di depan, kan? Barangkali bapakmu datang terlambat jadi duduknya paling belakang. Bapak kan kerja,” spontan kujelaskan padanya. “Baiklah, Bu, yang penting bapak melihatku nanti,” bergegas ia berangkat ke sekolah. Sekolahnya tidak jauh dari rumah. Letaknya hanya sepuluh meter dari rumah, jadi aku tidak terlalu khawatir ketika melepasnya. Ia berharap bapaknya datang. Anakku mendapatkan undian maju yang pertama. Itulah yang membuatnya ingin sekali mas Mesah melihatnya tampil. Aku memberanikan diri untuk duduk di depan panggung seperti permintaannya. “Lomba tilawah ini sengaja kupersembahkan untuk bapak. Bapak pernah bilang, akan jadi orang pertama yang duduk di depan. Setiap sore ibu selalu menuangkan kopi panas di gelas yang tidak lagi diminum oleh bapak. Setelah itu pula ibu membuangnya, karena kopinya mendingin akibat terlalu lama menunggu bapak pulang. Kata ibu, hari ini bapak menyaksikanku, jadi kupersembahkan untuknya. Hari ini bapak genap berusia 38 tahun. Semoga bapak pulang supaya ibu tidak lagi membuang kopi panas buatannya lagi setiap sore,” prolog anakku sebelum memulai tilawahnya. Suaranya mirip sekali dengan mas Mesah. Kali ini aku berharap hal yang sama. Kutengok sekelilingku, tapi sepertinya mas Mesah tidak datang. Entah dia lupa atau memang tidak mau datang atau bahkan tidak sudi jika hendak bertemu denganku. Apa yang hendak kukatakan kepada anakku setelah selesai mengaji nanti? “Ibuuuu,” teriaknya girang lalu memelukku. “MasyaaAllah, anak sholehah ibu. Bapak pasti bangga, Nak,” kuciumi pipi dan keningnya yang lembut itu. “Bapak datang, ya, Bu?” “Sudah tadi, tetapi tidak bisa lama karena harus kembali bekerja. Tidak apa-apa, kan?” jelasku padanya. “Tidak apa-apa, Bu. Kita tunggu saja bapak pulang. Ya, kan, Bu?” senyumnya selalu menenangkanku. “Anak sholehah ibu satu ini,” kupeluk tubuh mungil anakku. Mas Mesah pasti bangga dengannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Nah, ... itu dia, pintar nulis ...

24 Jan
Balas



search

New Post