Amdai Yanti Siregar

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku (Bukan) Guru Pecundang!

Memilih profesi sebagai guru bukanlah kecelakaan, atau tidak ada pilihan lain. Sejak SD, aku memang bercita-cita jadi guru. Itu karena melihat sosok ibu kandungku yang berprofesi sebagai seorang guru. Ketika teman-teman SD-ku banyak yang memilih cita-cita menjadi "pramugari", "dokter", "pilot", aku tetap pada pilihan itu. Padahal hidup sebagai guru, tidak bisa kaya. Ibuku buktinya. Tetapi meskipun tidak kaya harta, ibuku kaya hati dan pahala. Mungkin lebih kaya dari mereka yang memiliki 'harta dunia". Itulah sebabnya aku memilih fakultas tarbiyah, sebagai modal mengajar.

Ketika hidup dihadapkan dengan masalah, sebagai manusia, tentu diberikan karunia dapat mencarikan solusinya. Di saat sedang senang-senangnya belajar, aku harus menerima kenyataan, bahwa ibuku yang oreng tua tunggal itu tak lagi mampu membiayai pendidikanku. Akhirnya, akupun turun ke jalan, mencari uang untuk membiayai pendidikanku. Tuhnan memberikan karunia padaku untuk menyanyi, mungkin sebagai solusi permasalahan yang aku hadapi. Maka jadilah aku penyanyi cafe. Tiap malam berpindah-pindah, dari satu cafe ke cafe lain. Jam kerjaku dari pukul 20.00 hingga pukul 02.00 dni hari.

Tak terbayangkan rasa kantuk yang menyerang ketika sedang belajar. Teman-teman sekelas sangat memahami diriku. Mereka sangat kooperatif. ketika dosen mengabsen, aku memaksakan diri terjaga. Setalah usai, barulah aku tertidur di bangku belakang, terhalang dari pandanga dosen. Makanya Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia pernah meledekku, "Bagaimana kau bisa jadi sarjana, kalau di kelas kerjamu tidur saja?!". Biasanya orang lebih menghargai waktu jika ia benar-benar memahaminya. Waktu belajarku di sela-sela menunggu giliran menyanyi, dalam perjalanan ke cafe, dan waktu-waktu sempit lain. Alhamdulillah, nilaiku minimal B. Lebih tinggi dari yang tiap hari duduk melotot di kelas, tapi pikirannya ke mana-mana.

Tidak semua dosen menerima profesiku sebagai 'penyanyi malam'. Apalagi kuliah di kampus yang agamis. Ada juga yang berpendapat pekerjaanku 'haram'. Uang yang aku makan 'haram'. Tapi apa boleh buat, aku belum menyadari memiliki keahlian lain yang dapat menghasilkan uang selain menyanyi. Dan aku berjanji dalam hati, jika kuliahku selesai, maka pekerjaan 'menyanyi'pun selesai. Dan janji itu benar-benar aku pegang. Walau sedang berada di puncak popularitas sebagai 'penyanyi cafe', akhirnya segala pencapaianitu aku tinggalkan.

Sejak lulus S-1 tahu 1993, aku belum juga mau mengajar, sesuai dengan pendidikanku. Ada rasa 'berdosa' dalam batin ini. Seorang guru adalah yang 'digugu' dan ditiru. bagaimana dengan aku? Label sebagai 'penyanyi malam' masih melekat padaku. Dan itu memberatkan langkahku. Bagaiman jika muridku tahu kalau gurunya adalah mantan penyanyi malam? belum lagi reaksi orang tua. Segala pertimbangan membuat aku tak dapar segera terjun menjadi guru. Akhirnya berbagai macam profesi pun aku geluti, mulai dari bekerja di beberapa penerbitan hingga menjadi 'bodyguard' beberapa tokoh perempuan. Padahal aku tidak memiliki keahlian bela diri apapun, hanya berbekal sertifikat pendidikan di RINDAM dan ditanda tangani Panglima TNI saat itu.

Ketika mendaki gunung Rinjanipun hatiku mulai terusik, menyaksikan kerja keras seorang guru yang bekerja sendirian mengajar 6 kelas sekaligus. Dalam hati aku berjanji akan kembali ke desa ini jika pendidikan guruku usai nanti. Tapi kenyataan berkata lain. Perlu waktu tiga belas tahun untuk memutuskan benar-benar menjadi guru sungguhan. Tidak ada keinginan bepergian ke beberapa daerah, harus menetap dan serius mengajar.

Ketika di daerahku tinggal berdiri sebuah sekolah yang memerlukan jasa seorang guru, akupun mendaftar di sana. supaya ilmuku segar kembali, akupun melanjutkan pendidikanku ke jenjang S-2. Karena keasyikan mengajar, kuliahku agak terbengkalai. Meski akhirnya rampung juga, namun tesisku tak tersentuh sampai sekarang. Aku pikir, tak apalah tanpa gelar. Aku butuh ilmu. namun beberapa temanku menyayangkannya.

Setelah dua tahun bekerja di tempat itu, akupun berpindah mengajar di tempatku sekarang. Alhamdulillah sudah berjalan 8 tahun. Aku juga masuk organisasi profesi guru. Guna menambah ilmu dan wawasan. Kalau dihitug-hitung, tahun ini aku genap 10 tahun mengajar. Bukan 'orang baru', tapi aku merasa selalu haus ilmu. Aku bingung juga melihat banyak guru yang merasa puas dengan pendidikan guru S-1, dan tidak mau menambah wawasan sendiri. Padahal ilmu pengetahuan terus berkembang. Apa yang didapat di bangku kuliah 20 tahun yang lalu mungkin sudah 'basi'. Makanya aku merasa selalu 'tidak tahu apa-apa' supaya mau belajar tentang sesuatu.

Kenyataannya, sampai saat ini, aku belum memiliki NUPTK. Sesuatu yang sangat mendasar yang harus dimiliki guru, jika ingin 'diakui' sebagai guru. Kendala pertama adalah domisili. KTP-ku DKI, sedang aku mengajar di Tangerang Selatan. Maka jadilah aku mengganti alamat KTP-ku menjadi Tangerang Selatan. Mengganti alamat KTP pun tidak menyelesaikan masalah NUPTKku. Aku harus menunggu diangkat menjadai 'karyawan tetap'. Padahal di sekolahku yang lama aku sudah 'karyawan tetap'. Sedangkan di sekolah yang baru, perlu 5 tahun untuk menjadi 'pegawai tetap'. Setelah diangkat sebagai pegawai tetappun, belum bisa memiliki NUPTK, harus menunggu minimal dua tahun. Kini, sudah tiga tahun, sejak diangkat sebagai pegawai tetap, aku belum juga memiliki NUPTK. Telah aku tanyakan permasalahannya pada admin sekolah, tapi diapun tak dapat memberikan jawaban. Sempat ku dengar bahwa NUPTK dapat diurus sendiri. ini yang aku tunggu-tunggu. Namun ketika di layar komputer menanyakan 'user name' dan 'password', aku nggak bisa meneruskannnya. Karena yang tahu hanya admin sekolah. Sudah ku minta, pun tak diberikan. Lalu aku harus bagaimana?

Rasanya, jika belum memiliki NUPTK, seolah belum mendapat pengakuan secara resmi sebagai seorang guru. Padahal, aku termasuk guru yang rajin 'update' terhadap ilmu pengetahuan dan pengembangan profesi guru. Rasanya seperti dipercundangi sistem. Padahal aku tak mau disebut sebagai seorang pecundang! Aku bukan pecundang! Aku seorang guru, namun aku bukan guru pecundang. Tetapi karena belum memiliki NUPTK itulah, aku ragu-ragu menulis: Aku (Bukan) Guru pecundang!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Guru yang tetap berjiwa guru.

16 Jun
Balas

Saya percaya bu Guru kok.

16 Jun
Balas

hehehe...kalau nggak percaya nanti rapotnya merah loh...

16 Jun

Semangat terus, bu guru!

16 Jun
Balas



search

New Post