Amdai Yanti Siregar

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Panggil Aku

Jangan Panggil Aku "...." (Catatan Harian Seorang mantan penyanyi Bar)

Bulan masih enggan keluar, bersembunyi di balik awan. Azan maghrib telah lama berkumandang. Shalat maghribpun ditunaikan. Malam ini, aku harus berangkat ke Widya Singing Hall. Sudah jam 19.00. Ini adalah malam yang mendebarkan. Orang-orang sudah ramai mengunjungi mesjid. Biasalah, kalau awal bulan ramadhan, mesjid ramai dikunjungi jamaah. Jika menjelang lebaran, mesjid jadi sepi, karena jamaah sibuk memadati mal-mal, memburu pakaian dan kue-kue lebaran.

Ku jejakkan kakiku meninggalkan rumah. Aku harus berjalan menuju jalan raya untuk mendapatkan taksi. Kala itu belum ada taksi online. Jadi aku harus berjalan melewati mesjid untuk mendapatkan taksi. Sebenarnya aku malu melewati mesjid itu. Dengan pakaian dan dandanan seperti ini. Ketika melewatitangga mesjid, beberapa orang meneriakiku dengan nakal. Ah, ternyata di mesjidpun sama saja, mereka tidak bisa menahan diri untuk berbuat usil. Hatiku menangis membayangkan masa kecilku. Pergi ke mesjid bersama teman-teman, mengaji, belajar matematikan dengan kakak-kakak mahasiswa. Mengingatnya hanya menorehkan luka. tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku yang telah ku beri pupur.

Di jalan raya, ada saja mobil yang menawarkan tumpangan padaku. Tapi aku tak menghiraukannya. Di sebrang jalan seorang nenek dan cucunya juga sedang menunggu taksi sepertiku, namun tak ada satu mobilpun yang menawarkan tumpangan. Mereka ini pilih kasih. Apa karena aku muda, cantik, dan seksi? Otak mereka harus dicuci. Tak slamanya pekerja malam itu mau saja menumpang mobil sembarangan! Aku teringat pesan ibuku untuk selalu menjaga kehormatanku, meskipun aku seorang pekerja malam.

Mengapa jalan hidupku seperti ini? aku bertanya dalam hati. Bukankah Ramadhan adalah saat-saat orang beribadah? mengapa aku masih harus pergi mengais rejeki di malam suci ini? Batinku menjerit. Aku terpaksa melakukannya, demi keluargamu. Kedua orang tuaku tak mampu mengongkosi kuliahku. Jika aku ingin kuliah, aku harus cari uang sendiri. Entah mengapa akhirnya aku jadi penyanyi bar. Aku menyanyi dari satu bar ke bar lain. Semua demi menghidupi kuliah dan keluargaku.

Sesampai di tempat ku bekerja, aku tidak menyaksikan tempat parkir penuh seperti biasanya. Aku bertanya dalam hati. Ada apa?. Ternyata, tempatku bekerja tutup. Pemerintah tidak mengizinkan tempatku bekerja selama bulan ramadhan. Alhamdulillah. Tapi bila aku tidak bekerja, bagaimana aku bisa makan? bagaimana adik-adikku sekolah. Terbayang wajah ibuku yang menunggu uang belanja. Ayahku yang menanti jatah bulanannya. bagaiman aku bisa mempersiapkan lebaran?. Aku terduduk lemas di kursi ruang bossku. "Kenapa?" suara Ko Awie menyapaku. Membangunkan lamunanku. "Nggak usah kawatil lu olang tetep gua gaji buat puasa dan lebaran. Gua juga punya otak, punya lasa, jangan lu kila gua nggak punya lasa" Kata Ko Awie sambil tertawa-tawa. Nih, 3 juta buat lu puasa ampe lebalan. Entar kalo udah dia minggu lu olang datang ambil kue lebaran dan THL dari gua". Kata Ko Awie lagi sambil memberikan amplop berisi uang 3 juta.

"Gua udah simpan gajih lu 500 libu tiap bulan, buat pelsiapan lu puasa. Ental mao lebalan, lo orang ambil THL dari gua, bial lu olang bisa pulang kampung. Lebalan di kampung." Matanya yang sipit kini tinggal segaris, karena terus tertawa. Dia senang melihat senyumku kembali terlihat.

"Nah gitu dong. Kalo lu olang senang, gua juga senang. Lu olang bahagia, gua juga. Sekalang lu boleh pulang. Gua juga mao bisnis kue lebalan ajah. Istli gua juga pintel bikin kue." Kata Ko Awie sambil menutup brankas uangnya. "Makasih Ko, Semoga Koko banyak rejeki" Kataku sambil meninggalkan ruangan itu.

Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya tersenyum-senyum membayangkan apa yang akan ku lakukan sebulan ke depan. Aku bisa shalat tarawih di mesjid! Aku akan berdoa pada Tuhan, agar diberikan jalan keluar terbaik dari pekerjaanku. Agar aku dapat menyelesaikan kuliahku dengan baik dan tepat waktu. Dapat meninggalkan pekerjaanku. Dapat jodoh....ah, segera ku potong doa itu. Sepanjang jalan menuju rumah, aku pun merenungkan kembali selutruh jalan hidupku.

Setiap hari aku hanya punya waktu dua jam untuk tidur. Aku kerja dari pukul 20.00 hingga pukul dua dini hari. Biasanya setelah bekerja, perutku lapar. Makanya aku sering mampir di tenda-tenda makan di pinggir jalan, atau warung makan di dekat tempatku bekerja. Tapi aku lebih suka makan di daerah Kampung Melayu. Di sana banyak rekan se profesiku. Sama-sama pengamen. Mereka mengamen di tenda-tenda warung makan yang berjejer di sepanjang jalan dekat terminal Kampung Melayu. Dari mereka aku belajar lagu-lagu baru. Aku panggil mereka saat tiba di tenda warung makan pavoritku. Biasanya mereka segera menghampiri begitu melihat aku.

"Mau makan apa, pesan saja. nanti aku yang bayar." Kataku sambil memilih tempat duduk strategis. "Kakak mau lagu apa?" kata Ucok yang biasa memainkan gitar dan sekaligus vokalis. "Apa sajalah. Aku sedang malas nyanyi" kataku kemudian. Mereka lalu menyanyikan beberapa lagu kesukaanku. Selepas makan, aku memberikan tips (uang jasa) pada mereka. Mereka nampak gembira. Mereka begitu hafal dengan kebiasaanku, dan tak lupa memanggil taksi yang akan mengantarkanku pulang. Waktu menunjuk pukul 03.00 dini hari, ketika ku lihat taksi yang membawaku tiba di rumah. Ibuku yang membukakan pintu. Setiap hari begitu. Ia takut kalau sampai aku mengetuk pintu dan membangunkan tetangga. Aku sudah melarang ibuku menungguku pulang kerja. tapi ibuku selalu begitu. Ia bangun jam tiga dini hari untuk shalat tahajjud katanya. Dan ibuku tak akan tenang sebelum aku pulang.

Pernah suatu hari, temanku berulang tahun. Aku ditraktir sepulang kerja. Kami makan-makan dan nyanyi-nyanyi, hingga tak terasa waktu sudah pagi. Suara azan subuh mengagetkanku. Ibuku tentu cemas menunggu. Aku segera pulang. Saat itu ku lihat ibuku menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan wajah merah padam. "Dari mana saja?!" bisik ibuku pelan, dengan nada yang ditekan. "Aku makan-makan dengan teman. Tadi temnku ulang tahun. Maaf." Aku menyembunyikan rasa bersalahku.

"Coba lihat di sebelah, tetangga sudah pada bangun!" ibuku menjewer telingaku. Aku tahu, ibuku pasti malu bila tetanggaku tahu auku pulang pagi. Bukankah tetangga sudah tahu aku kerja malam? Ah. Ini memang salahku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya di lain hari.

Waktu menunjuk pukul 06.00 pagi, saatnya aku berangkat ke kampus. Ku cium tangan dan kedua pipi ibuku. Tak lupa ku selipkan uang belanja dan jajan adik-adikku. Mereka harus tetap sekolah. Aku naik taksi ke kampus. Tentu ongkosnya mahal. Tetapi ini lebih baik daripada menumpang bus. Aku sering tidur di bus sampai seluruh penumpang telah turun, aku masih tertidur. Hingga aku dibangunkan kondektur. Terkadang, kondektur buspun sudah tahu kebiasaan aku tidur, sehingga menyediakan kursi di pojok. Setelah itu aku masih harus naik angkot menuju kampusku. Di dalam angkot, aku sering terkantuk-kantung, dan kadang terlewat. Kampusku sudah terlewat, aku masih tertidur di angkot, dan akhirnya aku terlambat masuk kelas. Kalau naik taksi, aku tinggal bilang tujuannya, kemusian aku bisa tidur dengan nyaman. Supir akan membangunkan jika aku telah tiba di kampus.

Aku sengaja memilih kampus dengan nuansa agamis. Pakaian yang ku kenakanpun harus menutup aurat. sangat jauh berbeda dengan pakaian yang ku kenakan saat bekerja!. Kadang aku tak dapat menahan rasa kantukku di kelas. Tetapi teman-temanku menyayangiku. Mereka akan menahanku hingga dosen selesai mengabsen mahasiswa yang hadir. Setelah selesai absen, baru aku diizinkan tidur di kelas, dengan perlindungan badan teman-temanku, agar tak terlihat oleh dosen. Pernah suatu hari aku ketahuan oleh dosen Filsafat. Aku diizinkan tertidur, setelah ku jelaskan apa alasannya. Aku diizinkan tidur, asalkan aku tetap belajar dan mendapatkan nilai A!. Akupun berupaya memenuhi keinginan dosenku. Aku belajar mati-matian. kadang saat waktu senggang menunggu giliran menyanyi, aku sempatkan membaca buku atau catatan dari dosen.

Tidak semua dosen mengizinkanku tidur di kelas. Apalagi terlambat masuk ke kelas. Pernah suatu hari aku terlambat lima belas menit, dan dosen itu tidak mengizinkan aku masuk. Dia meanyakan alasan keterlambatanku. Aku jelaskn dengan jujur, namun ia tetap tak dapat menerima. Sampai-sampai ia memintaku berhenti bekerja. tapi tidak memberikanku jalan keluar. Akhirnya aku tidak diizinkan mengikuti perkuliahannya, karena aku masih bekerja malam. Baginya, pekerjaanku adalah sesuatu yang haram. Apa yang ku hasilkan haram. Dan aku dianggapnya mahasiswa haram!

Sebenarnya aku agak putus asa bila berhadapan dengan dosen itu. Aku takut tidak dapat menyelesaikan kuliahku bila tidak dapat menyelesaikan ujian mata kuliah tersebut. Namun seorang senior di kampusku mengatakan, tidak mengapa jika tidak lulus satu mata kuliah, asal nilai mata kuliah lain bagus. Akupun agak terhibur dan berhasil menyelesaikan kuliahku. Meski bukan peringkat yang terbaik, aku berhasil meraih IPK 3,3 dan melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi (S2).

Hari ini, adalah hari wisuda sarjanaku. Aku mengajak ayah dan ibu menemaniku. Kebahagiaan nampak di wajah mereka. Matanya berkaca-kaca ketika namaku disebutkan untuk maju ke podium untuk menerima ijazah dan menyematan toga. Akhirnya selesai juga aku kuliah. Beberapa pekerjaan menanti. Mulai dari sekertaris pribad seorang duta besar, sekertaris perusahaan eksport-import, dan bekerja pada sebuah majalah. Pilihanku jatuh pada tawaran yang ketiga. Alasannya, pekerjaan pertama, aku harus keliling dunia mengikuti ke manapun boss-ku pergi, dan tak boleh mengenakan kerudung. Begitupun yang kedua, aku harus mencopot jilbabku. Sedangkan menjadi seorang reporter, tidak menghalangi aku mengenakan busana muslimah. Aku sudah mantap ingin menutup auratku.

Siapa bilang cobaan tak kan datang? saat aku mulai bekerja, dan aku belum memiliki ongkos kerja, karena belum gajian, adik-adikkupun harus ke sekolah. mereka meminta jajan. Dan ibuku hanya diam, meski aku tahu, ia tak punya uang untuk dibelanjakan. Akhirnya, aku bekerja kembali. Selama 6 bulan. Sambil berdoa, semoga aku diberikan jalan keluar dari pekerjaan ini. Dan aku bernazar, siapapun yang mengajak aku keluar dari pekerjaan ini, bila ia melamarku, aku akan terima dengan senang hati.

Ternyata Tuhan mendengar doaku. Ia mengirimkan seseorang yang jatuh cinta kepadaku dan mengajak aku meninggalkan dunia malamku. Dan Tuhan memanggilku untuk hadir di rumahnya. Aku berkesempatan menunaikan ibadah haji. Aku ingin bertaubat di depan baitullah. Dan itu dikabulkan Allah. Sejak saat itu, tak ada lagi orang yang memanggil aku dengan sebutan "....". Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Sekarang mereka memanggiku dengan sebutan "Ibu Hajjah". Alhamdulillah. Semoga aku dapat Istiqomah hingga akhir masa. Aamiin yaa robbal alamiin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post