Amilia Rahma Sania

Saya adalah seorang ibu dari dua amanah yang luar biasa.Kedua anak saya adalah permata hati yang sangat luar biasa.Yang pertama cerdas matematika.Yang kedua cer...

Selengkapnya
Navigasi Web

Jangan Pecahkan Hatiku

JANGAN PECAHKAN HATIKU

Raut wajahnya bulat dan cantik. Tubuhnya mungil, kulitnya putih. Wajahnya termenung, matanya menerawang jauh, dari pipinya mengalir butiran bening menetes bagai tirai hujan yang tiada henti. Helaan nafasnya terasa berat. Dengan suara serak dia berkata ”Saya serahkan sepeda motor kesayangan padanya sebagai hadiah, Bu. Saya pasrah. Biarlah dia bahagia dengannya. Yang penting kedua anak saya. Saya akan besarkan mereka. Mendidik mereka. Mudah-mudahan mertua saya mengizinkan untuk membawa mereka bersama. Kalau mereka sudah besar, menjadi anak-anak yang sholeh, terserah. Silahkan kalau mau ikut nenek dan kakeknya.”

Saya sedih melihat raut wajahnya yang sendu. Serasa ikut mengalami prahara rumah tangga yang dialaminya. Teringat kata ibu saya,”Nak, kamu itu aneh, jangan suka berteman dengan teman yang susah hidupnya, jangan selalu jadi tempat sampah, orang yang dicurhati itu berat, bagaimanapun kita akan membuang sampah pikiran itu, kita akan tetap memikirkannya. Cari teman yang membahagiakan, yang berprestasi, bukannya memilih-milih teman. Tetapi agar memotivasi kita untuk menjadi lebih baik.” Oh, ibu maafkan anakmu yang tidak mendengarkan petuahmu, perasaan saya selalu gampang sedih melihat perempuan-perempuan tersakiti yang pasrah, perempuan hebat yang menyerah pada keadaan, perempuan bekerja yang terdholimi. Hati saya yang lemah ini selalu sedih melihat mereka. Semua cinta telah diberikan. Cinta tanpa syarat. Membantu mencari nafkah untuk keluarga, tidak banyak yang diminta, hanya ingin disayangi oleh pilihan hatinya.

Pikiran saya terpecah oleh sebuah panggilan ceria seorang tetangga, lagi-lagi perempuan. Ada apa dengan hari ini. Mungkin Allah SWT lagi menguji hati. Agar bersyukur dengan keadaan.

Busani, namanya, kulit wajahnya putih sangat kontras dengan kulit badannya. Seorang pembantu rumah tangga, memanggil saya dengan ceria ”Bu guru, kok melamun aja?Tidak ngajar?” Saya menjawab dengan lemah”Bu Busani kok ceria banget hari ini?” tanya saya asal-asalan. ”Saya dapat rezeki nomplok hari ini. Ada seorang ibu pejabat memesan nasi bungkus seratus kotak. Alhamdulillah, bisa buat tambahan uang saku anak-anak. ”Wajah lugunya tulus dan bahagia. Menyiratkan kebahagiaan yang membuncah. Seorang lagi perempuan perkasa yang banting tulang untuk keluarganya. Suaminya menunggu nafkah yang tiap hari tidak menentu.”Lo, pak Isna kemana, Bu?Kok tidak mengantar?” tanyaku dengan sok tahu. “Lagi tidur,Bu”. Jawabnya dengan tenang. Matanya seakan bercerita, cerita yang sudah diketahui seluruh penduduk. Bahwa setiap malam hari, suami tercinta bermain kartu hingga shubuh di gardu. Tiada dendam hanya nestapa yang terlihat di matanya yang kuyu oleh beban hidup. ”Sudah ya,Bu. Saya mau berangkat dulu. Nanti ikan yang saya inginkan diserbu pelanggan lain.

Bunyi panggilan telpon mengagetkan saya dari lamunan. Oh, dia lagi. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. “Maaf mengganggu.”Jawabnya waktu pertama kali telepon tersambung. Setelah menghela napas panjang, dia meneruskan ceritanya, tanpa jeda dari saya. “Saya memutuskan bertahan, Bu. Saya takut terkena PP 10. Tidak ada bukti KDRT, tidak ada bukti dia berselingkuh, minum-minuman keras, berjudi, bahkan surat hutang. Saya mendengar, kalau terkena PP 10, maka gaji saya akan dipotong. Lalu darimana saya akan menafkahi anak-anak? Biar saya tunggu dia saja yang menceraikan saya, Bu.” Suaranya terdengar letih. Kejadian ini terulang kembali. Saat terjadi pemukulan itu, saya sudah memaksa dia untuk melakukan visum di rumah sakit, hanya untuk menjaga segala kemungkinan terburuk. Tapi apalah daya, saya hanya teman. Yang berusaha menjadi pendengar yang baik dalam ruwetnya hati, kisruhnya jiwa. Saya hanya berharap bahwa masalahnya membuat bu guru cantik itu tetap tegar. Tidak berimbas pada peserta didik. Tanpa masalah rumah tangga pun, masalah dan tanggung jawab seorang guru pada peserta didik cukuplah banyak. Allah SWT tidak pernah keliru memberi ujian dan tes untuk hambanya agar naik tingkat. Hanya masih terngiang di telinga, kata-kata terakhir sebelum telepon itu ditutup. “Saya ikhlas Bu, walau tidak dinafkahi, tapi saya hanya berharap untuk disayang dan dihormati, bagaimanapun saya tetaplah ibu dari anak-anaknya. Saya hanya tidak ingin hati semakin terluka.” Iseng-iseng saya kirim sms pada suami saya. Ayah tolong jangan pecahkan hati saya. Saya tersenyum membayangkan wajah suami yang akan keheranan membaca sms saya. Cuek aja. Namanya juga solidaritas perempuan.

Ter

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Belum selesai ya Bu Amalia. Usul saya, setiap petikan kalimat masuk ke paragraf baru aja.

30 Apr
Balas



search

New Post