Aminatun, M.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Merah Putih

Merah Putih

Zu adalah sahabat karibku yang sama-sama duduk di kelas 5 SD. Anak semata wayang Pakde San dan Bude Ti ini adalah siswa terpandai di kelas kami. Dia adalah anak yang periang. Rumah kami bersebelahan. Bersahabat dengannya adalah hal yang membahagiakan. Kami tinggal di desa kecil yang terpencil dari keramaian manapun. Negarasaka. Ya, Negarasaka. Itulah nama keren desa kami yang sepintas lalu seperti nama-nama kota di Jepang. Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Kabut tebal menyelimuti. Embun masih bergelantungan di pucuk-pucuk rumput teki. Kilaunya segera pecah dihujam ujung-ujung sapu lidi yang terayun cepat.

“Tunggu ya, Tin! Aku akan segera selesai.” Aku duduk di bangku depan rumah Zu, menunggu Zu selesai menyapu halaman samping rumahnya. Wajahku tertunduk menahan kantuk. Sesekali kugosok-gosokan kedua telapak tanganku dengan maksud mengusir dingin. Kurapikan ikatan rambutku yang kendur. “Selesai”, suara Zu menyentak di telingaku. Lenyaplah sudah rasa kantuk yang sedari tadi menemaniku menunggu sahabat karibku menyelesaikan tugas paginya.

Sesaat kemudian kami berjalan beriringan menuju sungai. “Adul dan Purnomo pasti sudah sampai di sungai. “Harusnya tadi kita bangun lebih pagi. Hari ini kan ada upacara bendera. Bagaimana kalau kita terlambat ke sekolah? Bagaimana kalau Bu Sinta mengalihtugaskan tugas membaca teks Pembukaan UUD kepada yang lainnya?” Aku dengar sahabatku tak henti ngerocos membayangkan hal yang sebenarnya belum tentu terjadi. Kami mempercepat langkah. Sesekali kami berlari. Tentu saja untuk urusan yang satu ini aku menyerah. Samar-samar kulihat tubuh mungil sahabatku jauh meninggalkanku. “ Hadeh, lekas, dong! Jalanmu seperti keong!” Terdengar teriakannya mengajakku bergegas. Sejenak dia berhenti. Sambil terengah aku pun mengejarnya.

Jarak rumah ke sungai memang cukup jauh. Setiap kemarau datang seperti ini, aku dan semua warga Negarasaka akan beramai-ramai ke sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Sedangkan untuk keperluan memasak kami masih bisa mengandalkan sumur salah satu warga yang memang tak pernah kering airnya. Jangan ditanya seberapa jauh jarak rumah warga tersebut dengan rumah kami. Ya kurang lebih sama jauh dengan jarak rumah kami ke sungai. Terbayangkan bagaimana repotnya kami ketika musim kemarau datang? Namun demikian kami menjalani rutinitas hari-hari kami dengan penuh suka cita.

Lonceng tanda masuk berbunyi. Nyaring bunyinya mendentang ke seluruh penjuru sekolah. Para siswa segera bergegas ke halaman sekolah. Beberapa siswa yang terlambat tampak berlari memasuki pekarangan sekolah. “ Aku bilang juga apa? Kita tidak akan terlambat. Buktinya kamu masih bisa melancarkan bacaan teks pembukaan UUD-mu.” Zu tersenyum. Kaki kecilnya yang lincah segera menginjak sepatuku. Bibirnya dimonyongkan tepat dihadapanku. Kuacak-acak rambut rapinya. Tidak mau kalah, dia pun menarik rambutku. Segera kami bergabung bersama petugas upacara lainnya. “ Hati-hati mengibarkan benderanya, ya! Jangan sampai terbalik! Pastikan ikatan talinya kuat! Jangan ngobrol ketika mengerek tali!” “Siap, Jendral!” Aku bergegas menemui Lis dan Er. Kedua temanku inilah yang akan menemaniku bertugas mengibarkan sang merah putih.

Matahari semakin terik. Debu jalanan beterbangan mamasuki kelas kami. Maklumlah satu-satunya jalan utama di desa kami belum diaspal. Berdebu jika kemarau dan becek jika musim penghujan.

“ Anak-anak, siapa yang tahu apa yang dimaksud dengan klorofil?” Suara lantang Pak Sagiman membahana ke setiap sudut ruangan. “Saya, Pak!” Teriak Zu sambil mangacungkan jarinya. “Hmm, bagus, ayo jawab, Zu!””Klorofil adalah zat hijau yang dimiliki oleh daun, Pak” Sambil berdiri Zu yang duduk di sampingku menjawab pertanyaan Pak Sagiman. “Benar sekali!” jawab Pak Sagiman sambil mengacungkan kedua jempol tangan beliau. “Dari mana kamu tau apa itu klorofil?” bisikku. “Beberapa waktu yang lalu sempat kuambil bukumu dari tasmu. Kasihan kalau kamu anggurin terus.” “ Pantas saja buku itu tidak ada di tasku.” “Tenang saja. Bukunya ada di rumah. Aku sudah selesai membacanya. Nanti aku beritahu apa aja isinya.” Aku hanya manggut-manggut mendengarkan apa yang ia janjikan.

Dentang lonceng pulang mengusir kami dari kelas. Suara keras dari potongan linggis dan bajak sawah itu memang sudah kutunggu dari tadi. Seusai berdoa, kami pulang dengan bergegas.

“Mengapa setiap upacara kamu memilih menjadi petugas pengibar bendera?” Tanya karibku memulai percakapan di sepanjang jalan pulang. “ Ya, senang saja. Yang pasti tampak keren.” Jawabku sesukaku. “Kamu tau tidak sejarah bendera kita itu?” Kugelengkan kepala sembari kugigit-gigit sisa es lilin yang tadi sempat kubeli di depan sekolah. Aku memang tidak tahu banyak tentang bendera negaraku itu. Yang aku tahu hanyalah bahwa bendera merah putih itu dijahit oleh Ibu Fatmawati. “Hadeh, payah. Jangan-jangan kamu hanya gaya-gayaan saja menjadi petugas pengibar bendera.” Secepat kilat dia tarik plastik es lilin dari mulutku. “ Agar tidak mencemari dunia ini, bagusnya kamu makan sekalian ini plastik es.” Aku hanya tersenyum mendengar ledekan sahabatku tersebut. “Sang Saka Merah Putih pertama kali dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Pak Karno memproklamasikan kemerdekaan RI. Ibu Fatmawati, istri Pak Karno yang menjahit bendera tersebut pada tahun 1944. Bendera berbahan katun itu berukuran 276 cm x 200 cm. Pada tahun 1946-1968, bendera tersebut dikibarkan hanya pada saat 17 Agustus saja dan sejak tahun 1969, bendera itu tidak berkibar lagi tetapi disimpan di Istana Merdeka karena sobek.”

Zu terus menceritakan apa yang dia tahu terkait sang merah putih. Tak terasa kami pun sampai di rumah. “Bawa telor ceplok yang tadi kamu tawarkan ke rumah, ya! Kita makan bareng. Terus kamu lanjutkan ceritamu!” Pintaku sambil berjalan mundur meninggalkannya.

Segera ia ke rumah. Kedua tangannya memegang sepiring nasi dengan potongan telor ceplok di atasnya. Agar lebih berasa dan berwarna tak lupa kami beri bawang goreng dan kecap manis kesukaan kami. Kami makan dengan lahapnya sambil bercanda ditemani layar televisi yang gambarnya renyek bak koloni semut rang-rang yang sedang perang.

“Sesudah tahun 1969, bendera duplikat dikibarkan tiap 17 Agustus. Bendera duplikat itu terbuat dari sutera. Bendera merah putih Indonesia melambangkan semangat Indonesia untuk lepas dari penjajahan Belanda. Merah artinya berani. Maksudnya berani melawan penjajah. Putih melambangkan kesucian, yaitu niat suci para pahlawan dan rakyat membela dan memperjuangkan kemerdekaan negara kita. Begitu ceritanya. Kamu sudah paham sekarang kan?” Aku mengangguk pelan. Kusodorkan gelas air putihku kepadanya. Diam-diam bertambahlah kekagumanku. Bangga hati mempunyai sahabat sepertinya. Sama bangganya seperti ketika aku bisa mengantarkan sang merah putih ke ujung tiang tertinggi di sekolahku setiap kali upacara. “ Ngomong-ngomong dari mana kamu tahu banyak hal terkait sang merah putih?” “ Ya dari bukumulah! Nanti aku kembalikan bersama buku IPA yang juga kupinjam diam-diam kemarin.” Aku tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

Salam kenal,

Aminatun

SMP Yadika 8

Pelatihan Sagusabu DKI VIII hari kedua

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantul bun... Sebuah tulisan yang bagus dan penuh nilai - nilai karakter.

03 Nov
Balas



search

New Post