Amin Sakir

Saya adalah guru di SDN Kertagena Laok 1 Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan....

Selengkapnya
Navigasi Web
Perempuan Tegar Tempatku Bersandar

Perempuan Tegar Tempatku Bersandar

Penulis : Amin_S

Ibu adalah telaga tempat ku menegak air kehidupan. Hampir tidak ada waktu baginya kecuali mendoakan kebahagiaanku. Dia selalu hadir saat aku tertawa bahagia, pun saat aku terpuruk bergelinang air mata. Dialah tempat aku berkeluh kesah. Menyapu duka yang menerpa. Seperti hembusan angin yang melenyapkan mendung di hati.

Matahari belum naik sepenggalah. Udara pagi yang segar terasa menyentuh kulitku. Namun aku tidak bisa membuang rasa cemasku. Perasaanku risau. Hari ini aku akan melihat pengumuman kelulusan tes CPNS.

Motorku sudah aku nyalakan untuk memanaskan mesin. Sementara aku lihat ibu mondar-mandir dari teras ke halaman. Aku tahu dari wajahnya, ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Pandangannya sesekali kosong. Bibirnya terus bergetar melafalkan dzikir. Pasti ibu sedang membaca doa-doa untuk aku. Aku yang bulan kemarin ikut ujian masuk CPNS dan hari ini nasibku akan ditentukan.

"Bu, aku berangkat," ucapku sambil mencium tangan keriputnya. Ibu tidak melepaskan tanganku. Tangannya makin erat menahan tanganku dalam genggamannya. Meski tangannya dingin, tapi ada kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku. Perasaan cemasku berkurang. Harapanku yang mulai luntur, terasa muncul kembali. Sorot matanya lembut menatapku. Wajahnya nampak lelah meski tidak menghilangkan bekas sujudnya. Aku lihat senyum terulas di bibirnya.

"Nak, berangkatlah. Ibu menyertaimu dengan doa. Sejak semalam ibu hampir tidak tidur. Sepanjang malam ibu mendoakan kamu. Ibu mohon kepada Tuhan supaya hari ini kamu mendapat hasil yang terbaik," ucapnya lirih.

Hatiku tergetar. Genggaman tangannya terasa makin hangat. Tapi, kata-kata ibu barusan hampir tidak membuatku lebih tenang. Aku didera rasa kuatir yang menghunjam perasaan. Aku takut pulang dengan tangan hampa. Aku tidak mau mengecewakan ibu. Aku tidak bisa membayangkan dia menangisi kegagalanku. Hasrat besarku untuk membahagiakan ibu menjadi penyubur rasa cemasku. Aku takut tidak lulus.

Kecemasanku beralasan. Saat ini adalah harapan terbesarku untuk membahagiakan keluargaku, khsususnya, ibuku. Hayalanku sudah melambung tinggi. Bayangan kebahagiaan sudah tergambar dalam benakku saat lulus nanti. Dengan uang gajiku aku bisa membantu kehidupan ekonomi keluarga. Aku benci kemiskinan yang sudah aku alami sejak lahir dulu. Aku ingin merasakan kebahagiaan seperti orang lain. Aku cemburu dengan kehidupan mereka yang semua serba ada. Sementara aku terlahir dalam keluarga yang serba pas-pasan.

Aku bukan membenci kuasa Tuhan yang menakdirkan aku lahir dari Rahim seorang ibu miskin. Tapi aku ingin kehidupan keluargaku menjadi lebih baik. Aku berharap besar mendapat keberuntungan dalam ujian CPNS ini. Dan jika aku gagal, musnahlah harapan-harapan itu.

Aku berangkat dilepas pandangan ibu yang tegak mematung di halaman. Motor butut membawaku menembus dinginnya pagi menuju kota. Entah kenapa, sepanjang perjalanan bayangan buruk tidak bisa lepas dari pikiranku. Sesekali bayangan wajah ibu melintas dalam pikiranku. Aku takut dia kecewa.

-------

Byaaarr... Bak disambar petir di siang bolong. Tubuhku terasa limbung. Pandanganku nanar. Syaraf-syaraf di tubuhku terasa mati. Dalam beberapa saat, aku tidak bisa merasakan apa-apa. Air mataku menetes di koran yang aku pegang. Namaku tidak ada di daftar pengumuman itu. Aku tidak percaya. Aku ulangi melihatnya beberapa kali sambil berharap keajaiban. Tapi tetap saja, namaku tidak ada. Ya, namaku memang tidak ada. Aku tidak lulus.

"Ya... Allah, bagaimana dengan ibuku nanti?" jeritku dalam hati. Dadaku sesak. Kerongkonganku kering. Aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya dia nanti. Pengorbanan dan doa-doanya selama ini menjadi sia-sia. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Kenapa aku tidak lulus. Berarti nilaiku jelek. Betapa tumpulnya otak ku !

--------

Perempuan itu tafakkur bersimpuh di atas sajadah di dalam kamarnya. Badannya terbungkus mukena putih yang warnanya mulai pudar dengan bercak noda di beberapa bagian. Kedua tangannya terangkat. Matanya memejam. Tapi mulutnya bergerak-gerak memunajatkan doa. Aku mengelus dada. Perih menghunjam seluruh organ tubuhku.

"Ya Allah, Ibu pasti sedang mendoakan aku,” pikirku. Sementara, aku telah membuatnya kecewa.

Aku sudah di depan pintu kamar ibu. Aku tidak punya keberanian untuk mengganggunya. Apalagi aku datang dengan berita buruk. Aku merasa tidak punya muka berada di depannya. Aku putuskan menunggu sampai ibu selesai dengan doanya.

Pikiranku makin tak karuan. Bagaimana caranya aku menyampaikan kabar ketidaklulusanku. Aku tidak mungkin berbohong, demi menyenangkan hati ibu. Seketika hayalanku melayang. Andai saja aku lulus. Pasti tidak akan begini jadinya.

---------

Brukk.... Aku jatuhkan mukaku di pangkuan ibu. Aku tumpahkan tangisku. "Maafkan aku, anakmu yang bodoh ini. Aku tidak luluuuss...Buuu...". Tangisku makin pecah. Aku sesugukan di pangkuannya. Ayo bu...marahi aku, aku mengecewakanmu...", Suaraku terbata di sela tangis. Wajahku makin tenggelam dalam pangkuannya.

Belaian lembut aku rasakan di kepalaku.

"Nak, dengar ibu ya. Kamu sudah berusaha dengan baik. Bahkan sangat baik. Ibu juga sudah tidak henti-henti mendoakan kamu. Tapi, jika takdir tuhan belum berpihak kepada kita. Kita mesti sabar," kata ibu pelan tapi lugas. Tangannya terus membelai-belai rambutku.

"Tapi Bu, aku sudah mengecewakan ibu. Aku tidak bisa membuat ibu bangga. Padahal kalau aku lulus, aku ingin kita hidup lebih ..." Kalimatku tidak selesai. Aku kembali tak kuat menahan tangis.

"Sudah lah nak, sudahi tangismu. Ibu tahu, kamu ingin kita hidup lebih baik. Tapi, percayalah Nak, Tuhan sudah mengatur rejeki kita masing-masing. Kita tidak akan kelaparan hanya karena kamu tidak lulus. Tuhan pasti punya caranya sendiri membagikan rejeki pada makhluknya."

Aku angkat mukaku. Aku tatap tajam wajah ibuku. Sementara tanganku gemetar mencengkeram kedua lengannya. “Ibu tidak marah kan?” Tanyaku parau. Perempuan tua itu menggeleng. Aku lihat tidak ada satu tetespun air mata yang jatuh di pipinya. Tidak tampak pula kesedihan di raut mukanya. Aku hanya melihat wajah bersinar penuh harapan dengan sekulum senyum tersungging di bibirnya.

“Tidak Nak, Ibu tidak marah, Kegagalanmu dan kemiskinan kita bukan menjadi penghalang untuk kita tetap bersyukur. Masih ada banyak kesempatan untukmu. Kamu tidak boleh putus asa,” jawab ibuku, tegar tanpa nada kesedihan.

Kembali aku tubruk tubuh rentanya. Aku peluk erat ibuku. Kata-katanya seperti oase di gurun pasir yang menyejukkan hati. Senyumnya seperti aliran salju yang menjalar ke seluruh tubuh. Dan bahu ringkihnya setegar batu karang tempat aku bersandar menumpahkan sedih dan penderitaan

"Duh, Gusti, begitu besar nikmat-Mu, telah engkau tunjuk perempuan mulia ini menjadi ibuku,” batinku, haru.

Aku peluh tubuhnya semakin erat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post