Amin Yusuf, S.Pd., M.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MODEL PEMBELAJARAN MENEMUKAN (INQUIRY LEARNING) DAN MINAT MEMBACA DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERITA PENDEK  (PENELITIAN EKSPERIMEN SISWA KELAS X MIPA SMAN 3 SAMARINDA)

MODEL PEMBELAJARAN MENEMUKAN (INQUIRY LEARNING) DAN MINAT MEMBACA DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERITA PENDEK (PENELITIAN EKSPERIMEN SISWA KELAS X MIPA SMAN 3 SAMARINDA)

1. PendahuluanMenulis merupakan kegiatan kreatif berupa penuangan gagasan, angan-angan, perasaan dala sebuah tulisan yang dihasilkan oleh penulis. Tulisan tersebut dapat berupa tulisan ilmiah dan nonilmiah (fiksi). Dalam hal ini, gagasan, angan-angan, dan perasaan yang ditulis itu adalah berupa kumpulan dari huruf-huruf yang membentuk kata, kumpulan dari kata membentuk kelompok kata dan kalimat, kumpulan dari kalimat membentuk paragraf, dan dari kumpulan paragraf membentuk wacana yang utuh. Namun demikian, apa yang ditulis adalah tulisan yang bermakna. Jadi, menulis dapat dikatakan sebagai proses pengungkapan ide, gagasan, pendapat, pikiran, angan-angan, dan perasaan seseorang melalui bahasa tulis sebagai medianya.Dalman (2015: 1-2) menjelaskan bahwa pekerjaan menulis bukanlah pekerjaan yang ringan atau berat. Dalam hal ini, kegiatan menulis tidak dapat seperti membalikkan kedua telapak tangan karena menulis itu harus melalui proses. Hal inilah yang membuat orang tidak terlalu suka menulis. Padahal, apabila kita mengikuti proses menulis, menulis pun akan menjadi lebih mudah, bukan malah sebaliknya. Oleh sebab itu, menulis sebagai sebuah proses merupakan kegiatan menulis melalui tahapan-tahapannya yang telah disesuaikan dengan studi empiris para penulis yang telah berpengalaman.Dalman (2015: 8-9) menjelaskan bahwa tujuan menulis untuk kesenangan atau hiburan akan menghasilkan karya nonilmiah berupa novel, cerpen, naskah drama, puisi, dan juga menghasilkan karya semi ilmiah seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain sebagai bacaan pengisi waktu luang. Biasanya tujuan menulis untuk kesenangan atau hiburan ini lebih banyak penggemarnya daripada tulisan yang bertujuan untuk studi dan usaha. Tulisan yang bertujuan untuk kesenangan lebih disukai oleh masyarakat umum dan untuk berbagai kalangan baik kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Oleh sebab itu, tulisan-tulisan tersebut menjadi tulisan yang best seller karena sangat diminati oleh masyarakat umum.Siddik dan Musaba (2017:5) menerangkan bahwa secara garis besar, penulis dengan tulisannya berupaya untuk memberikan atau menyampaikan segala bentuk dan macam informasi kepada pembaca. Tentu saja penulis dengan karyanya itu berharap agar pembaca menerima semua yang diungkapkannya sebagai masukan yang berharga. Di sini ada semacam unsur mempengaruhi dari penulis kepada pembaca. Bila tujuan penulis tercapai, maka dengan sendirinya pembaca telah merasa mendapatkan sesuatu dari penulis.Salah satu fenomena dalam dunia pendidikan yang diamati oleh guru saat ini adalah bagaimana kecenderungan siswa malas untuk melakukan kegiatan menulis tangan. Kecenderungan dan meningkatnya intensitas siswa dalam menggunakan media pengetikan komputer maupun keyboard telepon genggam menimbulkan rasa ketergantungan yang pada akhirnya membuat siswa malas dalam berlatih untuk menulis tangan. Imbasnya dapat kita lihat pada menurunnya kualitas dalam tulisan tangan siswa beberapa tahun terakhir. Beberapa dari siswa malah telah terbiasa dengan kondisi tersebut, memaklumi tulisan tangannya yang buruk dan pada akhirnya malas berlatih karena semakin canggihnya kemajuan teknologi yang ada sebagai alat untuk mempermudah aktivitas manusia khususnya dalam hal menulis.Fenomena tersebut ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara lain khususnya Amerika Serikat yang coba dibahas dan ditanggulangi oleh Brown (2004: 221) dengan melakukan dan mengupayakan pembelajaran menulis di kelas. Brown mengupayakan bagaimana pembelajaran di kelas harus lebih terorganisir dengan baik dalam hal penyampaian materi, pemberian tugas, maupun proses penilaian yang dilakukan. Negara Indonesia harus turut serta memperbaiki hal tersebut jika tidak ingin keadaan ini semakin parah dengan pesatnya kemajuan teknologi yang ada pada saat ini dan di masa yang akan datang.Jika ditelusuri lebih jauh, menulis tangan merupakan keterampilan yang sepertinya sudah mulai tertinggal di belakang. Sementara dalam aktualisasi kehidupan, masih banyak perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan penulisan tangan sebagai syarat dalam menulis formulir berkas melamar pekerjaan. Dalam beberapa kasus lain, menulis juga dijadikan sebagai tolok ukur kepribadian dan inteligensi berpikir seseorang. Hal ini tidak lagi hanya merujuk pada baik tidaknya tulisan tangan, tetapi juga bagaimana seseorang memfokuskan pokok pikiran dan mengorganisasi tulisan dengan baik sehingga apa yang ingin disampaikan dapat dengan baik diterima oleh pembaca.Kurang baiknya tulisan tangan siswa pada akhirnya membuat siswa banyak yang malas untuk melakukan kegiatan menulis. Hal itu menjadi suatu momok yang bagi siswa untuk tidak melakukan kegiatan menulis karena menganggap tulisan tangan yang mereka miliki tidak baik dan terkesan buruk. Kurang intensif dan seriusnya siswa dalam setiap kegiatan menulis sekalipun pada ranah pembelajaran membuat masalah yang ada semakin parah. Akhirnya hal tersebut merambah pada aspek dan kemampuan siswa dalam mengungkapkan gagasan maupun pikiran.Pembelajaran menulis cerita pendek merupakan salah satu alternatif pilihan yang dimiliki oleh bidang bahasa dan sastra dalam menggali potensi yang dimiliki siswa. Pembelajaran tersebut menekankan pada penggunaan kemampuan berpikir analitis dalam mengemukakan gagasan berupa ide dan tema yang akan diangkat menjadi sebuah cerita. Penelitian oleh Karabutova (2015: 1662) pada jurnal International Journal of Science and Research “Teaching Communicative Competence Based on the Schematic Structure of Stories (Story Grammar)” mengungkapkan bahwa pembelajaran cerita pendek sangat baik digunakan dalam pembelajaran menulis karena mencakup aspek yang penting dalam mengungkapkan pemikiran siswa khususnya pada tatabahasa yang digunakan. Pembelajaran cerita pendek juga terbukti meningkatkan motivasi siswa dalam menggunakan kemampuan komunikatif yang dimiliki. Hal ini tentu merupakan langkah yang sangat baik dalam memunculkan kembali kemampuan berpikir untuk mengungkapkan gagasan yang dimiliki oleh siswa.Jika beberapa guru masih menyepelekan pentingnya pembelajaran menulis, ditakutkan siswa hanya akan berkutat pada hal-hal yang bersifat logis dan kurang mementingkan kemampuan siswa dalam mengembangkan kemampuan menulis yang dimiliki, akan terjadi kemerosotan yang semakin dalam pada kemampuan berbahasa siswa di beberapa aspek. Hal ini tentu harus diantisipasi dan ditangani sejak dini sebelum siswa lebih tidak menghargai kemampuan berbahasa sampai pada tingkat yang lebih memprihatinkan lagi. Paling tidak, dengan adanya penelitian ini akan menjadi salah satu upaya untuk membangkitkan lagi gairah siswa dalam keterampilan menulis khususnya dengan pembelajaran inovatif yang telah ditawarkan oleh beberapa ahli kepada guru sebagai alternatif pilihan. Alternatif pilihan yang ada tentu juga harus dilihat guru dari sudut kesesuaian isi pembelajaran dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan yaitu menulis cerita pendek.Minat membaca juga akan menjadi hal yang akan dilihat seberapa kuat pengaruhnya dalam pembelajaran menulis cerita pendek. Zainurrahman (2013: 2-3) menjelaskan bahwa latihan merupakan kunci yang paling utama demi mencapai kesuksesan untuk mencapai prediket mampu menulis dengan baik dan benar. Seseorang hanya bisa menciptakan sebuah tulisan yang baik jika dia rajin membaca, karena dalam interaksi antara seorang pembaca dan bacaan terdapat model tulisan yang dijamin (atau sebaliknya) keterbacaannya. Seperti halnya dengan berbicara, seseorang hanya bisa menguasai pidato jika dia rajin mengikuti orasi-orasi ilmiah, pidato resmi, dan lain sebagainya. Sederhananya, keterampilan berbicara sangat didukung oleh keterampilan mendengar dan keterampilan menulis sangat didukung oleh keterampilan membaca.Tarigan (1994: 4) menjelaskan bahwa antara menulis dan membaca terdapat hubungan yang sangat erat. Bila kita menuliskan sesuatu, maka pada prinsipnya kita ingin agar tulisan itu dibaca orang lain, paling sedikit dapat kita baca sendiri pada saat lain.Selain membutuhkan keterampilan menulis yang baik, seseorang yang memiliki minat membaca secara teori akan terus-menerus melakukan kegiatan tersebut tanpa diperintah dan dengan kemauan sendiri. Minat membaca secara teori juga akan berpengaruh pada kemampuan menulis cerita pendek siswa jika ditinjau dari penguasaan kalimat, keteraturan isi cerita pendek, dan lain sebagainya. Diduga, minat membaca memberikan pengaruh yang kuat dalam kemampuan berpikir siswa untuk memproduksi bahasa. Pada akhirnya minat membaca akan membuat produksi kosakata dan kemampuan siswa dalam menulis cerita pendek akan semakin baik.Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) Mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan menulis cerita pendek antara yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran inquiry learning dan model pembelajaran two stay two stray learning; (2) Mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan menulis cerita pendek antara yang memiliki minat membaca tinggi dan minat membaca rendah; dan (3) Mengetahui ada tidaknya interaksi antara model pembelajaran dan minat membaca terhadap kemampuan menulis cerita pendek.Kusmana (2014: 33) menerangkan bahwa cerita pendek merupakan karya sastra berbentuk prosa fiksi yang mengangkat suatu peristiwa sebagai tema sentralnya dan dapat dibaca dalam sekali pembacaan atau untuk mengisi waktu luang. Peristiwa yang ada akan menjadi pokok hal yang dibicarakan dalam cerita pendek tersebut karena hanya terdiri dari satu hal. Hal tersebut mengakibatkan cerita yang ada dalam cerita pendek tidak terlalu kompleks dan jumlah halamannya menjadi tidak terlalu panjang. Dengan begitu, waktu yang digunakan dalam membaca cerita pendek tidak terlalu lama. Itu pula sebabnya cerita pendek banyak digunakan untuk mengisi waktu luang pembaca.Unsur menulis cerita pendek seperti diungkapkan Kasnadi dan Sutedjo (2010: 193) ialah (1) pemahaman terhadap komponen cerita pendek, (2) estetika sebuah cerita pendek, (3) pemahaman proses pembuatan garis besar cerita pendek, (4) proses penulisan cerita pendek, (5) editing dan perbaikan cerita pendek, (6) proses pengentasannya. Unsur menulis cerita pendek ini tidak diwajibkan untuk runtut namun akan lebih baik jika pengarang memahami unsur tersebut dan menggunakannya dengan melengkapi satu sama lain.Dalam Nurgiyantoro (1988: 279) dijabarkan bahwa kemampuan menulis khususnya menulis karangan di sekolah harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain: (1) kualitas dan ruang lingkup isi, (2) organisasi dan penyajian isi, (3) gaya dan bentuk bahasa, (4) mekanik: tata bahasa, ejaan, dan tanda baca, kerapian tulisan, dan kebersihan, serta (5) respon afektif guru terhadap karya tulis. Kualitas dan ruang lingkup isi menunjukan pemilihan tema dan relevasi dalam kalimat-kalimat yang digunakan. Aspek respon afektif guru dikaitkan dengan kapasitas guru sebagai pembaca yang tertarik, kurang, atau tidak tertarik pada isi karangan. Sementara itu, pada aspek yang lain telah banyak dijelaskan dalam bagian sebelumnya yaitu pada bagian unsur menulis cerita pendek.Siklus kegiatan model pembelajaran menemukan (inquiry Learning) menurut Riyanto (2010: 171) terbagi atas 5 poin utama yaitu observation, questioning, hypotheses, data gathering, dan conclusion. Observation berhubungan dengan kegiatan mengamati, kegiatan tersebut merujuk pada melihat dan mengamati masalah yang ada dan perlu untuk dicarikan solusi penyelesaian. Questioning merujuk pada kegiatan bertanya, bertanya dalam hal merumuskan hal-hal apa yang perlu dicarikan solusi penyelesaian masalah. Hypotheses berkaitan dengan dugaan sementara, peserta didik akan menduga suatu penyelesaian masalah dengan teori maupun pengetahuan yang dimiliki. Data gathering berhubungan dengan pemerolehan data, dalam tahap ini akan dilihat keberhasilan atau ketepatan dari hipotesis yang telah dibuat. Conclusion sama artinya dengan kesimpulan, hasil akhir dari hal yang diamati sehingga membuahkan suatu keputusan dari penelitian.Suryani dan Agung (2012: 87-88) menggambarkan model pembelajaran two stay two stray merupakan bagian dari model kooperatif struktural yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa dengan maksud mengembangkan interaksi tradisional agar interaksi menjadi lebih bervariasi. Variasi interaksi diperlukan untuk memberikan kejutan bagi siswa agar pembelajaran tidak terpaku pada satu pola. Pada akhirnya, pembelajaran dengan variasi interaksi tersebut membuat pembelajaran menjadi lebih menyenankan dengan interaksi sosial yang lebih beragam. Artinya, lebih banyak siswa yang ditemui pada pembelajaran oleh siswa lain disertai dengan pertukaran informasi daripada hanya terpaku pada salah satu kelompok. Pola ini juga dapat diartikan sebagai pola bertukar pasangan jika hanya dilakukan oleh dua orang.Langkah-langkah yang dilakukan dalam melaksanakan model pembelajaran ini antara lain: (1) Peserta didik bekerja sama dalam kelompok yang berjumlah 4 (empat) orang; (2) Setelah selesai, dua orang dari masing-masing menjadi tamu kedua kelompok yang lain; (3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi kepada tamu mereka; (4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain; (5) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.Minat diungkapkan oleh Jahja (2013: 63) sebagai sebuah dorongan yang menyebabkan terikatnya perhatian individu pada objek tertentu seperti pekerjaan, pelajaran, benda, dan orang. Oleh sebab itu, objek kajian minat dapat menjadi sangat luas dan bergantung pada arah dorongan yang dimiliki oleh seseorang. Selain itu, minat berhubungan dengan sesuatu yang menguntungkan dan dapat menimbulkan kepuasan serta motivasi bagi seseorang. Menguntungkan dalam hal ini bukan kecenderungan yang selalu bersifat materi namun juga unsur yang lebih bersifat kepuasan batin/ kesenangan individu.

2. Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Samarinda, pada semester genap tahun ajaran 2016/ 2017 selama bulan Januari 2016 – April 2017. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Pada kelas eksperimen, siswa mengikuti pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning). Sementara itu, pada kelas kontrol, siswa mengikuti pembelajaran melalui pendekatan kooperatif dengan menggunakan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning). Populasi yang menjadi subyek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 3 Samarinda dengan sampel ditentukan menggunakan simple random sampling. Simple random sampling ialah teknik sampling yang digunakan oleh peneliti dengan melakukan lotre terhadap semua populasi (Arikunto, 2005: 97). Hasil dari sampel acak tersebut mendapatkan dua rombongan belajar yaitu kelas X MIPA 3 dan X MIPA 4.Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu analisis data deskriptif dan analisis data inferensial. Analisis data deskriptif dilakukan dengan menyajikan data melalui tabel distribusi frekuensi, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan nilai sentral untuk melihat sebaran data dengan menghitung modus, median, mean. Selanjutnya, dapat dilihat variansi data dengan menggunakan range, varians, standar deviasi, dan koefisien variasi (Taniredja dan Mustafidah, 2012: 61). Analisis data inferensial adalah teknik analisis statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan unuk populasi yang jelas, teknik pengambilan sampel dari populasi itu dilakukan secara random (Sugiyono, 2013: 209). Analisis ini dilakukan dengan terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan sebagai syarat untuk uji hipotesis.3. Hasil PenelitianPada bagian ini akan dideskripsikan data-data distribusi frekuensi, hasil uji normalitas dan homogenitas data meliputi (1) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran melalui pendekatan kontekstual dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning) (A1); (2) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran melalui pedekatan kontekstual dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning) (A2); (3) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca tinggi (B1); (4) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca rendah (B2); (5) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran inquiry dengan minat membaca tinggi (A1B1); (6) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning) dengan minat membaca rendah (A1B2); (7) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning) dengan minat membaca tinggi (A2B1); dan (8) nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning) dengan minat membaca rendah (A2B2).Berdasarkan data yang diperoleh diketahui kelompok A1, secara keseluruhan memiliki rentang (range) 24, dengan skor terendah 68 dan skor tertinggi 92. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 81,47; modus sebesar 82; median sebesar 82; varians sebesar 36,27; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6,02. Diketahui pula kelompok A2, secara keseluruhan memiliki rentang (range) 24, dengan skor terendah 64,67 dan skor tertinggi 89. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 75,46; modus sebesar 76; median sebesar 75,5; varians sebesar 30,92; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 5,56.Selanjutnya diketahui kelompok B1, secara keseluruhan memiliki rentang (range) 25,67, dengan skor terendah 66,33 dan skor tertinggi 92. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 80,98; modus sebesar 82; median sebesar 82; varians sebesar 48,84; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6,99. Diketahui pula B2, secara keseluruhan memiliki rentang (range) 20,67, dengan skor terendah 64,67 dan skor tertinggi 85,33. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 75,94; modus sebesar 78; median sebesar 76,67; varians sebesar 23,92; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 4,89.Diketahui pula, kelompok A1B1 secara keseluruhan memiliki rentang (range) 13, dengan skor terendah 79 dan skor tertinggi 92. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 85,62; modus sebesar 82; median sebesar 85,33; varians sebesar 14,33; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 3,79. Kelompok A1B2 memiliki rentang (range) 17,33, dengan skor terendah 68 dan skor tertinggi 85,33. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 77,31; modus sebesar 78; median sebesar 77,67; varians sebesar 23,79; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 4,88. Kelompok A2B1 memiliki rentang (range) 22,67, dengan skor terendah 66,33 dan skor tertinggi 89. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 76,33; modus sebesar 69,67; median sebesar 76,00; varians sebesar 40,62; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6,37. Kelompok A2B2 memiliki rentang (range) 17,67, dengan skor terendah 64,67 dan skor tertinggi 82. Kemampuan menulis cerita pendek siswa pada kelompok ini mempunyai nilai rata-rata (mean) sebesar 74,58; modus sebesar 76,67; median sebesar 75,00; varians sebesar 21,77; dan simpangan baku (standar deviasi) sebesar 4,67.Uji persyaratan pada penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji homogenitas varians data. Uji normalitas penelitian ini meliputi delapan kelompok, yaitu: (1) A1; (2) A2; (3) B1; (4) B2; (5) A1B1; (6) A1B2; (7) A2B1; dan (8) A2B2. Hasil uji homogenitas menunjukkan semua kelompok berada pada kelompok-kelompok yang normal. Pada kelompok A1, A2, B1 dan B2 secara berturut-turut mendapati nilai L0 0,0652, 0,0897, 0,0749, dan 0,01121 berada di bawah nilai Lt sebesar 0,1610. Sementara itu pada kelompok A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2 secara berturut-turut mendapatkan hasil 0,0982, 0,1501, 0,1006, dan 0,1015 berada di bawah Lt sebesar 0,2200. Pada hasil uji homogenitas varians data juga mendapatkan hasil homogen pada setiap kelompok, yaitu: (1) A1: A2; (2) B1: B2; (3) A1B1: A1B2; (4) A1B1: A2B1; (5) A1B1: A2B2; (6) A1B2: A2B1; (7) A1B2: A2B2; dan (8) A2B1: A2B2 secara berturut-turut memiliki χ2hitung sebesar 0,18, 3,61, 0,89, 3,63, 0,60, 0,99, 0,03, dan 1,34 lebih kecil daripada χ2tabel sebesar 3, 84.Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis nol (H0) yang telah diajukan diterima, atau sebaliknya pada taraf kepercayaan tertentu hipotesis alternatif (H1) yang telah diajukan diterima. Pengujian hipotesis ini menggunakan teknik Analisis Varians Dua Jalur. Teknik analisis statistik tersebut digunakan untuk melihat perbedaan pengaruh baik karena adanya (1) perbedaan model pembelajaran yang berlainan (inquiry - two stay two stray), (2) perbedaan minat membaca (tinggi - rendah), maupun (3) interaksi antara model pembelajaran dan minat membaca. Berdasarkan analisis varians dua jalur diperoleh Fhitung dari sumber variansi antarkolom (A) sebesar 21,58. Sementara itu Ftabel dengan db pembilang 1 dan db penyebut 56 pada taraf α = 0,05 diketahui sebesar 4,01. Berdasarkan analisis varians dua jalur diperoleh Fhitung dari sumber variansi antarbaris (B) sebesar 15,13. Sementara itu Ftabel dengan db pembilang 1 dan db penyebut 56 pada taraf α = 0,05 diketahui sebesar 4,01. Berdasarkan analisis varians dua jalur diperoleh Fhitung dari sumber variansi interaksi (AxB) sebesar 6,42. Sementara itu Ftabel dengan db pembilang 1 dan db penyebut 56 pada taraf α = 0,05 diketahui sebesar 4,01.Interaksi yang ada pada model pembelajaran dan minat membaca terhadap kemampuan menulis cerita pendek akhirnya membuat penelitian ini diteruskan pada uji lanjut menggunakan uji Tuckey. Uji sel pertama, pada kelompok A1B1: A1B2. Hasil pengujian hipotesis ketiga untuk uji Tuckey diperoleh nilai Qh = 6,42 dan nilai Qt = 3,01 untuk taraf nyata α = 0,05 dengan n = 15. Uji sel kedua, pada kelompok A1B1:A2B1. Hasil pengujian hipotesis keempat untuk uji Tuckey diperoleh nilai Qh = 7,18 dan nilai Qt = 3,01 untuk taraf nyata α = 0,05 dengan n = 15. Uji sel ketiga, pada kelompok A1B1:A2B2. Hasil pengujian hipotesis kelima untuk uji Tuckey diperoleh nilai Qh = 8,53 dan nilai Qt = 3,01 untuk taraf nyata α = 0,05 dengan n = 15. Uji sel keempat, pada kelompok A1B2:A2B1. Hasil pengujian hipotesis keenam untuk uji Tuckey diperoleh nilai Qh = 0,76 dan nilai Qt = 3,01 untuk taraf nyata α = 0,05 dengan n = 15. Uji sel kelima, pada kelompok A1B2:A2B2. Hasil pengujian hipotesis ketujuh untuk uji Tuckey diperoleh nilai Qh = 2,11 dan nilai Qt = 3,01 untuk taraf nyata α = 0,05 dengan n = 15. Uji sel keenam, pada kelompok A2B1:A2B2. Hasil pengujian hipotesis kedelapan untuk uji Tuckey diperoleh nilai Qh = 1,36 dan nilai Qt = 3,01 untuk taraf nyata α = 0,05 dengan n = 15.4. PembahasanMelalui analisis deskripsi data yang diperoleh, nilai rata-rata kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning) berbeda dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning). Nilai rata-rata kemampuan menulis cerita pendek siswa yang meendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning) adalah sebesar 81,47 sedangkan dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning) adalah sebesar 75,46. Hasil perhitungan ini didukung oleh hasil analisis inferensial yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan menulis cerita pendek siswa yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning) dan kemampuan menulis cerita pendek yang mendapatkan pengajaran dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini model pembelajaran menemukan (inquiry learning) memberikan pengaruh yang lebih baik daripada model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning) terhadap kemampuan menulis cerita pendek siswa.Kelompok siswa yang dilihat dari sisi minat membaca tanpa membedakan model pembelajaran yang digunakan, dibedakan antara siswa yang memiliki minat membaca tinggi dan minat membaca rendah. Hasil dari analisis deskriptif mengindikasikan bahwa nilai rata-rata keterampilan menulis siswa yang memiliki minat membaca tinggi adalah sebesar 80,98 sedangkan nilai rata-rata kemampuan menulis cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca rendah adalah sebesar 75,94. Dilihat dari nilai rata-rata tersebut, nilai kemampuan menulis cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca tinggi lebih baik daripada nilai rata-rata siswa yang memiliki minat membaca rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa minat membaca mempengaruhi kemampuan menulis cerita pendek siswa.Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kellog (2008: 22) pada artikel berjudul “Training writing skills: A cognitive developmental perspective” dalam Journal of Writing Research mengemukakan bahwa kegiatan menulis merupakan proses berkelanjutan dari kemampuan berpikir yang akhirnya dituangkan dalam sebuah tulisan yang runtut dan sistematis. Bahan-bahan yang nantinya akan dituang menjadi sebuah karya tulis di dapat dari pengalaman empiris maupun dari bahan bacaan. Jadi, pada dasarnya keemampuan menulis merupakan sebuah proses menemukan atau mengumpulkan pengetahuan untuk kemudian diubah atau dirakit menjadi sebuah pemikiran. Hasil dari pemikiran tersebut yang akhirnya dituang ke dalam bentuk karya tulis.Penelitian Kellog tersebut menjelaskan bahwa proses berpikir yang sistematis dan analitis memang diperlukan dalam proses menulis. Hasil tulisan yang dibuat melalui proses berpikir yang sistematis dan analitis akan menghasilkan tulisan yang mampu diterima secara logika maupun keruntutannya agar tulisan tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Bahkan untuk karya tulis berbentuk fiksi saja, masih harus terdapat beberapa standar minimal yang menjadikan hasil tulis tersebut mampu diresapi dan dipahami oleh pembaca. Tulisan yang tidak memperhatikan persepsi dan pemahaman dari target pembaca hanya akan dipahami oleh beberapa pihak namun menimbulkan kebingungan bagi para pembaca yang lain. Hal tersebut harus diminimalisir dan penulis harus mentapkan tujuan sebelum memulai tulisan. Tujuan itu dapat berarti sasaran pembaca mana yang akan dituju agar mampu dirangkai dengan baik tulisan yang dibuat melalui proses berpikir penulis.Selain itu, Penelitian eksperimen juga dilakukan oleh Epting et al (2013:252) dengan judul “Read and think before you write: Prewriting time and level of print exposure as factors in writing and revision” dalam Journal of Writing Research. Penelitian tersebut melakukan uji pada dua kelompok siswa, siswa yang diberi waktu berpikir dan juga membaca buku cetak sebelum menulis untuk mendapat inspirasi mengenai hal yang akan ditulis. Waktu berpikir (prewriting time) diberikan pada dua kelompok siswa, kelopok pertama mendapat waktu 10 detik sedangkan kelompok kedua mendapat waktu 70 detik. Selain itu dibedakan pula siswa dari bahan bacaan yang pernah dibaca, ada siswa yang jarang membaca buku dan siswa yang sering membaca buku. Hasil penelitian tersebut mendapati bahwa siswa yang mendapat waktu 70 detik sebelum menulis mendapat nilai rata-rata lebih tinggi dari siswa yang hanya mendapat waktu 10 detik. Selain itu, waktu jeda yang digunakan serta kesalahan kata yang dibuat oleh siswa dengan waktu 70 detik sebelum menulis lebih sedikit daripada siswa dengan waktu 10 detik sebelum menulis. Hasil memuaskan pada penelitian tersebut juga didapat pada siswa yang memiliki intensitas membaca tinggi daripada siswa dengan intensitas membaca rendah.Hal tersebut turut memberikan bukti bahwa kegiatan berpikir sebelum menulis sangat diperlukan oleh siswa demi memaksimalkan ide menulis yang akan dituangkan. Namun begitu, ide menulis juga tidak serta-merta ada ketika seseorang melakukan kegiatan berpikir akan tetapi turut dipengaruhi oleh intensitas membaca. Intensitas membaca yang dimiliki siswa juga sangat berpengaruh dalam munculnya ide menulis ketika seseorang memutuskan untuk menulis. Siswa dengan intensitas membaca tinggi akan lebih mudah memunculkan ide, sistematika dan isi penulisan daripada siswa dengan intensitas membaca rendah. Maka dari itu, kemampuan berpikir dan intensitas membaca terbukti sangat bermanfaat untuk memaksimalkan hasil kegiatan menulis.Penelitian yang dilakukan oleh Abalhassan (2014: 103) dengan artikel berjudul “Students Common Writing Problem & Practices at King Abdul Aziz University: An Inquiry to Move a Writing Center From Conception Towards Conceptualization” ingin melihat kecenderungan masalah yang sering ditemui pada mahasiswa saat akan melakukan kegiatan menulis. Selain itu, penelitian tersebut ingin melihat apakah diperlukan sebuah lembaga penulisan (Writing Center) di sebuah universitas guna membantu mahasiswa dalam menemukan dan mengatasi masalah-masalah yang sering menghambat saat menulis. Hambatan-hambatan memang sering muncul pada calon penulis ketika akan melakukan sebuah kegiatan menulis seperti ide, kekurangpahaman siswa pada hal yang ingin ditulis, maupun maupun sistematika kepenulisan. Simpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa mahasiswa memang membutuhkan adanya lembaga penulisan. Lembaga penulisan akan membantu semaksimal mungkin masalah yang dihadapai mahasiswa dengan memberikan beberapa saran dan informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Hal ini juga diakibatkan oleh kesulitan yang kerap dihadapi mahasiswa dan akhirnya membuat mahasiswa terhambat menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan.Penelitian Abalhassan mengin-dikasikan perlunya siswa dalam bekerjasama untuk menyelesaikan tugas, khususnya pada tugas menulis. Tugas menulis memang cukup kompleks dan memerlukan siswa untuk bekerjasama dan saling membantu. Namun, terkadang hal tersebut juga disalahgunakan oleh siswa untuk bermalas-malasan karena menganggap ia telah mendapat bantuan. Akibat yang timbul akan cukup berbahaya bila siswa menjadi kurang termotivasi dan kurang berusaha memecahkan masalah yang ia miliki secara mandiri. Hal ini secara jangka panjang akan membuat siswa merasa terlalu bergantung pada orang lain dan kurang memaksimalkan potensi yang ia miliki. Penggunaan prinsip ini bukan tidak diperbolehkan. Akan tetapi. ada baiknya jika ingin menggunakan prinsip kooperatif atau bekerjasama, diperlukan kesadaran dari dalam diri siswa untuk turut memberikan sumbangsih pada hasil karya yang akan dibuat.Pada dasarnya, akan jauh lebih baik jika kemampuan menulis telah ditanamkan pada siswa sedini mungkin seperti yang ingin dilihat oleh Koster et al (2015: 267) pada hasil penelitiannya dengan judul “Teaching Children to Write: A Meta-analysis of Writing Intervention Research” dalam Journal of Writing Research. Penelitian tersebut melihat kurang suksesnya pengajaran menulis di Belanda, hanya beberapa sekolah saja yang dirasa mampu untuk melatih siswa-siswanya terampil menulis. Untuk itu, peneliti melakukan eksperimen untuk melihat hal-hal apa saja yang sekiranya menjadi tambahan pemacu nilai siswa dalam menulis. Hal-hal yang yang sekiranya dapat menjadi tambahan tersebut antara lain, pengajaran struktur teks, strategi menulis, penetapan tujuan, kosakata, bantuan sesama (peer assistance), aktifitas tambahan sebelum menulis, maupun bantuan saat proses menulis.Hasil penelitian menyatakan bahwa kegiatan sebelum menulis menempati urutan terbawah dalam penelitian dengan kisaran nilai 40, artinya hal tersebut tidak cukup membantu dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa. Kegiatan bantuan sesama berada pada posisi sedang dalam penelitian dengan kisaran nilai 70, artinya hal tersebut cukup membantu meningkatkan nilai menulis siswa. Sementara itu posisi tertinggi ditempati oleh kegiatan-kegiatan yang memacu pada prestasi siswa pribadi menggunakan pelatihan-pelatihan kepenulisan dengan kisaran nilai 90. Artinya, kemampuan menulis memang cukup baik bila dibantu oleh sesama, namun akan lebih baik jika keterampilan diri pada siswa yang lebih ditingkatkan.Penelitian oleh Mc Cutchen (2011: 58) yang berjudul “From novice to expert: Implication of language skills and writing relevant knowledge of writing skill” menjelaskan pentingnya kemampuan berbahasa dan pengetahuan tentang hal yang akan ditulis. Untuk memulai suatu tulisan, dua hal itu merupakan hal vital yang harus sangat diperhatikan. Kemampuan berbahasa yang cukup akan membuat tulisan mudah dimengerti dan dipahamai oleh pembaca. Pengetahuan mengenai hal yang ingin ditulis nantinya akan menjadi sumber inspirasi dalam penemuan ide. Selain itu, pengatahuan mengenai hal yang akan ditulis juga sebagai bahan dari tubuh tulisan yang ada. Bukan hanya sebagai sarana menemukan ide, namun juga menjadi rangkaian isi yang saling menjali di dalam sebuah tulisan.Tidak lupa juga Mc Cuthen menekankan pentingnya pengetahuan sampingan selain pengetahuan utama dalam menulis. Pengetahuan sampingan ialah pengetahuan yang juga berhubungan dengan tulisan. Hal ini sering dilupakan oleh banyak penulis muda yang sering membuat kesalahan dan melupakan detil-detil kecil. Detil-detil kecil ini sering muncul dari pengetahuan sampingan saat menulis dan dianggap tidak penting. Akibatnya, banyak hasil tulisan yang terkesan monoton dan tidak memiliki alur yang mengejutkan. Ini terjadi akibat terlalu sempitnya jalan cerita atau kompleksitas menulis yang diakibatkanoleh sempitnya wawasan penulis. Banyak dari penulis terkenal telah menyadari hal tersebut dan sejak lama sering membaca tentang hal lain yang jauh dari bidang yang ditekuninya. Penulis mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan kognitif yang nantinya dapat dirangkai menjadi sebuah jalinan tulisan.Dari beberapa pembahasan di atas, kita dapat menarik suatu garis besar bahwa kegiatan menulis memerlukan dua hal pokok. Pertama berkenaan dengan kemampuan berpikir kritis dan analisis, dan yang kedua berkaitan dengan kebiasaan membaca sebagai bagian dari proses pengumpulan ide untuk menulis. Hal itu menambah pemahaman kita bahwa kegiatan membaca memang sangat dibutuhkan dalam kegiatan menulis. Penelitian oleh Nasser (2013: 68) yang berjudul “A Literacy Exercise: An Extracurricular Reading Program as an Intervention to Enrich Student Reading Habits in Qatar” mengusahakan upaya-upaya dalam meningkatkan peningkatan kebiasaan membaca siswa. Peningkatan kebiasaan di sisi lain juga dimaksudkan meningkatkan minat, agar peningkatan kebiasaan selalu terjalin terus menerus tanpa ada paksaan untuk membaca. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan hasil yang memuaskan dalam meningkatkan kebiasaan membaca bagi siswa di Qatar.Peningkatan kebiasaan membaca dilakukan dengan memberikan beberapa program yang sekiranya dapat memacu kebiasaan membaca siswa. Program-program tersebut seperti ekstrakulikuler membaca, pekan membaca (reading week), dan sikap membaca (reading attitudes). Selain itu pelatihan juga diberikan pada guru guna memberikan pemahaman yang lebih mengenai pokok dan manfaat membaca. Untuk memunculkan sikap membaca secara luas pada suatu kelompok masyarakat, memang harus diberikan suatu program yang diupayakan dalam menggalakkan kegiatan tersebut. Upaya tersebut telah dilakukkan dengan baik oleh Nasser dalam hasil penelitian eksperimen yang ia lakukan. Nantinya, program-program tersebut harus dilaksanakan berkelanjutan agar dampak yang ditimbulkan semakin luas.Penelitian yang hampir serupa dengan penelitian oleh Nasser telah dilakukan Ransdell (2015: 33) dengan judul “Home Literacy, Summer School, and Kindergarten Readiness among Bilingual Preschoolers in Low-Income Families”. Isi penelitian tersebut mengamati bagaimana peran kegiatan membaca di rumah (home literacy), dan sekolah musim panas (summer school) dapat menjadi sarana menggiatkan minat membaca pada siswa dengan ekonomi rendah. Hasil penelitian menyatakan minat membaca siswa yang mengikuti sekolah musim panas lebih baik daripada siswa dengan kegiatan membaca di rumah. Hal tersebut terjadi karena sekolah musim panas yang biasanya dilakukan selama dua bulan, mampu memberikan pemahaman lebih kepada siswa dalam kegiatan membaca.Menanggapi hasil penelitian tersebut, bukan mengecilkan kegiatan membaca di rumah dalam meningkatkan minat membaca. Randsell mengatakan bahwa kegiatan membaca di rumah dapat semakin dimaksimalkan dengan menambah intensitas kegiatan membaca. Untuk keluarga dengan ekonomi rendah, terkadang memang cukup sulit untuk memasukkan anaknya di sekolah musim panas. Hal tersebut dapat disiasati dengan melakukan kegiatan membaca di rumah. Orang tua dapat menggunakan jasa perpustakaan umum sebagai upaya meningkatkan minat membaca anaknya. Randsel menekankan hal yang paling penting ialah dukungan penuh orang tua dalam peningkatan minat membaca anaknya dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan menggiatkan kegiatan membaca di rumah.Sward dan Nathanson (2011: 81) juga menyadari pentingnya kegiatan membaca bagi penulis dalam artikel penelitian berjudul “An Individualised Literacy Intervention for Low Progress Readers and Writers in the Foundation Phase” pada Journal for Language Learning. Penelitian ini berisi usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kebiasaan membaca pada siswa di negara Afrika Selatan dengan minat membaca rendah melalui perlakuan yang diberikan. Sementara pada siswa dengan kebiasaan membaca tinggi tidak diberi perlakuan. Tujuannya adalah untuk memacu siswa dengan kebiasaan membaca rendah sehingga mampu mencapai nilai rata-rata teman sekelas mereka menggunakan kebiasaan membaca. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kemampuan siswa memang cukup meningkat dalam perlakuan yang telah diberikan. Nilai yang diharapkan juga telah terpenuhi. Hanya saja, kelemahan terlihat pada guru yang kurang mengeksplorasi siswa dalam kegiatan membaca maupun menulis.Simpulan yang diberikan oleh Sward dan Nathanson memang cukup beralasan. Selain minat membaca siswa yang harus ditingkatkan, hal tersebut sangat memerlukan peran serta guru dalam memberikan pemahaman siswa pada pentingnya hasil yang akan dicapai dari kemampuan menulis dan kebiasaan membaca. Siswa nantinya akan terjun ke masyarakat menyadari pentingnya kemampuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan masalah yang ada. Apa yang dihadapi guru menjadi masalah baru ketika guru dituntut untuk pembelajaran di kelas yang berisi siswa melebih kapasitas maksimal yang ada. Hasilnya pembelajaran menjadi kurang maksimal dan menghambat proses pembelajaran yang diberikan.5. PenutupPertama, kemampuan menulis cerita pendek pada siswa yang mendapatkan pengajaran melalui pendekatan kontekstual dengan model pembelajaran menemukan (inquiry learning) lebih baik daripada menggunakan pendekatan kooperatif dengan model pembelajaran dua tinggal dua tamu (two stay two stray learning). Artinya, model pembelajaran memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan menulis cerita pendek siswa. Hal ini terbukti dari uji hipotesis dengan menggunakan analisis varians dua jalur.Kedua, kemampuan menulis cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca tinggi lebih baik daripada kemampuan menulis cerita pendek siswa yang memiliki minat membaca rendah. Artinya, minat membaca memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan menulis cerita pendek siswa. Hal ini terbukti dari uji hipotesis dengan menggunakan analisis varians dua jalur.Ketiga, terdapat interaksi antara model pembelajaran menemukan (inquiry learning) dan minat membaca terhadap kemampuan menulis cerita pendek siswa. Berdasarkan simpulan di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model pembelajaran dan minat membaca berpengaruh terhadap kemampuan menulis cerita pendek siswa.Daftar RujukanAbalhassan, Khalid M. 2014. Students Common Writing Problems & Practices at King Abdulaziz University: An Inquiry to Move a Writing Center From Conception Towards Conceptualization. Stud. in Literature & Language. Vol. 9 (3) pp. 94-107.Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.Brown, H.D. 2004. Language Assessment: Principle and Classroom Practices. New York: Longman Pearson Education Inc.Dalman. 2015. Penulisan Populer. Jakarta: Rajawali Pers.Epting, Kimberly. et al. 2013. Read and think before you write: Prewriting time and level of print exposure as factors in writing. Journal of Writing Research. Vol. 4 (3). pp. 239-259.Jahja, Yudrik. 2013. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.Karabutova, E. 2015. Teaching Communicative Competence Based on the Schematic Structure of Stories (Story Grammar). International Journal of Science and Research. Vol. 4 (3). pp. 1659-1663.Kellog, Ronald T. 2008. Teaching children to write: A meta-analysis of writing intervention research. Journal of Writing Research. Vol. 7 (2). pp. 249-274.Koster, Monica. et al. 2008. Training Writing Skills: A Cognitive Developmental Perspective. Journal of Writing Research. Vol. 1 (1). pp. 1-26.Kusmana, Suherli. 2014. Kreativitas Menulis. Yogyakarta: Ombak.Mc Cutchen, Deborah. 2011. From Novice to Expert: Implication of Language Skills and Writing-Relevant Knowledge for Memory During of Writing Skills. Journal of Writing Research. Vol. 3 (1). pp. 51-68.Nasser, Ramzi. 2013. Teaching A Literacy Exercise: An Extracurricular Reading Program as an Intervention to Enrich Student Reading Habits in Qatar. International Journal of Education & Literacy Studies. Vol.1 (1). pp. 61-71.Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.Ransdell, Sarah. 2015. Home Literacy, Summer School, and Kindergarten Readiness among Bilingual Preschoolers in Low-Income Families. International Journal of Education and Social Science. Vol. 2 (5). pp. 31-37.Riyanto, H. Y. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran; Sebuah Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Siddik, Mohammad & Musaba, Zulkifli. 2017. Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.Suryani, Nunuk., dan Agung, Leo S. 2012. Strategi Belajar Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak.Sward, M. & Nathanson, R. 2011. An Individualised Literacy Intervention for Low Progress Readers and Writers In The Foundation Phase. Per Linguam. Vol. 27 (2). pp. 67-86.Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.Taniredja, Turkin & Mustafidah, Hidayati. 2012. Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta.Zainurrahman. 2013. Menulis: Dari Teori Hingga Praktik. Bandung: Alfabeta.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lengkap benar pak. 10 Metode bisa jadi buku nih Pak Amin. Salam kenal

18 Jun
Balas



search

New Post