Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
ALL FOR ONE, ONE FOR ALL

ALL FOR ONE, ONE FOR ALL

Minggu sore yang ceria. Seceria wajah Riza tentunya. Disandarkanya punggungnya di sofa ruang tamu rumahnya. Disilangkannya kakinya ke atas meja. Senyum-senyum sendiri. Sekonyong-konyong matanya berkaca-kaca. Sedikit terisak. Bukan menangis sedih. Tapi menangis bahagia.

Dipandanginya sebuah piala yang tergeletak di meja tempatnya menyilangkan kaki. Sebuah piala yang cukup besar dan tertulis di keterangannya: JUARA II FESTIVAL BAND CASPERDAY. Sebuah piala yang amat berharga. Bukan hanya berharga karena raihan grup band-nya yang telah berhasil memenangkan lomba juara kedua. Tapi lebih dari itu. Ada sebuah makna perjuangan yang terkandung di dalamnya. Sebuah proses perjuangan yang cukup keras melawan segala rintangan yang ada.

Sekonyong-konyong diambilnya hape. Dibukanya galeri foto. Dilihatnya lekat-lekat sebuah foto. Sebuah foto yang bergambar enam orang remaja SMP. Enam orang sahabat yang membentuk grup band bernama X-ONE. Dengan personilnya adalah Riza Ananta, Satria Wibowo, Sendy Saeful, Alya Huwaida, Eliel Sihombing, dan Rully Zaidan.

Mereka menamai grup band-nya X-ONE sebenarnya bukanlah penamaan yang asal-asalan. Ini adalah sebuah nama yang kaya filosofis. Huruf X mereka artikan sebuah hal yang berbeda-beda. Sementara ONE dimaknai sebuah hal yang satu, atau satu kesatuan. Maka X-ONE secara tersirat dimaknai dengan berbeda-beda tetapi tetap satu. Atau bhinneka tunggal ika!

*****

Dua hari yang lalu….

Lima remaja SMP tampak terlihat duduk-duduk di teras luar mesjid sekolahnya. Mereka duduk termenung. Terlihat wajah anak-anak ini tampak muram. Rupa-rupanya mereka sedang mempunyai masalah serius.

“Ah…kacau ini…kacau …bisa-bisa kita tak jadi ikut lomba, padahal ini tinggal dua hari lagi,” keluh Riza membuka obrolan.

“Ya beginilah si Abim, sok-sok-an dia. Merasa paling jago. Ini grup band. Tak bisa dia maksakan sekehendaknya. Harus mufakat semua anggota kan?” Rully menimpali keluhan Riza.

“Benerrr…kacaulah jadinya. Kita tak bisa terus kalau gini. Si Abim keluar. Lhaa…siapa sekarang yang pegang drum? Masa kita ngeband tanpa drum?” seru Sendy.

“Mana waktu sudah mepet ini, tinggal dua hari lagi kita, sudahlah bubar saja ini band,” kata Satria yang merasa pesimis.

“Eh jangan menyerah, jangan putus asa. Inilah namanya perjuangan. Ayo bangkit. Kita cari saja drumer baru,” seru Huwaida menengahi. Huwaida adalah satu-satunya perempuan yang ada di grup band ini. Dia berdua dengan Rully menjadi vokalis di grup ini.

“Iya, tapi dengan waktu semepet ini, mana bisaaaa…susah lho nyari drumer itu,” seru Satria yang lagi-lagi merasa pesimis.

Semua anak terdiam. Mereka kembali merengut. Tampak wajah kelima anak remaja itu makin muram. Huwaida menyandarkan punggungnya ke dinding mesjid. Riza terlihat rebahan di teras mesjid sambil pandangannya menerawang kosong ke langit-langit teras mesjid. Sementara tiga orang lainnya hanya duduk berselonjor.

Hari makin bergerak sore. Suasana sedikit bising. Suara kendaraan menderu di jalan depan sekolah. Pantas saja jalanan ramai karena sekarang adalah waktunya bubaran kantor. Suara klakson yang bersahutan makin menambah bisingnya hari yang menjelang sore. Di lapangan basket terlihat beberapa anak sedang berlatih paskibra. Sementara di koridor depan kantor guru, terlihat serombongan anak sedang berlatih tari.

Sementara di teras mesjid, lima orang remaja masih duduk termenung. Empat orang duduk bersandar di dinding dan satu orang rebahan di lantai teras. Sekonyong-konyong mereka dikagetkan oleh bunyi bedug masjid yang dipukul orang. Dung…dung…dung...dung. Suara pukulan bedug yang enak didengar. Hentakan pukulannya walaupun kencang namun dinamika ketukannya teratur. Tidak loncat-loncat. Khas pukulan seorang drumer!

“Eh…itu dengar suara bedug!” seru Riza.

“Ya iyalah itu bedug, kan sudah waktunya asar,” jawab Satria.

“Eh, ya jelaslah itu. Tapi bukan itu maksudku. Coba kalian dengar baik-baik pukulannya?” kata Riza lagi.

Kelima anak itu pun tampak serius mendengarkan suara bedug. Beberapa diantaranya terlihat melongo. Tercengang.

“Pukulan drumerrrrr!” teriak Rully.

“Wahhhh iya uyyy!” teriak Sendy menimpali.

“Nah, kayaknya ini sudah takdir Tuhan. Dia menjawab keluh kesah kita. Dia sediakan drumernya di sini…he…he…,” kata Huwaida.

Maka selanjutnya mereka pun bergegas berjalan ke samping masjid. Dilihatnya seorang anak yang tadi memukul bedug sudah berlalu kembali ke barisan latihan paskibra di lapangan basket.

“Eh itu si drumer, eh lupa, si tukang bedug, kok langsung balik lagi ke lapangan? Gak salat dia?” tanya Riza heran.

“Eh itu kan si Eliel!” seru Satria dengan wajah penuh keheranan.

“Memang kenapa?” tanya Riza.

“Anu…anu…dia kan Eliel Sihombing,” jelas Satria agak ragu.

“Lalu?” desak Riza penasaran.

“Iya, dia orang Batak,” jelas Satria.

“Hahh?! Dia pukul bedug??” tanya Rully keheranan.

“Mungkin dia disuruh orang lain,” jawab Huwaida,” sudahlah gak penting, yang penting itu bisakah dia jadi penggebuk drum kita.”

“Kayaknya aku kurang setuju,” kata Satria.

“Kenapa? Karena dia Batak?” sergah Riza agak keras.

“Hhmm…tak begitu…maksudku…gini…anu…,” Satria tergugup.

“Eh kamu intoleran tuh Sat, gak boleh gitu dong,” kata Riza agak tegas, “kamu tahu Sat? Lha kamu juga kan orang Jawa, bapakmu orang Gombong. Apa aku mempermasalahkan asal daerahmu? Tidak kan?! Kita Indonesia! Nenek moyang kita sudah toleran sejak zaman dulu. Masak di alam modern gini masih saja ada intoleran. Gak penting deh kita memperkarakan segala perbedaan. Kita satu, tak boleh ada kenal kata perbedaan.”

Satria pun terdiam. Wajahnya tertunduk. Sepertinya ucapan Riza sangat menyentuh hatinya yang paling dalam. Satria merasa malu, merasa bersalah.

“Maafkan aku teman-teman. Aku ngaku salah,” kata Satria sambil menunduk.

“Ah, sudahlah, aku tahu kok kamu tak terlalu serius juga ucapanmu tadi. Jangan nangis! Kamu lebayyy!” jawab Riza berkelakar. Ditepuknya pelan jidat Satria. Mereka pun tertawa-tawa.

*****

Keesokan harinya, di sekolah saat jam istirahat tiba. Kelima remaja itu pun tampak menyambangi kelas 8 D. Kelas di mana Eliel Sihombing ada di situ. Setelah tanya-tanya ke teman-temannya, ternyata Eliel sedang ada di kantin sekolah. Mereka berlima pun bergegas menuju kantin sekolah. Setibanya di kantin sekolah, tampak Eliel duduk di kursi panjang kantin sekolah.

“Hei, kamu Eliel kan?” tanya Riza.

“Iya, ada apa ya?” jawab Eliel.

“Ini si Huway mau ngomong penting,” kata Sendy, ”ayo ngomong Huway.”

“Ok, gini El…aku ngelamar kamu,” seru Huwaida santai.

“Hahhh??!!” seru Eliel kaget. Jangankan Eliel, keempat lelaki di samping Huwaida pun terkaget-kaget. Apalagi Rully hampir melompat dari tempat duduknya. Jelas saja Rully yang paling kaget. Orang sekolahan bilang Rully ada hati pada Huwaida itu.

“Eh kamu gak salah kan Huway?” tanya Rully heran.

“Jangan ge’er … maksudku band kita ngelamar kamu jadi drumer,” jelas Huwaida.

“Maukan ya El?” tanya Riza.

“Nanti dulu…kalian tak tanya dulu bisa nggak aku main drum?” tanya Eliel.

“Sudah tahu kok, kemarin kamu kan mukul bedug masjid. Pukulanmu itu pasti pukulan orang yang sering main drum,” jelas Riza.

“Gimana ya, boleh aku pikir-pikir dulu?” jawab Eliel ragu-ragu.

“Udah jangan jual mahalll, kayak drumer sudah prof aja lu, pokoknya nanti siang jam 2, kamu ditunggu di Studio 24, kita latihan! Karena besok lombanya,” seru Huwaida.

“Hah?? Gak salah!? Besok lombanya?” tanya Eliel kaget.

“Iyaaaaa…,” seru kelima anak remaja itu berbarengan.

…………………………………………….

*****

Minggu pagi pun telah menjelang. Hari di mana lomba akan dilaksanakan. Tatkala pukul tujuh pagi, suasana jalan raya tampak ramai dengan orang lalu lalang. Acara rutin car free day membuat suasana jalan raya penuh sesak dengan orang-orang yang berjalan kaki. Maka di rest area dekat lampu merah tampak lima anak remaja telah berkumpul. Huwaida, Riza, Rully, Sendy, dan Elliel. Tapi tak ada Satria di situ! Kemanakah Satria?

“Payah nih, payahh, sudahlah, payah tuh si Satria…kacau, gimana ini, lomba sebentar lagi, dia belum datang,” kata Riza penuh emosi.

“Iya nih, ditelpon juga tak jawab, w.a. pun masih ceklis” jelas Sendy.

“Sabar, mungkin dia sedang jalan ke sini,” kata Huwaida menengahi.

Tiga puluh menit berlalu, namun tak ada tanda-tanda Satria akan datang. Sampai menjelang 20 menit lagi waktu lomba, tetap tak ada nampak Satria akan datang.

“Sudahlah, kalau gitu kita berangkat saja ke lokasi lomba, urusan dia tak datang, baiklah kita ambil mufakat, bagusnya bagaimana?” tanya Huwaida.

“Terpaksa kita berangkat tanpa Satria,” jawab Riza.

“Aku gak enak uyy…kayaknya ini gara-gara aku, aku gak enak hati sama Satria, karena aku berbeda dengan kalian,” kata Eliel.

“Sudahlah jangan berprasangka begitu, kamu dan lainnya tak ada beda, kita Indonesia,” sergah Riza, “berbeda-beda tapi tetap satu, maka jadikan perbedaan ini menjadi alat mempererat kebhinnekaan. Aku dan Huwaida orang Sunda, Eliel orang Batak, Rully masih keturunan NTT, Sendy ada darah Balinya. Maka kita pinjam filosofinya pejuang legenda Perancis, Three Musketeer: ALL FOR ONE, ONE FOR ALL!”

Maka kelima remaja itu pun saling berpegangan tangan sambil mengucapkan “all for one, one for all” secara serempak.

Namun sekonyong-konyong….

“Stoopppppp…kurang satuuu…guaaa orang Jawa mau gabung,” teriak Satria yang baru saja tiba. Dia datang sambil terengah-engah.

“Satriaaaaaa…mantullll…mantap betul, kamu akhirnya datang,” seru Sendy.

“Ayo kita ulang, yuk pegangan tangan berenam,” seru Riza.

“ALL FOR ONE, ONE FOR ALL!!!” teriak keenam remaja itu sambil berpegangan tangan.

Dan setelahnya, maka segeralah mereka bergegas berangkat menuju tempat lomba.

Sepuluh menit perjalanan. Tibalah mereka di lokasi lomba. Panggung besar sudah ada di hadapan mereka. Hampir terlambat. Saat tiba pembawa acara sudah memanggil nama band mereka untuk segera tampil.

“Ini band The Black?” tanya salah seorang panitia.

“Betul Pak,” jawab Huwaida.

“Pak, usul boleh?” tanya Riza.

“Apa?” tanya orang yang tadi.

“Ganti nama Pak, jangan The Black, tapi ganti namanya menjadi X-ONE,” jelas Riza.

“Apa itu artinya X-ONE? Kayak merk vitamin C he..he..he…,” tanya orang tadi penuh keheranan.

“X itu anggap saja melambangkan arti berbeda-beda, dan ONE artinya satu, jadi kami berbeda-beda tapi tetap satu,” jelas Riza.

“Ok deh…ayo grup X-ONE segera naik ke atas pentas… mainkannnn!” teriak orang itu.

Maka selanjutnya band X-ONE pun tampil. Drum Eliel menghentak kencang, suara lead gitar Riza meliuk berdistorsi, gitar bassnya Sendy yang berdinamika, dan petikan gitar rhytem miliknya Satria yang rapi berharmoni. Sementara dua vokalisnya, Huwaida dan Rully, menyanyikan lagu berirama cepat dan bergenre punk rock. Maka lagu Sunset di Tanah Anarki pun mengalun dengan manisnya. Penonton bersorak sorai, tepuk tangan membahana. Beberapa penonton berjingkrak-jingkrak depan panggung. Sungguh mengagumkan. Band remaja yang berisikan anak-anak dari multisuku bersatu padu mengikis segala perbedaan.

Maka di ujung lomba, sudah dapat diduga. Panitia lomba mengganjar mereka dengan piala pemenang. Juara kedua.

Sebuah kebanggaan luar biasa. Walaupun juara kedua, mereka menganggap bahwa perjuangan sejati mereka dalam menciptakan nilai-nilai kebhinekaan dan persatuan melebihi piala juara kedua tersebut. Baginya, mereka telah memenangkan juara kesatu bagi nilai-nilai persahabatan. Semua untuk satu, satu untuk semua. ALL FOR ONE, ONE FOR ALL.

.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah cerpennya luar biasa, saya teringat film layar lebar tentang grup band You Wish Band. Kebinekaan bisa dibangun dengan banyak cara itulah Indonesia. Cerpen yang sangat nasionalisme. Sehat, bahagia, dan sukses selalu. Barakallah

31 Mar
Balas

Sip... Terima kasih

01 Apr



search

New Post