Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
ANTRIAN KE-19

ANTRIAN KE-19

Hari ini cuaca benar-benar panas. Ruangan dingin ber-AC pun tak kuat benar menahan hawa panasnya cuaca. Bisa jadi selain memang cuaca sedang panas-panasnya, juga diperparah dengan tutup buka pintu masuk yang tiada henti sejak dari pagi. Akibat seringnya tutup buka pintu tersebut maka AC tidak cukup sempurna mempertahankan kinerja mesinnya dalam mempertahankan suhu dinginnya.

Hari ini aku seperti biasa melayani orang-orang yang hendak menggadaikan barangnya. Sudah delapan tahun aku menjadi juru taksir kantor pegadaian ini. Sudah delapan tahun ini pula aku berhadapan dengan berbagai orang dengan tingkat status sosial yang berbeda-beda. Senyum, tawa, tangis, dan haru sering terpancar dari wajah-wajah orang yang datang. Tidak hanya terpancar dari wajah mereka sebenarnya, tetapi senyum, sedih, dan haru juga sering terpancar dari wajahku.

Objektifitas dalam menaksir barang harus tetap kujunjung tinggi. Menghindari unsur-unsur perasaan kasihan, sentimentil, pilih kasih, dan banyak lagi perasaan-perasaan subjektifitas lainnya adalah hal yang sangat penting. Apa jadinya jika taksiran barang tidak sesuai dengan nilai barang. Lebih rendah akan merugikan nasabah. Terlalu tinggi juga akan merugikan perusahaan manakala nasabah tak sanggup membayar, dan barang gadaian menjadi milik perusahaan untuk dilelang. Perusahaan akan merugi seandainya ternyata barang terlelang dengan harga yang lebih rendah dari taksiran tadi. Raja tega, itulah mungkin julukanku. Walaupun pula sebenarnya hatiku menangis teriris setiap waktu. Selain raja tega orang-orang pun memberi julukanku bujang tua, karena sudah usia 35 tahunan aku belum menikah juga.

“Antrian ke-16, mangga silakan.” Seperti biasa suaraku tegas dan lantang memanggil daftar antrian. Kulihat seorang ibu paruh baya bergegas maju.

“Saya Pak, antrian ke-16.”

“Mau menggadaikan apa Bu.”

“Emas Pak. 10 gram. Tapi saya perlu gadaiannya hanya dua juta saja.”

“Oh iya. Sebentar ya Bu, saya cek dulu barangnya.”

Setelah transaksi selesai terlihat si ibu paruh baya tersenyum, dan bergegas keluar ruangan. Rupa-rupanya uang dua juta sudah diperolehnya.

“Antrian ke-17, mangga silakan.”

Di barisan duduk paling belakang, berdiri seorang ibu muda, rupanya inilah sang antrian ke-17. Dandanannya medok. Menor. Riasan wajahnya sungguh amat mencolok. Alisnya tebal oleh pensil. Matanya tampak kebiru-biruan, rupa-rupanya si ibu muda memakai soft lens. Bibirnya sangat merah menyala karena goresan lipstiknya yang super tebal. Tangannya baik kiri dan kanan penuh dengan gelang emas.

“Maaf dengan Mbak siapa? Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau menggadaikan lima gelangku.” Diambilnya lima gelang dari tangan kirinya.

“Baiklah, tunggu sebentar, saya akan ngecek dulu gelangnya.”

…………………………………………………………………………

“Mohon maaf ya Mbak. Mohonnnnn maaf. Punten pisan. Ini bukan emas.”

“Jaelaniiiiiii!….ini pasti perbuatan si Jaelani jahanam itu!”

Si Ibu muda pun ngeloyor pergi sambil bersungut-sungut menyebut-nyebut nama Jaelani. Aku pun hanya bisa melongo. Dalam hati aku mengira-ngira, kalau Jaelani itu mungkin suaminya. Mungkin pula anak lelakinya. Mungkin pula pacarnya. Mungkin pula si ini atau si itu. Ah, kenapa pula aku harus repot-repot mikirkan orang lain.

“Antrian ke-18!”

Kulihat seorang ibu dituntun anak perempuan tujuh tahunan berjalan ke arahku. Pakaiannya teramat sederhana. Membawa sebuah dus kecil.

“Ada yang bisa dibantu Bu.”

“Pak saya mau gadai ini.” Dia membuka kotak dus kecil, dikeluarkannya sebuah HP merk Mito.

“Nanti saya cek dulu ya Bu.”

Seperti biasa kuperiksa segala kelengkapan HP termasuk masih jalan tidaknya HP tersebut.

“Maaf Bu. Ini tidak bisa digadaikan. HP ibu sudah rusak.”

Si ibu terlihat menghela nafas dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca.

“Anu Pak. Gak bisa digadai ya. Saya perlu uang. Buat bekal jajan anak saya ikut wisata sekolah.”

“Belum bisa Bu. HP nya gak hidup.”

“Berapa aja Pak. Asal bisa buat jajan anak saya. Tolonglah”

“Tapi belum bisa Bu. Mungkin Ibu harus cari barang lain lagi jangan HP yang itu.”

“Oh, iya. Makasih Pak. Saya mohon pamit.”

Si ibu melangkah gontai keluar ruangan sambil dituntun anaknya. Aku menarik nafas pelan, sudah banyak sekali orang-orang yang memang sangat patut dikasihani. Sayang, objektifitas pekerjaanku mengalahkan sisi-sisi subjektifitas perasaanku. Apa daya memang pekerjaanku seperti ini adanya.

Namun walau begitu sisi naluri kemanusiaanku kadang timbul mengalahkan sisi objektifitas aturan pekerjaanku itu. Hingga dalam sebuah kesempatan segera kukejar si ibu yang dituntun anaknya itu.

“Bu, maaf ini ada uang dari saya untuk bekal jajan anaknya Ibu.”

“Tapi Pak, saya bukan peminta-minta.”

“Nggak Bu. Saya nggak menganggap Ibu peminta-minta. Ini keikhlasan saya buat anak Ibu.”

“Makasih banyak Pak. Sekali lagi terima kasih.” Si ibu memegang genggaman tanganku erat-erat.

***

“Maaf Pak, giliran saya. Saya antrian ke-19.” Seorang perempuan 35 tahunan membuyarkan lamunanku.

“Oh, iya. Bu, gimana ada yang perlu saya bantu.”

Mataku terpana, sedikit kaget, karena barusan saja lamunanku pada si ibu yang barusan pergi dan tiba-tiba saja seorang perempuan datang membuyarkan lamunanku.

Sang perempuan dengan tatapannya yang teduh. Berkerudung sederhana. Kulitnya tidak putih, namun tidak termasuk hitam. Kulitnya manis sawo matang. Ada tahi lalat kecil di atas sudut kanan bibirnya. Aneh, aku tiba-tiba teringat pada Nunik. Bukankah perempuan ini mirip dengan Nunik! Teramat mirip. Tapi apakah ini dia?

Nunik, nama ini masih melekat kuat dalam ingatanku. Belasan tahun lalu, saat kami masih bersama-sama kuliah di kampus yang sama dan jurusan yang sama. Hanya kami beda kelas. Aku kelas A dan dia kelas B. Cerita inilah yang sebenarnya bermula.

Nunik adalah gadis pendiam di kampusku. Berambut pendek di atas bahu. Jarang tersenyum. Namun sekali tersenyum, maka senyumnya mengagumkan. Karena jarangnya tersenyum itu, maka senyumnya itu amat dirindukan.

Entahlah bagaimana kisah kami dimulai. Yang pasti aku yang beda kelas menjadi tertarik dengan sifat pendiamnya itu. Sayang, rupa-rupanya sang gadis sudah ada yang punya. Pemuda tetangga desanya yang konon kerja di Jakarta. Aku? Peduli amat. Jiwa urakanku mengatakan jikalau seorang gadis masih belum ada surat nikahnya, maka masih milik umum. Masih bisa diperjuangkan.

Diperjelas lagi ada bisik-bisik dari teman sekelasnya bahwa sebenarnya dia tak mencintai kekasihnya itu. Entahlah apa dan bagaimana sampai dia tak mencintai kekasihnya itu. Makin jelaslah menurutku statusnya: masih milik bersama. Maka mulai saat itu pendekatan demi pendekatan mulai aku lakukan. Alkisah sebulan setelahnya, aku pun berhasil menjadi kekasihnya.

Dua bulan, tiga bulan, sampai satu tahun berlalu, kami menjadi sepasang kekasih. Terhitung dari mulai tingkat dua sampai dengan tingkat tiga kami berpacaran. Namun walaupun begitu, kami hanya menjalin hubungan di kampus saja. Tak pernah sedikit pun aku berkunjung ke rumahnya. Sang gadis melarang aku berkunjung. Aku mafhum benar, bukankah statusnya sebenarnya adalah kekasih orang lain.

Hingga akhirnya di tahun ke dua setelah kami naik ke tingkat tiga, Nunik tidak masuk lagi kuliah. Kudatangi rumahnya di kampung itu. Sayang, sejak itu kisah kami selesai, karena ternyata saat aku berkunjung ke rumahnya, langkahku hanya sampai pertigaan jalan saja. Karena kulihat ada tiang janur kuning melengkung di pertigaan jalan menuju rumahnya itu, dengan tulisan di kertas menggantung di ujungnya: NUNIK DAN DUDUNG.

***

“Maaf Pak..Pak..mmmm..!?” sang perempuan yang mirip Nunik mengagetkanku.

“Oh maaf Mbak ehh... ehh anu…Bu.”

“Maaf Pak, saya mengagetkan Bapak.”

“Oh iya…ada yang bisa saya bantu Mbak…maaf sama Mbak siapa ini?”

“Saya Nunik Pak.”

Ollalaahhh Tuhanku, ternyata betul dugaanku. Ini Nunik yang dulu itu. Agak pangling karena sekarang berkerudung. Tapi tetap saja senyumnya tak berubah. Senyum yang jarang dan amat ditunggu. Senyum yang mengagumkan. Apakah dia tak mengenalku. Pura-pura tak kenal ataukah memang sudah lupa, karena tubuhku yang dulu kurus sekarang tampak berisi.

“Maaf Pak Yudi. Saya mau gadai emas.”

“Oh, iya.”

Dia menyebut namaku! Dia masih mengenalku! Tapi ah lupa aku, bukankan semua orang yang ada di sini pasti mengenalku karena ada papan nama di mejaku ini.

“Pak Yudi lupa ya sama saya.”

Slebbb! Serasa menohok dan menusuk jantungku saat keluar kalimat: “Pak Yudi lupa ya sama saya”. Tak salah lagi ini NUNIK! Kutarik nafas dalam-dalam. Kukumpulkan konsentrasiku, kutahan tarikan nafas pelan-pelan supaya wajahku tidak menjadi memerah.

“Betullah dugaanku kau Nunik. Aduh gimana kabarnya Nik? Lama tak bertemu.” Walau ditahan-tahan tetap saja akhirnya wajahku memerah. Gugup.

“Anu Pak…ehh….”

“Panggil saja aku Yudi. Seperti dahulu kau memanggilku.”

“Aduh tapi malu saya. Nggak pakai Pak. Kamu sudah jadi orang.”

“Ah sudahlah. Kau panggil aku Yudi, atau aku tak akan melayani gadaimu.”

……………………………………………….

Layaknya orang-orang lain pada umumnya, sepasang kekasih yang tercerai-berai dan bertemu kembali tentulah ada kekakuan yang dirasakan. Begitupun dengan kami, gugup dan kaku.

“Oh, ya. Emasmu sepuluh gram dengan kadar 23 karat, kuhargai tiga juta rupiah. Bagaimana?”

“Oh, iya Yud, tak apa. Aku ambil tiga juta itu.”

Selanjutnya kutuliskan surat-surat administrasi gadainya. Sambil sesekali kucuri pandang ke wajahnya. Ah masih tetap manis kamu Nik. Sekonyong-konyong kuarahkan pandanganku kembali ke catatanku, rupa-rupanya dia tahu kalau aku mencuri pandang ke arahnya.

“Anakmu berapa Nik?”tanyaku sambil tetap melanjutkan tulisanku.

“Aku belum punya anak Yud.”

Kuletakkan pulpenku, lalu kulepas kacamata minusku.

“Oh belum punya? Mana suamimu? Sekarang diantar suami? Siapa itu, Dudung kan namanya?”

“Nggg…anu..anu…aku sudah lama… bercerai.” Nunik berkata pelan setengah berbisik sambil menunduk. Wajahnya memerah.

***

Menjelang tutup kantor, nasabah sudah tidak ada lagi tampak di ruangan. Ruangan ber-AC yang semula terasa agak panas berangsur-angsur terasa sejuk. Di luar gedung, rintik-rintik hujan tiba-tiba saja berjatuhan. Makin lama rintik hujan makin banyak. Dan Hujan pun turun dengan derasnya. Sementara di pelataran luar gedung pegadaian seorang laki-laki dan perempuan sedang asyik bercakap-cakap. Sesekali sang perempuan tampak tersenyum mengagumkan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post