Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
PIPINYA KEMERAH-MERAHAN

PIPINYA KEMERAH-MERAHAN

Akhirnya Pak Kosim pun bertemu kembali dengan Amelia. Setelah hampir tiga tahun tak ada kabar berita. Ya, akhirnya gadis itu bertemu kembali dengannya. Setelah tanpa sengaja bertemu di depan rumah. Saat itu Amelia sedang jalan-jalan pagi.

****

Tiga tahun lalu, Amelia adalah siswi kelas 9 di SMP dimana Pak Kosim mengajar. Gadis berkerudung dan berkacamata. Kulitnya putih, tingginya cukup. Nama panggilannya Amel. Anaknya cantik, manis, sopan, dan pipinya kemerah-merahan bila tersenyum malu. Bukan anak orang berada, kata orang-orang ia hanya tinggal dengan ibunya yang sudah menjanda.

Dulu waktu masih di SMP Amelia sering diguyon oleh Pak Kosim, dia bilang: "Amel, kamu jadi mantu Bapak ya, buat si Ivan, anak Bapak yang gede. Masih SMP juga sebaya denganmu." Anak gadis itu tersipu. Menunduk malu. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Mungkin juga dia bangga mau dijadikan menantu gurunya. Sejak saat itu, setiap waktu kalau gadis itu ke kantor guru, pasti saja digoda seperti itu. Tidak hanya Pak Kosim. Rekan-rekan guru yang lain pun kalau menyapa Amelia pasti menggodanya pula, bahwa dia mau dijadikan menantu Pak Kosim. Lucu, kalau sudah seperti itu pasti pipinya memerah sambil tersipu malu.

Berbulan-bulan seperti itu. Sang gadis merasa sudah dekat dengan sang calon mertua. Unik. Padahal dia sampai detik itu belum pernah bertemu dengan anak Pak Kosim. Tapi karena sering dicandai oleh orang-orang sekolah bahwa dia bakal menantunya, akhirnya menjadi seperti itulah. Secara batin Pak Kosim seperti menganggap Amelia seperti orang yang sudah sangat dekat.

Adapun anaknya Pak Kosim, Ivan, awalnya tidak tahu pembicaraan tentang Amelia itu. Barulah saat ibunya berkelakar dan menyebut-nyebut tentang Amelia, maka cerita tentang apa dan siapa Amelia pun mengalir begitu saja. Ivan hanya diam saja. Tanpa reaksi. Memang anak lelaki yang satu ini tipe pendiam. Beda dengan adiknya yang selalu aktif dan suka ngobrol. Kalau anak Pak Kosim yang gede itu memang amat tertutup, dia hanya ngobrol seperlunya saja. Saat diadu-adukan dengan Amelia itu, dia hanya tertawa saja. Tanpa ada reaksi atau berusaha untuk bertanya lebih jauh.

Hingga akhirnya di suatu pagi, di hari Minggu. Saat ada acara latihan drama di rumah Pak Kosim. Latihan drama dalam rangka persiapan acara perpisahan kelas 9. Anak perempuan itu, Amelia, datang ke rumah dengan teman-temannya yang lain. Membawa buah tangan, khas di desa. Dia membawa reginang. Teringatlah Pak Kosim dulu saat pacaran dengan istrinya. Kalau dia main ke rumah pasti membawa buah tangan. Kalau tidak reginang ya opak ketan.

Saat datang Amelia agak malu-malu. Wajahnya memerah, salah tingkah. Sekilas terlihat dengan sudut matanya dia mencuri-curi pandang. Ivan pastinya yang dicari. Tapi sayang, remaja pemalu itu segera masuk ke kamarnya setelah melihat serombongan gadis masuk ke rumahnya.

Hampir sekian lama, anak-anak berlatih drama. Sampai istirahat pun tiba. Amelia dan yang lainnya duduk-duduk di belakang rumah. Di saung. Sambil bersenda gurau. Bergosip ala remaja kekinian. Atau barangkali mengguyon Ivan yang belum juga muncul. Entahlah.

Hingga di satu kesempatan, Bu Kosim memanggil anaknya. Menyuruhnya untuk membeli gas. Karena gas kompornya tiba-tiba habis saat Bu Kosim memasak. Ivan pun keluar kamar, bergegas membawa tabung gas kosong. Di teras luar rumah, terlihat dia celingukan mencari sesuatu. Mencari sandalnya. Sandalnya tidak ada di situ.

"Nyari apa, Ivan?" Pak Kosim yang sedang di beranda tersenyum melihat tingkah Ivan.

"Sandal, Pak. Gak ada geuning."

"Cari di belakang. Tadi kayaknya ada dipakai anak-anak ke belakang."

Ivan pun pergi ke belakang rumah. Terlihat agak ragu-ragu. Karena di belakang, di saung itu, gadis-gadis seusianya sedang berkumpul. Tiba di belakang rumah, dia melihat ke sana sini mencari sandalnya. Gadis-gadis bersorak. Amelia ada di situ dan salah tingkah. Olalahhh...ternyata Amelia yang pakai sandal Ivan. Saat itulah akhirnya mereka bersua. Bertatapan. Di balik jendela Pak Kosim pun tersenyum.

Amelia maju memberikan sandal. Ivan menerimanya. Kikuk dan gugup. Sekian detik suasana membisu. Tanpa kata. Angin menghembus pelan, teramat pelan. Daun-daun pohon pepaya di samping saung pun nyaris diam tak bergerak, karena tidak ada angin yang menerpa barang sedikitpun. Namun tiba-tiba salah satu dahannya yang sudah layu karena tua bergoyang-goyang karena ada burung pipit betina yang hinggap sebentar. Lalu sang pipit betina segera melompat dan terbang karena ada burung pipit jantan yang mencoba mengejarnya ke atas batang daun pepaya itu. Hingga daun pepaya yang sudah layu tua itu terhentak dan terlepas dari pohonnya lalu jatuh ke tanah.

Mereka bertatapan, sekonyong-konyong segera menunduk. Begitulah masa remaja. Perasaan tak kuasa terwakilkan lewat tatapan mata. Tak kuasa menahan degup jantung. Hanya bisa menunduk. Mungkin hanya hati mereka yang berbicara. Ataukah mereka berbicara lewat telepati jiwa, seandainya mungkin begitu bila digambarkan.

Itulah pertemuan pertama mereka. Sampai anak-anak kembali pulang ke rumahnya masing-masing. Rumah kembali sepi. Sepi rasa dan sepi jiwa. Hampa. Terlihat Ivan duduk di saung itu. Bersandar di kayu tiang saung. Tatapannya kosong. Panineungan. Tubuhnya dihadapkannya ke sebelah utara. Menghadap sawah yang hijau menghampar. Dari kejauhan di pematang sawah itu, terlihat anak-anak kecil bersenda gurau sambil melempar-lemparkan lumpur. Anak yang lain berteriak mengaduh, karena lemparan temannya mengenai tubuhnya. Terjatuh , bangun lagi, dan tertawa-tawa.

****

"Ayo Amel sini mampir dulu. Sudah hampir tiga tahun kita tak bertemu." Pak Kosim pun mengajak Amelia ke rumahnya.

"Iya Pak, sudah hampir tiga tahun. Saungnya masih ada?"

"Masih ada. Ayo kita ke sana. Ibu juga ada di situ."

Mereka beriringan ke belakang rumah. Menuju saung itu. Di saung Bu Kosim sudah menyambut. Dipeluknya Amelia. Layaknya pertemuan anak dengan ibunya sendiri. Aneh. Padahal mereka secara lahiriah jarang bertemu, jarang berkomunikasi. Tapi entahlah, mungkin secara batiniah sepertinya gadis itu ada di hati keluarga Pak Kosim.

Sambil duduk bersandar di saung, mata Amelia terlihat mencuri pandang ke arah dalam rumah. Dalam hatinya mungkin dia menanyakan keberadaan Ivan. Melihat hal tersebut, Pak Kosim cukup mafhum.

"Bu, panggil Ivan segera. Bilang ada temannya datang." Disuruhnya Bu Kosim memanggil Ivan.

Ivan seperti biasa, jika hari libur pastilah menyempatkan diri menyalurkan hobinya, memancing belut di sawah belakang rumahnya. Sawahnya masih kepunyaan Pak Kosim. Rumah Pak Kosim cukup asri. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi pekarangannya luas. Di halaman rumahnya baik depan maupun belakang banyak ditanami pohon mangga. Sehingga lingkungan rumahnya tampak teduh dan asri. Di pekarangannya itu banyak berkeliaran kelinci-kelinci. Anaknya Pak Kosim yang kedua, adiknya Ivan, sangat menyukai kelinci. Di belakang rumahnya terdapat saung, tempat Amelia duduk sekarang. Di depan saung ada pohon mangga arum manis yang dahan-dahannya melebar ke samping. Sebagian dahannya menutupi saung. Sehingga saung menjadi lebih teduh. Di sebelah saung, sekira tiga meter ke samping, terdapat pohon pepaya. Pohonnya tidak terlalu tinggi. Buah pepayanya lebat. Tidak terlalu besar buahnya tapi manis, mungkin jenis kalifornia.

Dari kejauhan terlihat Ivan berjalan menuju rumah. Memakai kaos biru dan celana pendek selutut. Betisnya penuh lumpur. Tangan kirinya membawa plastik keresek. Sementara tangan kanannya membawa tambang kecil, mungkin itu alat pancingan belutnya.

Amelia menatap Ivan dari kejauhan. Dalam hatinya berkata: pangling sekali Ivan. Tampak tampan dan dewasa.

Memang jarak waktu tiga tahun bisa membuat remaja lelaki itu tampak pangling. Tubuhnya tampak jangkung sekali. Mungkin lebih dari 175 cm tingginya. Kulitnya putih, mewarisi kulitnya Pak Kosim.

Semakin tampak mendekat remaja lelaki itu, semakin berdegup pula jantung Amelia. Adapun Ivan dari kejauhan sudah tahu bahwa ada Amelia berkunjung. Ibunya yang mengatakannya. Maka ditenangkannya hatinya. Tiga tahun berlalu sudah cukup membuatnya sedikit dewasa. Direncanakannya kata-kata apa yang harus diucapkan jika dia sudah berhadapan dengan Amelia. Aku bukan anak remaja kecil seperti tiga tahun lalu, umurku sudah akan 18 tahun, aku sudah cukup berani berhadapan dengan perempuan. Begitu pikir Ivan dalam hati.

Semakin mendekat. Dan akhirnya tibalah mereka bersua untuk yang kedua kalinya, setelah yang pertama tiga tahun lalu. Mereka terdiam. Rencana berkata-kata hilang sudah. Kalimat-kalimat yang sudah disusun rapi lenyap seketika. Yang ada hanya gugup. Akhirnya Ivan pun duduk di saung sisi kanan. Sementara Amelia tidak beranjak dari duduknya semula di sisi tengah saung.

Mau tidak mau suka tidak suka, aku kan lelaki, harus aku duluan menyapanya, Ivan bergumam dalam hati.

"Ehmm, ehh...anu...apa kabar Amel?" Akhirnya keluar juga kata-kata dari Ivan walau sambil terbata-bata. Gugup.

"Iya baik ..Kak.. eh ..A Ivan" Amelia menjawab dengan tak kalah gugupnya.

Dua-duanya terdiam. Angin sepoi-sepoi dari arah pesawahan berhembus menerpa wajah mereka. Sejuk namun hangat. Khas angin musim kemarau. Pohon mangga arum manis di depan saung bergoyang-goyang diterpa angin tadi. Daun-daun di dahan yang menjuntai ke saung menggesek-gesekkan atap saung. Gesekannya teratur membentuk bunyi-bunyi irama yang indah. Layaknya gesekkan biola dengan teknik vibrato yang menyayat hati. Pelan namun syahdu.

“Amel, tunggulah sebentar. Biar aku bersih-bersih dulu. Kakiku penuh lumpur." Ivan mencoba memulai lagi obrolan. Sudah mulai lepas. Sudah ada keberanian.

"Mangga A Ivan." Akhirnya Amelia sudah memilih panggilannya terhadap Ivan. Bukan Kak Ivan atau Ivan saja. Lebih nyaman memanggil A Ivan, demikian pikirnya.

Dibasuhnya kakinya yang penuh lumpur. Dibasuh pula mukanya yang berkeringat. Di kaca kamar mandi dilihatnya wajahnya. Dikibas-kibaskan air di wajahnya. Dengan jari-jari tangannya disisir-sisir rambutnya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Selanjutnya ditemuinya lagi Amelia di saung itu.

“Amel, gimana kabar sekolahmu? Akan kuliah dimana nanti?"

"Sekolah sama juga seperti A Ivan, sebentar lagi ujian. Kalau kuliah entahlah, ibuku pasti repot mikirin biayanya. Mungkin pilih kerja dulu."

"Lho kerja di mana?"

"Entah juga, mungkin di super market. Atau mungkin mau nyoba ngelamar kerja di dealer motor. Kemarin temannya ibu menawarkan kerja di dealer kalau aku sudah lulus."

"Oh, begitu".

Komunikasi keduanya sudah mulai lancar. Rupa-rupanya gunung es sudah mulai mencair. Meluber malahan. Karena setelahnya, mereka tampak asyik ngobrol hal-hal lainnya. Di balik tirai jendela Pak dan Bu Kosim tersenyum. Rupanya anak sulungnya yang dulu pendiam sudah mulai tampak ada membuka diri. Tiba-tiba saja dari arah saung, Amelia terpekik. Kaget. Segera tirai jendela ditutupkan kembali karena takut ketahuan kedua anak muda itu. Rupa-rupanya Amelia menjerit karena ada kelinci yang mengendus-endus kakinya. Tapi sebentar kemudian terdengar suara tawa renyah dari Amelia.

"Kalau A Ivan mau kuliah di mana?" Amelia bertanya sambil membetulkan letak kaca matanya.

"Kalau aku rencananya ingin kuliah di UGM ngambil jurusan akuntansi. Di Jogja itu Mel. Tapi itu pun kalau aku lulus SBMPTN. Kalau nggak lulus, bapak menyuruhku kuliah di CIC Cirebon. Ngambil jurusan Teknik Informatika."

"Jauh ya A, kalau di Jogja. Amelia menatap lurus. Tatapannya kosong."

"Iya juga Mel. Pasti harus kost di sana"

Keduanya terdiam. Pikiran masing-masing menerawang jauh. Entahlah, sepertinya keduanya merasakan hal yang sama. Pertemuan yang baru sebentar ini seolah tidak ingin terputus lagi. Adakalanya perasaan yang sudah mulai bertaut ini tidak segera terserabut kembali. Mau tidak mau Ivan harus menegaskan semuanya. Bukankan dia sudah cukup dewasa menentukan arah hidupnya.

“Amelia... jika aku harus kuliah di Jogja, maukah kau menungguku?" Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulut Ivan. Setengah tak percaya, Ivan mampu mengatakan hal itu.

Amelia terdiam. Kerongkongannya tercekat. Bingung harus jawab apa. Bukan bingung karena tidak suka. Tapi ini bingung lebih dikarenakan terkejut karena Ivan akan sanggup mengatakan itu. Pertanyaan yang sederhana namun penuh arti. Baik pertanyaan maupun jawabannya yang pasti akan penuh makna. Makna terdalam yang menyiratkan arti menyatakan dan menerima. Ketika Amelia harus menjawab ya atau tidak pun maka jawabannya itu pastilah akan sangat penuh makna. Tapi saat terlihat matanya berbinar-binar dan pipinya kemerah-merahan, sudah jelaslah jawaban anak gadis itu.

“Amelia akan menunggumu A Ivan." Amelia bergumam pelan sambil menunduk. Pipinya kemerah-merahan. Suaranya pelan tapi cukup terdengar oleh Ivan yang mengangguk senang.

Angin kemarau dari arah pesawahan kembali berhembus. Sejuk dan hangat. Menggoyang-goyangkan dedaunan pohon pepaya di sebelah saung. Sekonyong-konyong burung pipit betina hinggap di salah satu dahannya. Bercicit indah, mungkin memanggil pasangannya. Tak berapa lama burung pipit jantan terbang menghampiri, hinggap di sampingnya. Kali ini dahan pepaya cukup kuat menopang sepasang burung pipit itu. Tidak layu dan tidak jatuh ke tanah seperti tiga tahun lalu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow wow wow Sepertinya menceritakan masa lalu yang gak kesampaian. Lanjutkan!

15 Nov
Balas

Hadooohhhhh...

15 Nov
Balas



search

New Post