Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
POHON

POHON

Hari ini mungkin juga sama saja dengan hari kemarin. Tiada beda. Itu bagiku, tapi tak demikian halnya dengan Sodik. Hari ini wajahnya tampak muram. Padahal baru semingguan saja dia pulang ke kampung ini. Kampung kami tentunya. Kampung tempat kami menghabiskan waktu masa kecil.

Sodik sudah lama tak pulang ke kampung kami ini. Bertahun-tahun dia merantau ke Kalimantan. Sementara aku, tetap betah menghabiskan waktu di kampung ini. Juru kunci kampung, begitu kelakar Sodik.

Hari ini Sodik seperti muram dan mengeluh. Bukan keluhan tentang penyakit jantungnya yang sudah menahun. Tapi ini keluhan yang lain soal.

“Sim…kau tak tahu apa yang aku rasakan hari ini?” kata Sodik sambil matanya menerawang, kosong.

“Penyakit jantungmu?” jawabku.

“Bukan. Kalau itu tak aku hiraukan, apalah artinya dengan sakitku. Semuanya kuserahkan sama Gusti Allah.”

Aku menghela nafas. Sejenak terdiam. Belum tahu apa yang sedang dipikirkan Sodik.

“Sim. Ayo ikut aku. Kita jalan-jalan.”

Tanpa menunggu lagi jawabanku iya atau tidak dengan ajakannya, Sodik segera berdiri.

Selanjutnya kami keluar rumah. Berjalan melipir ke belakang rumah menyusuri jalan setapak ke arah selatan rumah. Jalan setapak yang sudah berpaving blok. Dan, tiba-tiba saja aku terkenang akan masa kecil dulu. Aku berdua Sodik biasa bermain menyusuri jalan setapak ini. Jalan setapak yang masih tanah basah berumput. Ah…aku sepertinya faham maksudmu tadi, Sodik.

*****

Tahun 1985…

Sore itu aku duduk-duduk di beranda. Di teras panggung bambu yang bambunya sudah licin mengkilat. Bambu tua yang karena sering diduduki sehingga menjadi berkilat. Bapak sengaja tak menggantinya seperti rumah tetangga, dengan tembok bata. Bapakku bilang rumah kita jangan diubah, tetap bilik bambu. Biarkan rumah kita tetap nyunda. Dengan rumah bambu, tubuh dan jiwa kita akan tetap sehat. Ventilasi alami akan membuat oksigen masuk melalui celah-celah bilik bambu.

Sore ini pula Sodik teman karibku datang ke rumahku. Seperti biasa kulihat ketepel kayu terkalung di lehernya. Trade merk-nya Sodik ya ketepelnya itu. Ketepel dari ranting pohon cengkih.

Perihal ketepelnya itu, bapakku pernah kesal dan memarahi Sodik. Sebab Sodik mengambil ranting buat ketepel itu dari dahan pohon cengkihnya bapakku. Padahal dahan yang dipatahkan Sodik itu sedang berbunga lebat. Lucunya pula Sodik lapor ke bapak saat dahan cengkih itu sudah berubah jadi ketepel.

“Wa Ubed, aku minta dahan cengkih ya, buat dibikin ketepel.”

“Yang mana?”

“Itu yang depan rumah.”

“Eh, itu sedang berbunga, tak boleh.”

“Tapi tadi pagi sudah kupotong dahannya, sudah dibuat ketepelnya.”

Tentu saja bapakku langsung marah-marah. Sementara Sodik hanya tertawa-tawa tanpa merasa bersalah.

“Sim ayo kita ke pohon!” teriak Sodik di pekarangan rumah.

“Ayooo….” balasku mengiyakan ajakannya.

Aku pun segera keluar dan pergi membuntuti Sodik yang berjalan cepat menyusuri jalan setapak belakang rumahku. Jalan setapak pematang sawah yang basah dan berumput.

Hhmmm…POHON! Kata itu adalah kata yang bermakna besar bagi kami. Ya, pohon itu adalah pohon yang mungkin menjadi menu wajib setiap hari bagi kami kalau bermain. Pohon itu adalah pohon randu yang berdiri menjulang seberang sungai yang jauh di belakang rumahku. Letak pohon itu juga berhadapan dengan lapangan bola. Jadi secara geografis letak pohon favorit kami ini ada di antara sungai dan lapangan bola. Letaknya persis tengah-tengah di antara keduanya.

Tingginya sekitar lima belas meter. Dahan-dahannya yang jarang-jarang menjuntai horisontal ke samping. Sehingga kami akan asyik jika duduk di dahan-dahannya. Menyenangkan.

Jika sudah sampai di pohon itu, maka kami bergegas naik di atasnya. Memilih dahan terbaik tempat duduk kami masing-masing. Aku biasanya duduk di dahan ke empat yang menjuntai ke sebelah barat. Sementara Sodik biasanya duduk di dahan yang berlawanan denganku di dahan sebelah timur. Kalau sudah duduk nyaman seperti itu, biasanya kami berleha-leha sambil melihat panorama yang ada. Sejauh mata memandang sangat memanjakan mata. Hijaunya sawah dan derasnya air sungai sangat tampak jelas di atas pohon ini. Apalagi di sebelah barat tampak gagah, tinggi, dan kokohnya Gunung Ciremai. Maka inilah pohon kesayangan kami.

Pohon ini juga kadang menjadi saksi hidup bagi kami saat kami berkeluh kesah. Jika aku kena marah bapak atau ibuku di rumah, maka aku segera datang ke pohon ini lalu duduk-duduk di atasnya. Sambil menangis tentunya. Begitu pun sama halnya dengan apa yang dilakukan Sodik jika kena marah orang tuanya.

Kadang pula pohon ini menjadi pendamai bagi kami jika kami bertengkar. Jika kami bertengkar maka salah satu dari kami segera pergi ke pohon ini. Selanjutnya seorang lainnya pun akan pergi pula ke pohon ini. Kami yang bertengkar duduk-duduk di pohon ini dan saling berdiam diri. Lama kelamaan kami akan berdamai dengan sendirinya sambil tertawa terbahak-bahak.

Pohon ini pula menjadi saksi bagi kenakalan kami. Saat ada pertandingan bola resmi yang harus bayar tiket nonton, maka kami lebih baik naik saja ke pohon ini. Gratis tanpa harus bayar tiket. Pun lebih jelas pula nonton dari atas pohon ini. Kenakalan lainnya? Tentu saja kami bisa dengan asyik nonton gadis-gadis yang mandi di sungai. Saat para gadis berteriak kaget, maka kami segera memalingkan muka pura-pura nonton bola di lapangan.

“Sim. Ini pohon sebenarnya milik siapa?” tanya Sodik sambil duduk santai di dahan yang didudukinya.

“Ini tak bertuan, tumbuh sendiri. Milik burung gereja barangkali. Yang bawa bijinya dari tempat lain dan tumbuh di sini.”

“Tanahnya?”

“Tanahnya milik desa, nyatu sama lapangan bola dan sungai ini.”

“Sim…”

“Ya…”

“Kelak kalau aku mati. Kau kuburkan aku di sini. Catat itu. Jangan lupa!”

“Heh…jangan sembarangan ngomong. Nanti kau dituliskan malaikat Ijroil. Kita masih muda, masih SD. Kita harus hidup sampai tua!”

Sejenak kami terdiam. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah. Bunyi pucuk-pucuk padi yang mendesau diterpa angin beradu merdu dengan suara burung-burung gereja yang bercicit riang. Panorama sore indah dengan cahaya kuning jingga terbentang di ufuk barat. Semburatnya menyeruak dari balik Gunung Ciremai yang menjulang indah.

Tak lama kemudian alam semesta berangsur redup. Mentari segera bersembunyi di balik ufuk. Sejenak kemudian merdunya azan magrib pun berkumandang dari surau kampung kami. Kami berdua segera turun dari pohon dan kembali pulang….

****

“Sim, kau lihat ke sana!” seru Sodik sambil menghentikan langkahnya.

“Ya… gimana?” jawabku.

“Kau lihat ini. Jalan setapak ini dulu pematang sawah yang diperlebar. Supaya anak-anak kampung kalau ke lapangan bola mudah jalannya. Sekarang kau lihat ini? Ini sudah makin diperlebar lagi jalannya dan dikasih paving blok. Sekarang mobil kecil bisa masuk ke sini. Kau tahu artinya?”

“Ya, ya, ya…artinya zaman sudah maju dan makmur.” kataku sekenanya.

“Bukan. Bukan itu. Itu artinya semua lahan pesawahan ini menjadi hilang dan berubah jadi pemukiman!”

Aku terdiam. Kata-kata Sodik penuh tekanan. Sedikit ada hentakan emosi. Sodik menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya dapat menunggu saja ucapan Sodik selanjutnya.

“Kau lihat itu Sim,” seru Sodik sambil menunjuk barisan rumah-rumah sepanjang jalan yang akan kami lewati, “Itu kemaruknya para developer rumah yang membangun rumah di atas tanah-tanah yang produktif. Berapa hektar sawah yang hilang dan lalu mereka dirikan perumahan di atasnya!?”

“Benar….,” aku hanya mampu menjawab pendek.

“Pantas saja harga beras makin mahal. Petani makin hilang lahan garapnya. Pepohonan pun makin sedikit. Longsor, banjir ... Ahh…tuan tanah yang kemaruk… pengusaha properti yang hanya mementingkan uang…” Sodik menghentikan pembicaraannya. Nafasnya tersengal, matanya memerah. Sembab.

Akhirnya kami pun tiba di sungai, tempat gadis-gadis mandi saat kami kecil dulu.

“Sodik, betul kata-katamu tadi. Lihatlah sungai ini. Di situ si Ika mandi dulu lalu kita intip dari atas pohon randu. Sekarang sungai ini sudah makin kecil lebarnya. Airnya pun sudah tak sejernih dulu. Semua limbah rumah tangga dibuang ke sini. Airnya keruh dan bau. Kalau musim hujan tiba, ini suka meluap. Banjir.”

Jalan-jalan kami hanya sampai di pinggir sungai ini. Kami tak berusaha menyeberangi sungai lalu melihat lapangan bola. Sengaja. Karena Sodik tak mau melanjutkan menyeberangi sungai. Dia bilang percuma kita ke sana, kita hanya akan menangis saja. Karena pohon tempat kita bermain dulu, yang letaknya seberang sungai itu, sekarang sudah tak ada. Sudah tak ada pohon secuil pun. Karena di lahan itu sudah berdiri rumah-rumah perum. Maka sempurnalah kesedihan Sodik pada perubahan kampung kami. Inilah yang Sodik keluh kesahkan sejak awal pulang ke kampung kami.

****

Sabtu pagi ini, setelah dua bulan aku bertemu Sodik seusai pembicaraan kami yang terakhir di pinggir sungai itu….

Rumah Sodik sudah penuh dengan orang-orang yang melayat. Tangis kesedihan terdengar dari dalam rumah. Anak dan istrinya walaupun sudah memperkirakan jauh-jauh hari akan kondisi Sodik yang punya sakit jantung kronis, tetap saja terasa berat ditinggalkan Sodik. Suasana rumah tampak haru dan pilu.

Adapun aku sahabat kecilnya, sama pula seperti halnya orang-orang terdekatnya. Sedih tak terkira. Sayang, pohon tempat kami dulu berkeluh kesah sudah tak ada. Jikalau ada, pastilah aku akan lari ke pohon itu dan naik ke atasnya. Setelahnya tentulah aku akan menangis meraung-raung dan teriak sejadi-jadinya.

Baiklah Sodik aku akan jaga anak-anakmu seperti halnya kau pesankan sebelum kau tiada. Tapi ada satu yang tak bisa aku kabulkan permintaanmu yang dulu. Yaitu menguburkanmu di bawah pohon randu kita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Biarkan rumah kita Nyunda, Sodik dan permintaannya dimakamkan di Bawah pohon randu, persahabatan yang luar biasa indah. semangat terus menulis dan ditunggu karya-karyanya Ibu,

15 Nov
Balas

Terima kasih banyak. ..

15 Nov
Balas

Terima kasih. Salam kenal juga

15 Nov
Balas

Pohon yang menyimpan banyak kenangan...cerita yang bagus....salam kenal..

15 Nov
Balas



search

New Post