Andri Ananta

Lahir dan tinggal di Kuningan. Menyelesaikan SD s.d. SMA di Kuningan (SDN 3 Purwawinangun, SPENSA, SMANDA). Menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sast...

Selengkapnya
Navigasi Web
TAHU PETIS UNTUK EMAK

TAHU PETIS UNTUK EMAK

Rrrrrrrrrd …tiba-tiba hapeku bergetar. Pesan whatsap grup masuk: “Sim, sekarang kumpul di taman kota, Bahlul mau traktir kita.” Ok, siap, aku otw, balasku.

Bergegas aku ke pintu pagar depan, kubuka lalu kututupkan kembali. Kulangkahkan kaki segera menuju jalan besar. Dari arah belokan jalan menuju jalan besar kulihat emak didampingi anakku yang bungsu sedang berjalan ke arah rumah.

Emak sekarang hobi jalan kaki. Hampir tiap hari meluangkan waktunya untuk berjalan kaki. Bukan tanpa sebab emak sekarang hobi jalan kaki, mungkin juga karena pelampiasan setelah hampir dua bulan dihabiskan waktunya di tempat tidur. Selama dua bulan itu emak tidak bisa berjalan, kakinya sakit tak bisa digerakkan. Jangankan digerakkan, dipegang saja kakinya, pasti meringis kesakitan

Entah apa penyebab kakinya sakit. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Tiba-tiba saja saat bangun pagi, kaki emak sudah begitu. Emak hanya bilang bahwa kemarin dia sudah minum obat anti kaki gajah yang dibagikan dari RT. Tapi aku menduga mungkin emak terkena asam urat.

Segeralah kubawa ke dokter. Diperiksa tekanan darahnya. Tensinya naik. Tapi dokter mengatakan tensinya naik karena akibat dari sakit kakinya itu, jadi tidak sebaliknya. Lalu dites darahnya di laboratorium, hasilnya menyimpulkan bahwa asam uratnya juga bagus. Akhirnya kesimpulan sementara dokter mengatakan bahwa mungkin ini akibat dari minum obat anti kaki gajah itu, sebab dia katakan kemarin pun ada kasus yang mirip-mirip seperti ini setelah yang bersangkutan minum obat itu. Entahlah, aku percaya saja, yang pasti dan terpenting adalah setelah dua bulan itu sekarang emak sudah bisa berjalan kembali. Senang rasanya emak bisa jalan kembali.

Emak semakin mendekat, dan akhirnya kamipun berpapasan.

“Sim kamu mau kemana?”

“Anu Mak, anu…mau keee….”

“Nahhhh, kalau begitu antar emak ke Cirebon, ke Pasar Kanoman, emak kepingin tahu petisssss.”

“Oh iya,.. iya,… baik... baik Mak.”

“Bawa sekalian istrimu dan si bungsu.”

Aku gelagapan, bagaimana ini, bisa-bisa sobat-sobatku marah, karena aku janji akan datang ke acaranya. Tapi biarlah, ini demi Emak. Kukira pengorbananku tak seberapa jika dibandingkan dengan pengorbanan emak bertahun-tahun mengurusi kami anak-anaknya.

Akhirnya aku balik lagi menuju rumah. Kukirim pesan whatsapp grup: Maaf sobat-sobat, aku tidak bisa hadir. Mendadak emakku nyuruh ngantar ke Cirebon, nyari tahu petis.

Kutunggu balasan whatsapp. Beberapa menit tak ada jawaban. Aku yakin sobat-sobatku pasti kecewa. Sudah terbayang Sueb pasti mem”bully”ku habis-habisan. Kebayang pula Bahlul yang sering kuejek karena selalu takut sama istrinya, akan berbalas dendam lebih parah lagi. Hingga akhirnya balasan pesan pun muncul dari Euis: "sholeh ya mang kosim". Jawaban pendek yang cukup menenangkan.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Akhirnya kami berangkat berempat, emak, istriku, anak bungsuku, dan aku. Kukendarai mobilku pelan. Berbelok ke kanan, menuju jalan arah Juanda, sengaja berbelok ke arah jalan ini karena jalan besar yang di depan masih ditutup carfreeday.

Emak duduk di depan. Seperti biasa jika kumpul seperti ini, pastilah beribu nasehat terlontar dengan manisnya. Emak masih menganggapku layaknya anak-anak yang masih perlu bimbingannya. Sesekali ditepuk-tepuk pundakku. Menyejukkan dan mengesankan.

Emak sekarang umurnya sudah 71 tahun. Dulu emak seorang penjahit kampung, yang mungkin laku hanya setahun sekali jika menjelang lebaran saja. Penghasilan yang setahun sekali itu disimpannya untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Sementara pengahasilan bapakku, hanya cukup untuk makan saja. Kami bukan kalangan orang berada. Tapi karena semangat berjuang dari emak dan bapak beserta doa-doanya menjadikan kami anak-anaknya berhasil. Hampir seluruh anak-anaknya bersekolah tinggi.

Jahitan emak cukup bagus, banyak tetangga dan orang jauh yang menjahitkan pakaiannya pada emak. Tapi emak spesialis penjahit pakaian perempuan, kalau menjahit pakaian laki-laki, emak tidak bisa. Tapi walau begitu, pakaianku kalau dijahit, ya oleh emak itu. Emak memaksakan diri menjahitkan celanaku walau tidak mahir. Emak bilang biar irit, hanya beli bahan dari pasar lalu dijahit sendiri. Hasilnya? Jelas tidak bagus, karena ya itu tadi, emak spesialis penjahit pakaian perempuan.

Tapi tetap saja aku sangat bangga memakainya. Ciri khas jahitan emak, karena tak piawai menjahit celana laki-laki, yaitu guntingan celana bagian depan dan belakang tidak simetris. Sehingga tepian jahitan kiri dan kanan celana agak tertarik ke belakang. Bagian belakang celanaku terasa sempit jadinya. Tapi tetap saja aku nyaman memakainya, karena emak menjahitnya dengan penuh kasih sayang. Dan aku? Memakainya pun dengan rasa penuh kasih sayang pula.

Tak terasa mobil pun sudah tiba di parkiran Pasar Kanoman. Agak jauh dari lokasi pasar karena kami tidak kebagian parkiran.

“Mak, kuat jalannya?”

“Tenang emak sudah biasa kok jalan kaki, kemarin ke pasar baru saja jalan kaki.”

Pasar Kanoman masih ramai seperti dulu. Posisi bangunan pasar dan tempat orang-orang berjualan nyaris tak berubah sejak zaman dulu. Trotoar kiri dan kanan tetap penuh oleh pedagang kaki lima, sehingga agak menyulitkan orang berjalan.

Pengamen berseliweran tanpa henti. Kulihat orang makan empal gentong yang duduk di ujung bangku marah-marah. Merasa terganggu, karena barusan saja membayar pengamen, datang lagi pengamen yang lainnya. Tidak ada waktu menikmati santapannya rupa-rupanya.

Tepat di ujung depan parkiran motor, kami menyeberang jalan, masuk ke arah belokan ke kanan. Biasanya di pertigaan itu tempatnya orang menjual tahu petis. Sayang seribu kali sayang. Tukang tahu petis tidak jualan. Emak terlihat kecewa.

“Maaf, Pak numpang tanya. Ini yang berjualan tahu petis kemana ya,” tanyaku pada bapak tukang beca yang kebetulan sedang nongkrong di dekat situ.

“Wah, betul ndak jualan Pak. Biasanya dia jualan di sini kalau lagi acara muludan saja.”

“Ada lagi yang suka jualan tahu petis Pak?”

“Ada. Di sana. Di dekat belokan yang ke arah Keraton Kasepuhan. Yang depan gereja itu. Tapi ya, jualannya mulai jam tiga sore.”

“Waduhhh…ini baru jam 11an ya. Oh iya, makasih Pak.”

Kulihat emak, ada sedikit gurat kecewa. Mungkin saja kecewa karena sudah jauh-jauh tapi ternyata yang dicari tidak ada.

“Mak tenanglah. Kita putar-putar dulu. Nanti kalau sudah sore kita pasti ke sana, tahu petis yang dekat belokan Kasepuhan itu.”

“Ayah, ke mall aja. Ke CSB,” Si bungsu menimpali.

“Hahh…, ok lah. Ok ya Mak?”

“Iya. Tapi jangan lupa, pas waktunya shalat, wajib shalat dulu,” emak menasehati.

Akhirnya emak sepakat dengan ide si bungsu. Kami pun bergerak kembali keluar pasar. Menyusuri jalan yang tadi. Agak cukup jauh, karena mobil dapat parkirannya di arah jalan keluar pasar.

*******

Hari Minggu ini jalur jalan ke CSB penuh kendaraan, agak macet. Segeralah mobil belok ke kiri ke arah areal CSB. Untunglah walaupun ramai, kami dapat juga tempat parkiran di gedung.

Emak celingukan, merasa asing. Aku tahu emak belum pernah ke mall. Bukan karena aku tidak pernah mengajaknya, tapi setiap kali kuajak emak pasti hanya bilang: mending ke pasar baru, sudah murah bisa ditawar pula.

“Yah, kita nonton bioskop aja. Filmnya bagus-bagus,” istriku mencoba memberikan tawaran.

“Gimana Mak? Nonton bioskop? Emak kan dulu suka nonton bioskop di bioskop Kuning Ayu?”

“Bolehlah. Film India ada?”

“Gak ada Mak. Film India sudah jarang ada di bioskop.”

Sepertinya kalau ingatanku tidak salah, emak terakhir kali nonton bioskop bertiga. Emak, aku, dan adikku. Saat itu usiaku baru enam tahun, dan adikku baru dua tahun. Berarti emak terakhir kali nonton bioskop 38 tahun lalu!

Saat itu kami nonton bioskop pukul empat sore. Film India dengan pemerannya Amitabh Bachan. Judulnya lupa lagi. Karena saat itu aku pun tak faham dengan film, yang aku faham dan mau ikut nonton karena biasanya emak membeli jajanan ke ruang bioskop. Untuk nonton kali itu, emak membeli jajanannya kacang rebus yang dibungkus kertas koran itu.

Kami pun masuk ruangan bioskop. Aku mulai menyantap jajanan kacang rebus. Sementara adik tertawa-tawa manja di pangkuan emak dan sibuk dengan bonekanya. Sementara itu ruangan masih terang, film belum mulai.

Masalah muncul saat tiba-tiba lampu padam, dan film akan segera dimulai. Adikku mulai rewel. Ia belum terbiasa dengan suasana gelap seperti ini. Ia tampak asing dengan keadaan gelap sementara layar besar dan terang ada tampak di depannya. Tak lama kemudian film pun mulai diputar.

Dung…dem…demmm. Suara sound yang tampak menggelegar semakin membuat adikku tampak tersiksa. Rewel dan gelisah. Hingga dalam hitungan beberapa menit ke depan, adikku tampak menangis dan meronta sekeras-kerasnya. Emak seperti biasanya, tampak sabar mengelus-elus kepala adikku. “Cup,,cup,,sayang, anak emak yang cantik,,,cup..cup..jangan nangis ya, nanti kita pulang beli jajanan yang enak.”

Adikku terdiam. Tapi sebentar kemudian jerit tangisnya kembali melengking. Akhirnya emak berdiri dari bangkunya dan mengajakku keluar, mungkin emak tidak enak hati karena tangisan adikku mungkin mengganggu penonton lainnya.

Tiba di luar ruangan, tangisan adikku reda mungkin karena di luar terang sementara di dalam gelap dan bising dengan suara sound yang cukup keras. Emak berdiri tepat di depan pintu masuk bioskop yang tertutup tirai. Sambil sedikit dikibaskannya tirai pintu, emak kembali melanjutkan nonton film. Sementara aku, sambil bersandar dan mendampingi adik yang bermain boneka, kembali makan kacang rebus yang belum habis. Sesekali emak melihat ke arah kami, dan kemudian melanjutkan nonton filmnya lewat tirai pintu bioskop sambil berdiri.

******

Kami berempat pun naik ke lantai tiga, tempat adanya bioskop. Tak sampai lama setelah membeli tiket, kami langsung masuk ruangan bioskop studio 6, dengan filmnya “Forever Holliday in Bali”.

“Di sini beda, tak seperti dulu di bioskop Kuning Ayu. Kursinya empuk. Rapi. Tapi dingiiinnnn,” bisik emak.

“Iya Mak, pakai jaket si dede aja,” kata istriku sambil memberikan jaket si bungsu. Tidak cukup di badan, karena jaketnya kekecilan, tapi cukup dilingkarkan saja di dada, sehingga terasa cukup meminimalisir dinginnya ruangan yang ber-AC.

Filmnya cukup bagus. Bertemakan drama dengan diselingi komedi. Membuat emak tertawa terpingkal-pingkal. Aku tersenyum senang melihat antusias emak menonton fim. Hingga tak terasa film pun usai.

Kukendarai kembali mobilku. Keluar gedung CSB. Belok ke kiri ke arah Jalan Cipto. Sebentar kemudian berbelok lagi memutar ke kanan ke Jalan Cipto jalur sebelah yang berlawanan arah dengan jalur tadi. Menuju pulang ke Kuningan.

Sampai jalan Pasar Kalitanjung, jalanan kembali macet. Dari arah depan tampak mobil mengular. Di pasar ini macet sebenarnya bukan karena pasar, tapi lebih karena ada “Pak Ogah” yang lebih mementingkan menyeberangkan kendaraan dari arah jalur Sumber yang nyeberang ke arah jalan menuju Kuningan. “Pak Ogah” lebih mementingkan mobil yang menyeberang karena dia pasti dapat uang dari mobil yang diseberangkkannya itu. Sementara kami yang dari arah Kuningan atau Cirebon seringkali terjebak macet karenanya.

“Sabar, sabar Sim. Nanti juga lancar.” Emak menenangkan aku yang mulai uring-uringan karena lamanya macet.

Akhirnya jalanan pun kembali lancar. Aku menarik nafas lega. Lolos dari jebakan macet kendaraan adalah sebuah hal yang perlu disyukuri. Butuh kesabaran yang super tinggi saat terjebak macet kendaraan. Kadang orang sesama pengendara bisa saling berantem karena kurangnya kesabaran saat terjebak antrian macet kendaraan.

Kulihat ke arah samping, Emak mulai terkantuk-kantuk. Dan akhirnya tertidur pulas. Mobil pun kupacu agak kencang, tapi cukup lembut, takut membangunkan emak yang tertidur pulas.

Sesekali kulihat emak yang tertidur pulas. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Ya Tuhan berikan kebahagiaan buat emak. Mungkin besok, lusa, atau lusanya lagi emak akan tiada. Oleh karenanya mumpung emak masih ada, berikanlah selalu aku waktu luang dan rezeki, hingga aku mampu membahagiakan emak. Walaupun pastilah budi baikku tidak akan mampu membayarkan jasa-jasa emak.

Sekonyong-konyong emak terbangun dan mengagetkanku.

“Sim….”

“Tahu petisku mana?”

“Astagfirullah…aduh lupa Makkkkk” Aku menepuk dahi,

Di Pom Bensin Cilimus, kuputar kembali mobilku ke arah kota Cirebon yang tentunya menerobos kembali jalanan macet yang melelahkan tadi. Tak apalah melelahkan, demi memenuhi janjiku, membelikan emak tahu petis.

Terima kasih Mak…atas semuanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

I love you mak

24 Jan
Balas



search

New Post