Anggo Marantika

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Remehkan Aku

Jangan Remehkan Aku

Jangan Remehkan Aku

Seorang pemuda yang hampir dikatakan sempurna, terlihat lesu tak bertenaga. Ia memiliki bentuk muka persegi dengan postur badan yang menjulang tinggi. Parasnya rupawan dan harta yang tak kekurangan. Mereka memanggilnya Miki. Pemuda berwajah oriental yang membawa kendaraan beroda empat ke sekolah. Ayahnya seorang direktur di salah satu perusahaan penjamin kesehatan. Ibunya adalah wanita karir yang memiliki perawakan bak model. Miki memiliki satu kakak perempuan yang jenius. Ia sangat mengandalkannya, tapi tak dapat lepas dari banyangannya.

Kontras dengan background keluarganya, Miki memiliki sedikit perilaku menentang. Ia terlihat loyo saat belajar dan cenderung menghindar saat pertanyaan mengincar. Pemuda berkulit putih ini adalah korban dari kegagalan sistem pendidikan formal. Ia terpaksa harus di asingkan dari sekolah, lantaran nilai yang dihasilkan cukup menyedihkan. Tinta merah terlukis disetiap lembaran rapornya. Sementara, motivasi belajar yang rendah adalah sebuah catatan yang datang dari wali kelas lawasnya.

Semua orang mengira Miki bodoh. Apakah ukuran keberhasilan hanya dipandang dari perspektif akademik? Miki adalah anak di-atas rata-rata. Setidaknya, begitulah catatan yang tertuang dari hasil tes intelejensinya. 130 bukan angka yang biasa untuk ukuran test IQ. Ia hanya membutuhkan tantangan. Mungkin saja bosan dengan pembelajaran yang cukup monoton. Hal tersebut menyebabkan Miki memilih pendidikan alternatif untuk menyelesaikan studinya.

Perkenalan kami terjadi di kelas Biologi. Saat itu, ia sedikit terusik dengan keberadaanku di dalam kelas. Miki tidak begitu menyukaiku. Berbeda dengan teman-temannya yang sedikit merayu untuk memperoleh hak-hak istimewa. Catatanku tentangnya terukir spesial. Di awal-awal pertemua kami, Miki merupakan anak yang sering terlambat, si raja ribut dan selalu banyak menuntut. Kelakuannya yang paling standar adalah tidur di dalam kelas. Miki selalu menyepelekan keadaan.

Butuh upaya cerdik untuk membangunkan harimau yang sedang terlelap. Dari segala upayaku untuk membuat matanya terbelalak, ia mampu mengeluarkan ribuan alasan untuk menolak. Alasannya cukup kreatif. Di luar pemikiran anak-anak seperti biasanya. Ia menyukai cara penyelesaian yang berbeda.

Kelasnya hanya terdiri dari lima orang. Sebuah kelas komunitas yang seharusnya dapat dikendalikan. Hal tersebut ternyata berkebalikan. Hampir setiap saat, Miki menciptakan iklim yang sangat mengkhawatirkan. Tak jarang, mataku melotot tajam ke arahnya. Miki tetaplah Miki. Sikapnya selalu menjengkelkan. Ia hanya membalas dengan senyuman masam atau merayu untuk menteralkan. Ia betul-betul tahu, bahwa dalam teguran yang kulayangkan, terdapat hati yang mententramkan. Sesekali, aku menghampirnya. Ku pastikan tak ada lagi kejahilan selanjutnya.

Miki selalu menginginkan semuanya secara instan. Tak jarang catatan temannya dipinjam. Melihat pola ini yang berulang, ku teguhkan hati untuk memberikan pelajaran. Bukan karena rasa dongkol yang sudah menggelora, tapi kasih sayang yang berujung pada kekhawatiran. Apa yang akan terjadi, jika ia terus dibiarkan? Fikirannya akan selalu mengizinkan, khususnya dari ribuan pemakluman yang pernah ku berikan.

Pertemuanku di minggu berikutnya, bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab. Ku selenggarakan tes singkat di awal materi metabolisme. Tentu mereka sudah memiliki bekal. Berdasarkan apa yang aku utarakan minggu sebelumnya. Sengaja ku berikan pertanyaan dengan kategori mudah. Sehingga perspektif mengenai meteripun akan dipandang serupa. Hampir semua siswa dapat menunjukan pencapaian hasil belajar yang baik, termasuk Miki. Poin uji cobanya bukan terletak pada kegiatan awal.

Miki mulai terbuai dengan nilai yang ia raih. Fokusnya sudah berbeda. Sudah ku prediksikan, aktifitas yang Miki lakukan adalah mengajak teman sekelasnya bercerita tentang kegemarannya. Sesekali temannya mengangguk atau tertawa. Selebihnya, mereka kembali fokus dengan tugas yang ku berikan. Selama kegiatan inti, Miki melewatkan banyak catatan penting yang dikemas dalam handout mini. Ia lupa menuliskan peristiwa respirasi yang terjadi di dalam sel. Acuh dengan bagaimana glukosa diubah menjadi energi. Tak memahami bagaimana elektoron ditransfer di dalam membran.

Handout adalah poin ujian tanggungjawab untuk setiap siswa kali ini. Tidak seperti handout secara umum. Aku men-design bagian intinya, dengan melibatkan pemahaman siswa secara komprehensif. Mereka perlu menuliskan beberapa bagian yang hilang. Sehingga, handout tetap mengikat penjelasanku dengan mereka.

15 menit sebelum kelasku berakhir, ku uji apa yang mereka dapatkan. Kuncinya terletak pada bagian yang hilang. A mission to complete the missing part. Itu lah yang ku ujikan. Miki sedikit protes saat lembar soal menghampiri mejanya. Tapi aspirasinya dikecam teman seperjuangannya. Aku tersenyum puas ke arah Miki. Sambil ku ayun-ayunkan pensil di tangan, Miki mencoba terlihat gaduh. Hanya sekejap setelah kegaduhannya, nada berbunyi ssssttttt menoleh ke arah Miki. Ia mulai terlihat Gusar. Dengan terpaksa, ia menghabiskan 10 menitnya dalam keadaan yang tak menggairahkan. Berbeda dengan Miki, 30 menit yang lalu.

Tak berhenti disitu. Ku tukar jawaban ke lima temannya untuk dikoreksi bersama-sama. Miki protes dengan meninggikan suaranya. Aku sudah membaca kondisi ini akan terjadi. Wajar saja, harga dirinya akan sedikit terluka untuk saat ini. Ditambah Sonia, gadis yang ia suka, mengkoreksi lembar jawabannya. Gesture ku menghentikan bualannya. Ia mulai tertunduk lesu mengikuti setiap instruksi yang ku pandu.

Muka Miki berubah merah padam. Tercampur rasa malu dan amarah menjadi satu. Pasalnya, ia memperoleh nilai 10 untuk skor maksimul 100. Ditambah lagi dengan perbandingan nilai teman-temannya yang dinyatakan lulus, untuk ujian kali ini. Merasa tak terima, ia melayangkan tatapan tajam ke arahku. Ku balas dengan lembut tatapannya itu. Ia tidak mencoba merajuk. Hanya tersimpan kekesalan di wajahnya yang berubah menjadi sendu.

Jauh sebelum ujian ini ku lakukan. Kami sudah menjadi teman berbagi tawa. Miki memahamiku, begitu pun sebaliknya. Di saat ia merasa jatuh, aku memiliki sebuah peluang untuk merefleksikan apa yang keliru. Kali ini ia tinggal di dalam kelas. Merelakan teman-temannya pergi terlebih dahulu. Ku ambil posisi tepat di depan Miki. Ku temukan matanya dengan bola mataku. Ada apa Mik? Ucapku. Mulutnya membisu. Menahan kekecewaan akan hari itu. Ku berikan sebuah petuah singkat untuk jiwanya yang layu. Pisau tidak akan menjadi tajam ketika ia tidak pernah diasah. Begitu juga dengan fikiran yang kian tumpul ketika tidak digunakan. Dibutuhkan ketelitian untuk mebuat pisau menjadi tajam dan sebuah perhatian untuk menyerap banyaknya ilmu pengetahuan. Ku gengang tangan Miki. Ku berikan sebuah kepercayaan diri padanya. Kamu bukan anak bodoh. Tapi kamu perlu membuktikannya. Melawan banyak mata yang pernah meremehkanmu kala itu. Berusaha adalah point yang harus kamu lalui, Mik! Dengan begitu keberhasilanmu akan terasa nyata.

Miki bangkit dari tempat duduknya. Ia mengabil tanganku untuk berpamitan pulang. Aku tersenyum pada wajahnya yang tak lagi sendu. Ia berlalu, kembali menjadi Miki yang selalu riang. Tatapan senang disambut oleh teman-temannya. Mereka menepuk pundak Miki sambil melayangkan banyak candaan ringan. Tawaku kembali datang, melihat sekumpulan kawanam anak muda tertawa bahagia.

Mengetahui karakteristik siswa, adalah poin utama dalam keberhasilan menerapkan suatu perlakuan. Tanpa informasi tersebut, kita berjalan menyusuri suatu tempat dengan peta buta. Pendekatan personal membuat ku terhindar dari banyak kesalahpahaman. Karena hal itulah, Miki tetap menaruh rasa hormat padaku.

Minggu berikutnya, Miki terlihat berbeda. Kericuhan dapat dihindari pada hari itu. Hampir lebih dari 30 menit kita menikmati aktifitas di dalam kelas. Meski sebagian sisa jam pelajaran dihabiskan dengan bualan anak-anak masa kini. Aku tidak keberatan, karena kondisi kenyamanan kelas, mampu memberikan kejutan dari pemahanan teman-teman belajarku.

Keajaiban terjadi. Miki mampu menjawab beberapa pertanyaan tanpa kesulitan. Membanggakannya lagi, ia mempu menyelesaikan permasalahan yang belum berhasil dipecahkan oleh temannya. Setiap mata mendang ke arahnya. Terheran-heran dengan apa yang Miki telah lakukan. Miki telah menemukan dirinya. Inilah salah satu point terpenting dalam sebuah pembelajaran. Mereduksi kendala yang dialami untuk memunculkan potensi alamiahnya.

Hari-hari berikutnya, Miki mengalami perubahan dalam pola belajarnya. Guru-gurunya mata pelajaran lain berujar tak percaya. Mereka senang dengan perubahan pola belajar Miki. Si tukang tidur yang bertransformasi aktif di dalam kelas dan pembuat onar yang berubah menjadi pendengar. Meski terkadang sifatnya jahilnya masih tertinggal, ia mengalami perubahan yang cukup signifikan.

Hasil tidak pernah menghianati usaha. Miki memperoleh nilai tertinggi untuk biologi saat Ujian Tengah Semester. Sementara, nilai mata pelajaran lainnya dapat diselesaikan dengan baik. Hanya nilai Matematika yang harus ia tempuh dengan proses remedial. Melihat tingkah Miki yang membusungkan dadanya, aku tersenyum dibalik meja. Ia terus membagakan dirinya, sampai temannya mengendus jengkel kepadanya.

Miki adalah sebuah cerita mengenai anak yang memiliki kecerdasan istimewa. Ia hanya membutuhkan tantangan dan pemahaman. Bukan hanya sebuah paksaan. Miki adalah salah satu contoh dari sekian banyak siswa yang terabaikan oleh para pengajar. Tanpa kita mau melihat lebih dalam. Banyak anak-anak yang terlanjur memperoleh label tak mengenakan.

Refleksi

§ Kunci keberhasilan untuk program konseling dengan siswa adalah memahami karakteristik siswa itu sendiri. Jadilah temannya! Pahamilah terlebih dahulu! Bangun hubungan yang gemilang, bukan hanya label guru dan muridnya. Dengan begitu, mereka akan percaya dengan apa yang kita katakana.

§ Memotivasi bukan hanya sekedar memberikan petuah kata-kata. Lebih dari itu ada sebuah tanggung jawab untuk memberikan contoh perilaku yang nyata.

§ Setiap anak itu unik. Memiliki keistimewaan dalam belajar. Jangan pernah berhenti berusaha untuk menemukan metode yang paling sesuai dengan siswa istimewa.

§ Jika terdapat siswa yang suka tidur dikelas, ngobrol atau melakukan aktivitas lainnya. Itu artinya pelajaran kita tidak menarik perhatiannya. Gantilah metode mengajar kita agar mereka tertarik, bukan memberikan paksaan atau label negatif untuk mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post