Anggo Marantika

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kemana perginya Perilaku Malu?

Titik yang menjadi akhir kalimat seolah menjerit. Kala rangkaian kata bukan berasal dari alam fikirnya. Bahkan bagi para elite yang meneriakan kecerdasan dengan lantang, tak segan menggunakan opini publik dalam mengukir karyanya. Bukan berasal dari alam sadarnya, melainkan rangkaian kalimat yang telah terlahir dari lobe parietal orang lain. Kemana larinya malu? Bahkan ketika kecerdasan intelektual diperjual belikan untuk mengisi perut-perut yang kelaparan!

Bagi sebagian kalangan, mulutnya terkunci. Tak mampu memperjuangkan aspirasinya. Fikirnya bergerak, namun lidahnya kelu. Dadanya sesak, namun langkahnya selalu terhenti karena sebuah kontrak. Air matanya tumpah kala namanya diganti dengan identitas orang lain. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Rangkaian tulisan yang membanggakan, kini hilang terseret derasnya kekuasaan.

Ada yang salah dengan pola fikir kita! Banyak anak muda menggunakan technology copy paste untuk melengkapi gelarnya. Tak pernah terbesit rasa malu. Mereka menggangap hal tersebut wajar-wajar saja. Ditambah lagi dengan nilai yang cukup membanggakan. Jadi wajar saya, kalo generasi micin tak memiliki cukup inisiatif untuk berkarya. Lebih gilanya lagi, sebagain kalangan secara terang-terangan memperjual belikan kecerdasan intelektual. Untuk apa? Memperoleh gelar yang seharusnya bukan menjadi milikmu?

Ada yang salah dengan mental kita! Perilaku yang jelas bukan sebuah warisan, menggiring banyak kalangan untuk bersama mengamini hal yang bukan fitrohnya. Mengapa bisa terjadi? Ego yang selalu ingin tampil unggul dan pencitraan yang tiada henti-hentinya. Membuat sebagian kalangan berfikir secara instan. Apakah mereka tidak pernah memahami kerugian yang mereka lakukan? Menyandera metal ribuan pelajar untuk turut andil dengan tingkahnya yang salah.Telunjuk banyak digunakan petinggi untuk sebuah kalimat instruksi yang menggebu. Akhirnya berujung pada keputusan yang menjijiknya.

Pengakuan tentang sebuah karya yang jelas-jelas itu bukan miliknya, hadir menghiasi meja kerja dimana saja. Lalu ketika keberuntungan tidak berpihak. Drama permintaan maaf dipertontonkan. Mengundang banyak simpati untuk menyembunyikan ketidak mampuannya.

Kemana perginya malu yang sering kutemui saat kecil dulu? Saat kita tidak bisa menyelesaikan sebuah permasalahan, harusnya bertanya bukan menyalin pekerjaan teman. Tidak kah kau sadari wahai para petinggi, untuk membuat sebuah karya, kami harus mempekerjakan ribuan neuron yang bersarang di otak. Ah, rasanya kalian tak akan pernah memahami itu! Yang kalian tahu, hanya keuntungan tanpa memperhatikan perasaan. Tidak kah kau mengerti, bagaimana kami memanggil ribuan memori yang telah usang? Kami melakukannya untuk merangkai kata yang kau akui sebagai sebuah karyamu. Ironinya, lidahmu penuh dengan pencitraan.

Kemana perginya malu yang dulu ku tatap? Kala kawan disambar penggaris panjang saat mencotek soal ulangan. Aku merindukan mu malu. Tentangmu yang seringku dengar dari mulut ibu. Dimana massa yang kubayangkan penuh dengan kejujuran, keadilan dan ketulusan.

Mengajarkan budaya malu tidaklah keliru. Terimakasih malu, berkat kamu, aku selalu memiliki monitor perilaku menyengkan. Karena malu, kita memiliki usaha yang keras, mampu berfikir kreatif dan jujur dengan keadaan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post