Anggo Marantika

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Mamah, Papah, Kalian di Mana?

Mamah, Papah, Kalian di Mana?

Mamah, Papah, Kalian di Mana?

Renungan

Membentuk kepribadian anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Banyak peran orangtua yang perlu disadari secara bersama-sama. Seperti Indonesia, dimana laut mengisi dua pertiga bagian dan inilah yang merepresentasikan besarnya peran orangtua. Sementara satu pertiga lainnya bagian sekolah. Dalam membentuk kepribadian anak, sekolah dan orangtua adalah team yang tidak bisa terpisahkan. Papah, mamah, pahamilah ini untuk generasi kita yang jauh lebih baik!

*-----*

Seorang pemuda yang hatinya terkoyak tapi langkahnya terlihat tegap. Perih yang ia rasa, dibalut dengan sikapnya tenang. Wajar saja keluarganya hampir tak pernah tahu luka yang Rafa rasa. Ia tumbuh menjadi laki-laki berpostur menjulang. Kulitnya berbeda dengan kebanyakan anak seusianya. Di dalam darahnya, mengalir darah Denmark dari ayahnya. Rafa, seorang remaja yang membutuhkan perhatian. Bukan hanya uang sebagai kompensasi pengganti kasih sayang.

Keluarganya nyaris sempurna. Ayah yang rupawan, ibu yang menawan dan harta yang bergelimang. Tapi, Rafa dewasa oleh keadaan. Ia kehilangan kompas alamiahnya. Tak mengerti arah, hanya mengikuti arus gelombang di sekitarnya. Di usia yang terbilang sangat belia, Rafa sudah mengenal rokok. Lebih jauh lagi, ia terjebak oleh pergaulan yang salah arah.

Aku bertemu Rafa ketika usianya masih 11 tahun. Kala itu, Rafa masih terlihat polos. Tak ada cat yang menghiasi rambutnya. Wajahnya sangat tampan dan ia termasuk anak yang menyenangkan. Sebagai guru IPA, Rafa adalah pelajar yang cukup baik. Tidak pernah mengeluh dan rajin mengerjakan tugas-tugasnya. Kritis, khususnya pada beberapa materi pelajaran yang dia sukai.

Keadaan mulai berubah. Sejak Rafa mengenal pergaulan yang lebih luas lagi. Bahkan aku hampir tak mengenalinya sebagai Rafa, siswa yang selalu membuat gurunya tersenyum. Aku melihat telinga kanannya berhiaskan anting hitam dan rambutnya berganti menjadi abu-abu. Dalam kurun waktu dua tahun, sejak kali terakhir aku mengajarnya di kelas enam, aku melihat sisi Rafa yang berbeda.

Meski bukan lagi tugasku untuk mengajar Rafa, aku menanyakan kemajuan belajarnya. Aku cukup terkejut mendengar label negatif rekan-rekanku yang diberikan kepada Rafa. Bolos, terlambat, tidak mengerjakan tugas, dan masih banyak laporan yang membuat dadaku semakin tak menentu. Lebih parahnya lagi, salah satu guru menginformasikan bahwa rafa menyukai pembahasan yang berbau tentang pornografi. Ada apa dengan Rafa? Mengapa ia terlihat berbeda?

Fikirku tak bisa diam. Seminggu sudah ku lengkapi infromasi mengenai Rafa. Ku temukan pola yang sungguh di luar penalaran. Ayahnya bekerja di luar kota sehingga banyak waktu yang dihabiskan rafa tanpa ayahnya. Sementara itu, ibunya cukup hektik dengan kegiatan yang melibatkan namanya. Rafa memiliki banyak saudara, dan ia adalah salah satu anak tertua yang tinggal serumah. Rafa memiliki pergaulan yang sulit dikendalikan. Apa lagi ia telah mengenal dunia malam. Rafa sangat famous dikalangan gadis-gadis belia. Bahkan, untuk gadis-gadis di luar sekolah kami.

Akar dari masalah Rafa adalah kurang kasih sayang ke dua orangtuanya. Ia rindu. Hanya saja, mereka tidak menangkap sinyal kerinduan Rafa. Ia besar dengan panduan gawai. Luput dari perhatian sekitar. Orangtuanya sudah lupa, bagaimana dulu ia bangga menimang Rafa. Mungkin saat mereka sadari, semuanya sulit untuk diperbaiki.

Senin siang, aku berpapasan dengannya di dekat ruang guru unit dua. Ku dekap moment ini dengan perbincangan hangat, yang biasanya kami lakukan dulu. Ia masih terlihat sopan. Perbedaannya, hanya fokus yang mudah menghilang. Ku sampaikan sepenggal pesan moral yang dibalut dengan humor ringan. Ia mengangguk kecil. Lalu menepuk bahuku untuk berpamitan pulang. Kejadian serupa datang berulang. Sampai ikatan antara kami kembali datang.

Selang beberapa bulan, kabar mengejutakan manampar keras keakuanku. Divisi psikolgi menyampaikan kabar, kenakalan Rafa yang sudah di luar batas. Melalui pesan singkat, aku mendapatkan undangan untuk berdiskusi mengenai penyelesaian masalah Rafa. Selama lebih dari 60 menit kami berdialog membahas teknis mengenai bagaimana cara memberitahu Rafa dengan benar. Poin utamanya adalah moral yang sudah dilawan. Motivasi belajarnya menjadi turun tajam, bahkan ia terlihat gelisah sepanjang waktu. Dalam menjalin sebuah hubungan, Rafa melampaui batas antara perempuan dan laki-laki. Hatiku menceos. Tak memahami transformasi apa yang ia sudah lakukan. Aku menjadi volunteer untuk berbicara dengan Rafa. Sementara bagian psikologi akan berdiskusi dengan kedua orangtuanya.

Kesokan harinnya, aku mengirimkan pesan singkat untuk Rafa. Bak seorang kakak, aku mencoba membuka diskusi. Tak lama setelahnya diskusi berganti ke alam sadar. Kami bertemu di mushola sekolah yang berukuran kecil. Saat kehilangan arah, sangat mudah bagiku untuk membuka mulutnya. Tanpa ada jarak, Rafa menceritakan semua masalahnya, secara lengkap. Mulai dari penyalah gunaan obat-obatan, dunia malam, pertemuan dengan soerang gadis, sampai pada permasalahan yang sedang membelitnya sekarang ini.

Mulutku mendadak membisu. Aku melihat remaja yang rapuh menangis tersedu-sedu. Ia mencoba dengan keras untuk menyelesaikan semua masalahnya. Secara finansial, ia sudah berjuang. Bahkan SPP dua bulan sudah ia hanguskan. Suaranya pecah saat ia menceritakan bagaimana ia menjual barang-barang pribadinya untuk mendapatkan tambahan uang. Ia memelukku dengan kencang. Aku mengusap punggungnya pelan-pelan. Dalam isak tangisnya, terdengar nada penyesalan yang tegas. Mulutnya mengucap kata maaf. Seandainya waktu bisa di putar?

Seorang remaja telah patah. Rafa hanya menunduk lesu. Aku berusaha menenangkannya. Tiba-tiba suaranya bergema, “Seandainya ayah disini?” Jeritan hati yang selama ini dia pendam. Tumpah. Aku melihatnya mengusap air mata. “Kamu bisa bercerita dengan bunda, nak.” Hiburku. Rafa menggeleng dengan cepat. Di sisa waktu kami siang itu, hanya diisi dengan penguatan diri. Memastikan Rafa tidak putus asa. Setelah Rafa terlihat sedikit tenang, ku berikan beberapa panduan yang mungkin sulit untuk dilakukan. Rafa mendengarkannya dengan seksama, meski ada sembab yang menghiasi wajahnya.

Sendainya jeritan Rafa terdengar, orangtuanya pasti akan tercengang. Mamah, papah, kalian dimana? Kalimat ini pasti terngiang difikiran Rafa. Tanpa arah yang jelas, ia telah terjerumus jatuh ke dasar jurang. Seorang pemuda yang berjuang menaklukan dunia telah kalah karena minimnya dukungan orangtua. Mamah, seandainya kamu dengarkan sedikit saja cerita Rafa. Mungkin ia tidak salah mengambil langkah. Papah, seandainya kau berikan pelukan hangat meski dari kejauhan, Rafa akan tumbuh menjadi anak yang bermental kuat.

Keesokan harinya, mamah Rafa hadir di sekolah. Seorang wanita paruh baya yang terlihat seperti primadona. Ia memasang defence yang cukup rapat. Semua masukan sekolah ia bantah. Kami menarik napas perlahan. Dengan senyum yang menenangkan, sekolah mengeluarkan senjata pamungkasnya. Layaknya bom nuklir yang mengantam Hirosima dan Nagasaki saat perang dunia ke 2, wanita berambut ikal di depanku terhuyung. Ia seakan tak percaya, akan apa yang dialami oleh putra kebanggaannya. Matanya bergerak tak menentu. Ia terlihat linglung.

Dengan suara yang terbata, ia memanggil nama anaknya. Sekali lagi, ia masih tak percaya. Kami sodorkan bukti yang menggambarkan perbincangan Rafa dengan kami. Ibunya tertunduk terdiam. Ia sudah tak kuasa melanjutkan cerita tentang Rafa. Ia meminta izin pulang dan melanjutkan esok tepat dimana hari ayahnya Rafa datang.

Esok harinya, keluarga Rafa lengkap. Ayahnya yang bersikap logis mengambil alih permasalahan Rafa. Komitmen yang dibuat sekolah dan orangtua telah tuntas. Terapi dan pengawasan akan dilakukan oleh orangtua. Membersamai keberhasilan program, sekolah tak cuci tangan dengan pendidikannya. Seandainya ini dilakukan lebih awal, Rafa tak akan patah.

Seminggu penuh Rafa ditemani ayahnya. Terapi dan penguatan dilakukan secara rutin. Penyelesaian setiap kasus Rafa menjadi urusan keluarga. Ayahnya terlihat sangat bijak dalam menghadapi kasus yang menimpa Rafa. Wajar Rafa mengidolakan sosok ayahnya itu. Selang dua minggu berlalu, kulihat Rafa sudah kembali ke sekolah. Kali ini tanpa adanya rasa kekhawatiran yang berlebihan. Meski dengan terapi yang berjalan, Rafa terlihat bersungguh sungguh menjalaninya.

Tak akan kembali nasi yang telah menjadi bubur. Yang perlu kita sadari, bubur memiliki kesempatan yang sama lezatnya dengan nasi. Komitmen ini lah yang selalu dipengan teguh oleh lembaga kami. Tak perlu menyalahkan siapapun, bahkan harus mengorbankan hak siswa untuk sekolah. Mari bersama-sama menghadapinya. Kalo bukan kita yang memulai, siapa lagi? Haruskah mereka berhenti mengeyam pendidikan, lalu mengubur semua mimpi-mimpinya lebih dalam?

Refleksi

§ Melalui kisah Rafa, penulis mengajak pembaca untuk merenung sejenak mengenai pentingnya peran orangtua. Kehadirannya tak akan pernah terganti. Seorang anak perempuan akan tumbuh menjadi kuat dengan kasih sayang seorang ayahnya. Sementara itu, seorang anak laki-laki akan menjadi penyayang karena pola asuh ibunya. Untuk membentuk anak yang istimewa, mari kita tingkatkan ke dua peran orangtua dalam pendidikan putra putri kita bersama.

§ Tidak dibenarkan memberikan lebel negatif kepada peserta didik. Sebaliknya, kita perlu menyadari besarnya peran guru untuk memberi bimbingan dan arahan kepada setiap peserta didik.

§ Kasus Rafa adalah salah satu dari sekian banyaknya kasus remaja patah yang disebabkan minimnya peran orangtua. Jadilah orangtua yang cerdas, dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk berfikir kritis. Pandulah mereka dalam menggapai mimpinya, minimal mereka teredukasi mengenai baik dan buruknya suatu keputusan.

§ Untuk setiap lembaga bergengsi. Apakah sekolah hanya menerima siswa yang berprestasi? Lalu kemana sebagian dari mereka akan pergi? Undang-undang sistem pendidikan nasional menerangkan hak yang sama untuk setiap warganya dalam menempuh pendidikan. Tapi terkadang kitalah yang menghilangkan kesempatan mereka. Apakah kita akan mengeliminasi setiap siswa “istimewa” demi sebuah label sekolah favorit? Ah, rasanya ini perlu dievaluasi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yg membuat sy merinding pak, semoga Rafa segera kembali seperti semula. Sukses selalu dan barakallah

04 Nov
Balas

Alhamdulillah Ibu.. kondisi ya Rafa (nama yg disamarkan) sudah jauh membaik, Ananda skrg kelas 11

04 Nov

Sungguh kisah yang bagus dan sangat mendidik sekali

04 Nov
Balas

Terimakasih in atas complement nya...

04 Nov

Tulisannya sangat mantul (mantab betul) Pak. Smga bsa mmbuka mindset para org tua jg qt sbgai guru jngn pernh mnyerah untuk trus brupaya brperan mmbntu ank2 yg "istimewa". Sukses selalu y Pak. Slm literasi!

04 Nov
Balas

Aamiin... Terimakasih telah membaca Tulisan ini buk. insya alloh Kita fight untuk anak2.

04 Nov

wah.bukanlah tulisan biasa-biasa saja tapi luar biasa. sukses selalu pak

04 Nov
Balas

Aamiin... Terimakasih Pak telah membaca Tulisan ini

04 Nov

Mantap pak sekarang sudah ada program pendidikan keluarga dimana sekolah mengikut sertakan orang tua dlm setiap kegiatan disekolah jadi orang tua bisa terlibat langsung dalam tumbuh kembang peserta didik

04 Nov
Balas

Terimakasih Ibu. Betul, alhamdulillah di mulai bbrp tahun yg lalu sdh Ada Direktorat Keluarga. harapnnya dg tulisan2 ini, dapat meningkatkan kesadaran orangtua. Semoga.

04 Nov

Aamiin tetap optimis

04 Nov
Balas

Luar biasa...cerita Rafa pasti ada disetiap sekolah.Terimakasih bu...Akan jadi pelajaran buat kami.

04 Nov
Balas

Betul Ibuk.. masih banyak Rafa2 yg lain, semoga Kita masih bs membersamai mereka dlm kondisi apapun. Terimakasih sdh memberi komentar dan membaca tulisan ini

04 Nov



search

New Post