Anis Mubsiroh

Aku adalah seorang ibu rumah tangga yang juga mengabdikan diri kepada dunia pendidikan, memiliki 5 orang putri cantik, dan 1 orang putra tampan. Aku lahir di J...

Selengkapnya
Navigasi Web
Awal Pertemuanku dengan cinta yang Kedua

Awal Pertemuanku dengan cinta yang Kedua

Sudah satu bulan aku berada di Kairo, masih terbersit bayangan IPDA Bimantara sang perwira di pikiranku, kucoba mengunjungi akun facebooknya, ku lihat beberapa foto teman wanita Bimantara yang paras n fashionnya sangat mempesona, mahasiswi kedokteran Unair, mahasiswi hukum UGM, mahasiswi psikologi UI, dan masih banyak lagi teman perempuannya dari universitas negeri ternama di negaraku, sungguh pemandangan yang menciutkan hatiku, tak mungkin seorang perwira polisi akan tertarik kepadaku, apalagi sampai jatuh cinta kepada seorang gadis biasa saja seperti diriku, bukan orang berada, dan hanya lulusan pesantren, lulusan sekolah yang di anggap sebagian orang kurang bermutu, selain itu tak pernah lagi aku dapatkan kabar dari ibu Fitri yang dulunya sangat memperhatikanku. Akhirnya dengan keyakinan aku putuskan tak ada lagi cerita antara aku, perwira polisi, dan ibu Fitri, ku anggap pertemuan kita waktu itu hanya sedikit selingan cerita hidup yang harus aku lewati sebelum keberangkatanku menuntut ilmu.

Aku merasa lebih tenang, kini aku bisa menjalani hari-hariku dengan penuh semangat, konsentrasi dalam belajar, dan mengikuti materi perkuliahan dengan sungguh-sungguh. Belajar tafsir Al-Qur'an, murojaah, belajar tafsir hadist, belajar tarikh Islam, belajar, belajar, dan belajar, sungguh sangat menyenangkan.

Sunggu aku berharap mendapatkan hasil yang memuaskan dari kegigihanku, Akun tidak ingin mengecewakan keluargaku, harus aku tunjukkan kepada mereka kalau aku adalah anak yang bisa mereka banggakan, setidaknya bisa membuat mereka bahagia, agar tak sia-sia perjuangannya selama ini mendidikku.

Berkat kerja kerasku selama ini akhirnya selain mendapat beasiswa dari universitas aku juga mendapatkan beasiswa dari lembaga lain, yaitu Bayt Zakat karena prestasi yang selama ini aku raih.

Tiga tahun sudah aku berada di tempat ini, tempat dimana aku menimba ilmu, bertemu dengan orang-orang hebat, dan sahabat-sahabat yang menyayangiku.

Seperti Hilwa, sahabat yang sangat menyayangiku, Hilwa adalah gadis imut yang sangat manja padaku meskipun kita seumuran, dia selalu memanggilku dengan sebutan kakak ipar. Sungguh tingkah Hilwa yang kekanak-kanakan dan lebay (terlalu berlebihan) membuat aku selalu tertawa riang.

Hilwa adalah salah satu putri kiayi besar yang ada di Jawa timur. Ning Hilwa begitulah biasanya mbak-mbak santri di pesantren yang di asuh orang tuanya memanggil Hilwa.

Hilwa sangat ingin menjodohkan aku dengan kakak kandungnya, Elfaz Al Mubarok namanya, Gus Elfaz panggilannya, Gus Elfaz lulusan S2 Syariah di universitas ini, dan saat ini beliau menjadi dosen strata dua di universitas negeri Islam yang ada di negaraku.

Lagi-lagi seseorang ingin menjodohkanku dengan orang dekatnya. Tentu kali ini aku tak mau terbawa rasa, karena aku sudah putuskan untuk tidak terlibat cinta, sampai pendidikanku di negara ini selesai.

Kini sudah tahun ke empat aku berada di negara ini, kuliahku telah usai, aku telah mendapatkan gelar LC, dan satu minggu lagi aku akan pulang ke negara asalku.

Meski masih satu minggu lagi aku pulang, aku mulai berkemas agar tak ada barang-barang ku yang tertinggal, Hilwa yang satu asrama denganku juga demikian, kami sama-sama berkemas. " Kak Nabila...kakak iparku sayang... Gus Elfaz mengatakan padaku siap melamarmu setelah kamu sampai di tanah air..." Celetuk Hilwa menggodaku. Gadis itu memang sangat humoris, hingga semua celotehnya mampu membuat aku gemes dan tertawa.

"O...iya.... Coba kalau berani suruh dia datang langsung bawa mahar ya..." Jawabku dengan guyonan. Hanya guyonan, karena jujur meski Hilwa sangat terobsesi menjadikanku kakak iparnya, hatiku tak pernah bergetar, meski aku tau Gus Elfaz pria yang cerdas, pintar, tampan, dan menawan. Karena tak pernah terbersit di pikiranku dia akan menyukaiku, dia adalah putra ulama besar, punya pesantren yang besar, dan karir berda'wah yg bagus. Jadi tak mungkin kita berjodoh seperti yang Hilwa inginkan, karena perbedaan sosial kita sangat jauh. Dan selain itu hatiku juga tak akan pernah lagi memikirkan sebuah perjodohan semu.

Hari ini tiba waktunya kami pulang, aku dan Hilwa sudah bersiap di bandara, aku tak sabar kembali ke negara asalku, bertemu dengan keluarga, dan semangat mengamalkan ilmuku.

Alhamdulillah sesampainya di Indonesia nanti aku telah memiliki tawaran kerja untuk mengajar di salah satu universitas swasta Islam di kotaku, dan tawaran mengajar di institut Islam milik keluarga Hilwa, sungguh nikmat yang tak terhingga yang Allah berikan. Aku bisa lulus dengan tepat waktu, pulang ke tanah air dengan membawa gelar LC, dan telah di terima untuk bekerja.

Sepuluh jam kami berada dalam pesawat, kini kami telah sampai di Indonesia, udara alam tropis yang sangat aku rindukan telah aku hirup kembali.

Aku dan Hilwa berjalan penuh bahagia keluar dari bandara, kami ingin segera bertemu dengan kluarga, ketika turun dari eskalator Hilwa bergumam "MasyaAllah ganteng sekali mas polisi itu kak..." Kata Hilwa takjub sambil meremas tanganku ketika melihat seorang laki-laki berseragam polisi yang berdiri tiga meter di sebelah kiri kami. Hilwa memang sangat lucu dan konyol, dan tingkahnya itu selalu membuat aku tertawa, sejenak aku pun melihat ke arah laki-laki tersebut, subhanallah ya memang tampan laki-laki itu.

Di tengah perjalanan kami keluar dari bandara, ku lihat keluar Hilwa sudah menunggu di depan, ada umminya, dan empat orang kakak perempuannya, dan entah siapa lagi, karena banyak sekali yang menyambut kepulangannya. Hilwa berlali meninggalkanku untuk menghampiri keluarganya, memeluk ummi yang begitu dia rindukan.

Aku tidak ingin mengganggu kemesraan Hilwa dan keluarganya , akhirnya aku putuskan untuk berdiam diri di tempatku untuk tidak menghampirinya, sambil menoleh ke kanan kiri mencari keluarga yang menjemputku.

Tiba-tiba aku di kagetkan dengan salam seorang laki-laki memakai baju Koko modern warna hijau lumut, "Assalamualaikum!...." sapanya padaku dengan santun. Tiba-tiba Hilwa mendekatiku dan berkata "ini Gus Elfaz..." Katanya lirih sambil mencubit lenganku

"Waalaikum salam...." Jawabku kemudian dengan menundukkan pandangan, sungguh kaget, Gus Elfaz menyapaku begitu tiba-tiba membuatku tercengang dan jantungku berdebar, berdebar karena rasa malu.

أتَّضَحُ أَنَّ وَجْحِكِ أَجْمَلَ مِمَّا أَخْبَرْتَنِي أُخْتِي

(Ternyata wajahmu lebih cantik dari yang pernah adikku ceritakan) kata Gus Elfaz padaku dalam bahasa Arab.

Kemudian aku pun menjawabnya :

-. شُكْرًا، وَلَكِنْ أَعْتَقِدُ أَنْ النِّسَاءَ جَمِيْلَاتَ أَيْضاً

(terimakasih, tapi aku rasa semua wanita juga cantik)

Aku masih menundukkan kepalaku, sungguh malunya diriku saat laki-laki itu memujiku di depan adik, ummi, kakan perempuan dan sanak saudaranya yang lain.

"Jadi ini kak Nabila yang sering Ning Hilwa ceritakan pada Ummi?..." Kata ibu nyai Zubaidah, ibunda Hilwa memecah suasana yang saat itu sedikit tegang bagiku.

Kemudian aku segera bersalaman mencium tangan wanita separuh baya yang memakai jilbab coklat berkacama itu. "Assalamualaikum ibu nyai" sapaku sambil mencium tangannya.

"Tidak usah panggil ibu nyai... Panggil Ummi saja ya nak!!" kata beliau sambil memelukku.

Aku lihat di tengah obrolanku dengan Ummi Zubaidah, Gus Elfaz meninggalkan kami, dia begitu sibuk dengan telfon genggamnya, mungkin itu wajar karena dia memang orang penting yang banyak kesibukan.

Sementara aku, Hilwa dan umi Zubaidah masih hanyut dalam kehangatan, 20 menit kemudian Ummi Zubaidah berpamitan padaku, beliau ada jadwal memberi kajian Islam pada jamaahnya nanti malam, jadi beliau diharuskan untuk segera pulang.

Keluarga Hilwa mencemaskanku karena sudah satu jam keluargaku belum juga ada yang datang untuk menjemput, tapi aku tidak ingin merepotkan mereka, segera ku persilahkan mereka untuk meninggalkanku, dan kuyakinkan tak perlu cemas meninggalkanku sendirian.

"Aku suruh sopir mengantarmu pulang ya, kebetulan kami membawa dua mobil" kata Ummi Zubaidah penuh perhatian padaku.

"Terimakasih umi, sebentar lagi keluarga saya datang, Monggo Ummi, tidak apa-apa pulang duluan." Jawabku.

"Sebenarnya umi takut, calon menantu Ummi ini dicuri orang kalau di sini sendirian" goda Ummi Zubaidah padaku sambil tersenyum. Tak sengaja aku melihat Gus Elfaz pun melirikku saat Umminya mengatakan hal itu, segera ku tundukkan pandanganku, sungguh ada rasa malu di hatiku.

Akhirnya setelah aku meyakinkan keluarga Hilwa kalau aku baik-baik saja, mereka pun berpamitan meninggalkanku, kita bersalaman dan saling berpelukan "kabari ya nak kalau kamu sudah siap untuk mengajar di pesantren kami, kami akan menjemputmu!" Pesan Ummi Zubaidah sebelum beliau dan rombongannya meninggalkanku.

"Insyaallah umi..." Jawabku sambil kemudian membalas salam mereka semua yang hendak pergi meninggalkanku.

Kini aku sendirian di bandara ini, ku telpon ibuku beliau mengatakan masih dalam perjalanan, karena tadi mobil yang ibuku naiki sempat mogok di tengah jalan.

Aku duduk di kursi tunggu bandara sambil membuka buku islami yang ada di dalam tas selempangku "menjadi wanita paling bahagia" judul buku tersebut, buku yang berisi tentang sejarah wanita-wanita hebat di zaman Rasulullah, ku baca buku itu sembari menunggu kedatangan ibu dan bude menjemputku.

"Terimakasih sudah menjaga semua hadiah yang aku kirim untukmu..." Kata seseorang memecahkan konsentrasiku saat membaca buku "baju syar'i itu, buku itu... Terimakasih karena sudah tak pernah melupakannya..." Ku lihat seorang pria duduk dengan jarak satu meter di sebelahku, pria berseragam polisi yang tadi aku lihat saat aku baru turun dari eskalator bersama Hilwa.

Aku termangu, aku terdiam, aku terheran, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, karena akupun tidak mengenalnya. Sejenak kulihat dia, sepertinya aku pernah melihatnya tapi entah dimana. Dia pun tersenyum padaku, kemudian tak sengaja aku baca nama terang yang terpampang di dada sebelah kanannya IPTU BIMANTARA PRAJAMUKTI.

Sontak aku terkejut, jantungku mulai berdegup kencang, aku terdiam memikirkan kata-katanya... Baju syar'i... Buku itu... iya aku baru menyadari mungkin baju yang aku kenakan saat ini, buku yang aku baca ini adalah pemberian ibu Fitri kala itu, sesuatu yang sudah aku lupakan dan aku kubur dalam-dalam sejak 4 tahun yang lalu, bahkan aku pun telah benar-benar lupa dengan semua pemberiannya, karena telah bercampur dengan barang-barang milikku.

MasyaAllah ku kira telah berakhir ceritaku dengan perwira polisi ini, ternyata tuhan mempertemukan kami setelah aku berfikir tak ada lagi cerita di antara kami.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Novel Lengkapnya udh ada yg cetak bu?

14 Jul
Balas



search

New Post