Anis Sukmawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Kain Tenun untuk Walikota

Selembut kain tenunan Ibu, senja menyapa menyambut datangnya malam beraroma surga. Nampak cerah dibalut awan yang semakin memerah. Kerudung bersulam pita itu nampak terkulai, lemah dan sayu. Berkali-kali ujungnya terjatuh dari bahu perempuan setengah baya yang sedang merajut sehelai kain digenggamannya. Tampak tergesa tapi tetap berusaha teliti dalam setiap rajutan benangnya.

“Istirahatlah Bu, hari semakin gelap”,pintaku pada Ibu.

“Ia Hanum, sebentar lagi selesai. Kau tak perlu mengkhawatirkan Ibu.”

Ia pun melanjutkan pekerjaannya tak sedikitpun mengindahkan saranku sama sekali. Tak biasanya ibumemaksakan diri untuk menyelasaikan kain tenunpesananitu. Entah siapa yang memesan hingga dengan begitu semangatnya ibu mengerjakannya. Biasanya tenunan sarung, sulaman dengan berbagai motif yang di sulam di kerudung, baju, korden dan sejenisnya, dipasarkan di pasar. Tak jarang pula Ibu mendapat pesanan dari orang-orang kota yang kebetulan ada kunjungan ke desa kami. Dan melihat potensi di desa kami yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai penyulam, penenun dan ada pula yang khusus menjahit saja. Semua berhubungan dengan benang, jarum, pita dan pernak-pernik lain yang menambah keindahan karya kami. Namun kami bukanlah pemilik dari kain-kain maupun alat-alat tenun itu. Ada juragan besar yang berbaik hati meminjamkan peralatan nya pada kami. Dan kami hanya lah buruh yang memberikan hasil kerja kami untuk dijual ke pasar ataupunke luar kota. Dan hasilnya baru akan kami terima setiap dua minggu sekali. Bahkan satu bulan sekali. Menunggu barang dagangan banyak yang terjual.

Sepuluh menit berlalu, kulihat Ibu masih serius mengerjakannya. Ku pandang dari belakang, rajutannya hampir selesai. Benang yang berwarna hijau muda, kuning dan dipadu dengan warna coklat itu membentuk gambar abstrak pada sehelai kain berwujud syal. Tak mengerti apa makna di balik semua itu. Dalam setiap sulamannya ibu selalu mempunyai maksud tertentu. Namun kali ini agak sulit ditebak. Warna hijau adalah harapan, cita-cita, atau jalan yang diinginkan. Sedangkan kuning dan coklat itu, jika dilihat sekilas maka akan nampak seperti sinar matahari yang mulai redup. Tak terang dan sedikit bercahaya.

Imajinasi ku mulai beraksi. Berbagai penafsiran dalam otak ku berputar-putar dan saling menyangkal. Mungkin begini mungkin begitu dan tak kunjung menemukan makna yang benar atau setidaknya mendekati benar. Sengaja tak ku tanya langsung pada Ibu. Ku tak mau menyerah dan takmau berusaha menemukannya sendiri. Jiwa seni yang ada pada ibu sepertinya tak menurunpadaku. Mengharuskanku bersusah payah sendiri untuk menemukan jiwa seperti itu. Termasuk mencoba menafsirkan setiap tenunan yang dibuat ibu. Dalam kesendirian, terkadang aku berfikir kenapa aku tak seperti Ibu, berkali-kali ku belajar menyulam tapi tak sebagus buatan ibu. Bukan aku kurang belajar tapi tak ada jiwa seni dalam diriku. Aku lebih suka bermain kawan-kawanku. Mengadakan kegiatan-kegiatan di sekolah dan hampir dapat dipastikan aku selalu yang ditunjuk untuk memimpin mereka. Dari mana jiwa ini berasal? Tak mungkin dari ibu yang pemalu, dan melakukan segala hal dengan perasaan. Lalu siapa? Ayahkah?? ....

Mulai gelap dan malam. Angin semilir merasuk kedalam dinding-dinding rumah yang tak rapat sebagian di makan rayap. Tanganku tergerak untuk menutup pintu depan. Ku berjalan ke teras rumah. Memandang sekeliling sebelum ku tutup pintu. Dua buah kursi reot tanpa meja itu masih disana di pojok rumah. Kalau rumah dikota-kota, diantara kursi itu ada meja yang diatasnya terdapat vas beserta bunga kecil nan indah. Sepasang suami istri duduk sambilmenikmati secangkir teh manis sambil melihat anak-anaknya riang bermain. Tapi kenapa disini tidak. Sejak kecilaku hanya melihat wajah ibu, nenek, kakek dan paman. Lalu kenapa tidak ada ayah? Tak sekali duakali aku menanyakan hal itupada ibu. Dan jawabnya ialah,

“Sedang bekerja di tempat yang jauh.”

“Ayah bekerja apa Bu?”.

“Ayahmu sedang memperjuangkan nasib kita Hanum, nasib rakyat.”

Saatitu aku tak paham dengan apa yang ibu katakan. Selalu begitu jawabannya. Sampai ku ingat yang ke 100 kalinya aku bertanya pada ibu. Dan aku memutuskan untuk tidak menanyakan lagi pada ibu.

Saat itu akuberusia 9 tahun.Sekarang aku sudah18 tahun. Sembilan tahun sudah aku mencoba menghapus kalimattanya tanya itu dari draft pertanyaan yang ku berikan ibu. Ah,, tak ada gunanya memikirkan hal itu. Yang mengganjal adalah ketika setiap orang menanyakan statusku yang tak jelas. Semua mengolokku. Namun cemoohan orang itu tak lagi kudengarkan. Sudah terbiasa dengan hal itu. Walau dalam hati ingin menjerit, berteriak, meneriakkan nama orang biadab yang tak bertanggungjawab atas kelahiranku di dunia ini. Namun ku tahan. Hanya linangan air mata yang terkadang memaksakan keluar dari sudut bola mataku.

Ku balikkan badan dan ku lihat ibu telah selesai menyulam.

“Tutup pintunya hanum”, perintah ibu.

Ia bu,, Bu,,.

Ada apa?

Walaupun pintunya di tutup, sepertinya anginnya tetap masuk.. lewat celah berlubang itu bu,, kataku sambil menunjukkan lubang di selah jendela yang semakin hari makin membesar.

“Ibu memandang ke arahku dan tersenyum. Tenang saja, sebentar lagi kita akan punya rumah yang lebih baik dari ini.

“Apa ibu serius? Rumah dari siapabu? Kita kan tidak punya uang yang cukup untuk membeli rumah?.

“Teman ibu yang memberikannya”.

“Teman? Teman apa? Siapa?”.

“Ini,lihatlah”. Kulihat, sebuah map berisi sertifikat tanah dan rumah. Yang dibeli atas nama Ir. Irawan, MM. Di samping itu ada sebuah tas hitam seperti koper berisi sejumlah uang.Irawan? Bukankah ini nama walikota baru yang baru terpilih kemarin? Pikirku.

“Bu? Siapa dia? Kenapa dia memberikan rumah pada kita ?”

Aku semakin penasaran dan mendesak ibu untuk menceritakan tentang orang itu. Namunibu hanya terdiam.Ingatanku kembali pada 9 tahun yang lalu. Ketika ibu mengatakan bahwa ayahku bekerja memperjuangkan nasib rakyat.Jadi orang itu....

Belum sempat aku mengutarakannya pada ibu.

“Maaf Hanum,, ibu tak berhasil membujuknya untuk mendapatkan statusmu sebagai putrinya. Sebenarnya ibu berencana untuk mengatakan pada semua orang bahwa kau....”

Ibu berhenti berkata sambil menahan dan mengusap air matanya

.

“Dia memberikan rumah dan menjamin semua kebutuhan kau dan ibu dengan syarat ibu harus tutup mulut dan menutup semua kebenaran ini dari masyarakat. Dia takut nama baiknya akan tercemar. Dia tak ingin anak istrinya tahu bahwa ia pernah menikah siri dengan ibu dan kau,,kau adalah buah cinta kami”.

“Hanum tak akan pergi dari rumah ini Bu. Biar aku kedinginan seperti ini. Yang penting tidak mengemis mengharap belas kasih dari orang seperti dia. Dan syal ini,apa akan ibu berikan padanya?”.

“Ia, syal itu curahan hati ibu, dimana harapan yang pernah ibu cita-citakan dulu, belum sempat terwujud dan justru terkubur,terbenam seperti matahari berwarna merah kecoklatan yang kembali pada peraduannya. Harapan ibu pupus. Hanyasatu harapan ibusekarang yaitu kau. Apapun akan ibu lakukan untuk memberikan kehidupan yang layak bagimu.”

“Jadi menurut ibu dengan rumah mewah itu kehidupanku akan semakin membaik?Apa itu cara seorang pejuang nasib rakyat untuk memberikan penghidupan yang layak pada rakyatnya?

Untuk kali ini dengarkan Hanum Bu, hanum tak rela jika ibu menjual kehidupan kita padanya. Hanum butuh ayah bukan rumah mewah. Apa dia pikir kebenaran ini bisa selalu di beli denganuang? Dengan kekayaan? Kita harus tetap berada disini. Bekerja untuk mendapat penghidupan yang lebih baik tanpa harus mengemis pada penguasa seperti dia.”

Begitulah aku yang tak rela jika sebuah kebenaran harus tersembunyi dibelakang lipatan rupiah yang nilainya tak lebih besar dari nilai-nilai kehidupan.

(Cerpen ini telah diterbitkan di loker seni, kategori cerpen kritik sosial, Jumat, 28 Juni 2013)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Haru biru Bu Anis. Keren banget bu. Saya menunggu cerpen berikutnya ya.

03 May
Balas

Hehee.. Masak sih pak,, sudah lupa bgaimana sya bisa membuat ini.. Requestnya diusahakan deh.. ;-)

12 Jun
Balas



search

New Post