Tubuh kurus keringku memberi signal laksana ponsel pintar yang mendeteksi keberadaan tempat lewat peta pintar. Signal itu datang tanpa kuundang dan memberi peringatan bahwa kamu sedang tidak baik-baik. Aktivitas yang kulewati semuanya tanpa jiwa hanya sekadar menunaikan kewajiban.

Aku terlihat gelisah tak menentu dan hampir seperti kehilangan akal memikirkan apa yang belum diketahui dan akan terjadi tapi seluruh tubuh ikut melindungi agar berhati-hati dalam bertindak. Tuhan, aku benci terjebak pada keadaan yang kacau. Diam bukan, kerja pun tidak fokus. Ingin bicara tapi tak tahu pada siapa yang layak dan apa yang mau dibicarakan. Dalam kekalutan yang mendalam air mataku membawahi wajah pucat yang belum mengisi nutrisi sedikit pun pada tubuh ringkih ini. Kubangkit melawan reaksi tubuh bergerak membawasi tubuh dengan air yang menyejukkan dan pasrah padaNya. Aku tertidur hingga azan Subuh memanggil dan aktivitas telah menunggu, hatiku terasa lapang.

"Dasar, nggak tahu diuntung, tidak tahu terima kasih sampai tega dan nggak punya hati, sadar dan jangan merusak dan menghancurkan nama baik orang dan membunuh karakter orang yang sudah berbuat baik untuk kamu," ujar rekan-rekanku yang memberondong tuduhan yang tak kuketahui. Mereka mengusirku dengan kejam dan aku tak punya kesempatan untuk membela diri bahkan menjelaskannya. Aku ingat reaksi tubuhku dalam dua Minggu ini dan hanya bisa pasrah padaMu.