Desir angin menyadarkan keberadaan aku tak dikehendaki. Selama ini cuma untuk dimanfaatkan saja demi kemudahan menggapai sebuah jabatan. Deg, rasa marah memuncak di kepala begitu picik cara berpikir masih sama seperti zaman kolonial ya, cukup dengan menjulurkan lidah tidak apa bila harus menelan apa yang telah diucapkan. Yang buat miris pemutarbalikan fakta yang membuat tubuh ini lunglai. Mengapa sampai pada titik rela sukses meskipun harus melibas banyak orang meskipun harus kehilangan harga diri.

Pertemuan ku dengan seseorang yang tak diinginkan terjadi. Tiada canda tawa tegur dan sapa yang ada pura-pura tidak melihat sibuk dengan gawai masing-masing. Hingga aku dulu yang harus masuk meninggalkan seseorang yang cukup dekat beberapa waktu tapi kini jauh sekali karena ketamakan dan kelicikkan. Sudahlah untuk apa disesali toh, setiap orang punya pilihan untuk sukses apapun versi dan cara tak boleh turut campur. Setelah cek semua kesehatan aku akan meminta maaf padanya dan berjanji menjalin tali yang telah putus. Saat aku mau masuk ke ruang laboratorium terdengar suara amarah dia yang mencaci maki diriku mengapa harus bertemu. Semua sumpah serapahnya ia lontarkan untukku. Kebenciannya menggunung, amarahnya melangit. Aku urung masuk ruang lab memutar haluan ke kantin sambil melihat keberadaannya sudah selesai belum. Niatku untuk menegurnya duluan seketika sirna. Tapi, langkah kakinya pasti menuju ke kantin. Kesempatan inilah yang akan digunakan untuk meminta maaf. Ternyata ia dipanggil oleh petugas lab.

Terjebak dalam pertikaian sungguh membuat pikiran terganggu. Seharusnya aku yang marah nama baikku tercemar. Tapi malah fitnah bertebaran di mana-mana. Persahabatan itu masih belum dapat dipulihkan masih banyak benih-benih kebencian. Hatiku semakin sesak kulantunkan zikir untuk melegakan rongga dada. Tuhan, ujian hidup ini beraneka, kuatkan untuk melewati.