ARIFIN

Arifin terlahir di Jepara pada tahun 1973. Dia anak kampung. Untuk menyelesaikan pendidikan di tingkat SD, dia rela tidak memakai sepatu hingga dia duduk di kel...

Selengkapnya
Navigasi Web
GURU DAN KACA SPION

GURU DAN KACA SPION

Beberapa waktu lalu sempat beredar secara viral cerita lucu tentang sejarah palsu terciptanya kaca spion. Menurut cerita yang beredar di media sosial facebook dan Whats App tersebut, penemu kaca spion adalah Prapto dan Yono, pemuda asal Kemranjen Banyumas. Pada tahun 1908 Prapto dan Yono sedang mengendarai mobil zaman dahulu yang masih belum ada kaca spionnya menuju kota Solo. Setiap kali hendak mendahului kendaraan atau berbelok, Prapto meminta Yono untuk menengok ke belakang dan bertanya, “ sepi Yon ? ....sepi Yon? “. Singkat cerita, sejak saat itu kaca yang dipasang di sisi kanan kiri mobil untuk melihat ke belakang di sebut kaca spion. Itulah versi lucu dari cerita ditemukannya kaca spion.

Sejarah sebenarnya tentang penemuan kaca spion adalah sejarahnya Dorothy Levitt dan Elmer Berger. Pencetus ide kaca spion adalah seorang perempuan bernama Dorothy Levitt. Tahun 1906 Levitt menulis buku Woman and The Car. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa perempuan sebaiknya membawa kaca kecil saat menyetir mobil dan meletakkan kaca itu di tempat tinggi agar bisa melihat ke belakang mobil.

Ide kaca spion ini kemudian dikembangkan oleh Elmer Berger pada tahun 1911. Ia memproduksi kaca spion untuk mobil-mobil masyarakat luas. Kemudian , kaca spion semakin berkembang menjadi kaca spion di samping kanan dan kiri mobil untuk melihat arah belakang.

Inti tulisan ini sebenarnya bukan tentang sejarah kaca spion, tetapi tentang sebuah sindroma yang dapat digambarkan dari fungsi kaca spion, yaitu sindroma cinta masa lalu. Sindroma yang membuat seseorang atau institusi selalu melihat ke belakang. Sindroma yang mendorong seseorang untuk berfikir , meniru , terkesima dengan masa lalu dan tidak mau berinovasi. Sindroma ini bisa menjangkiti siapa saja, termasuk guru dan manajemen sekolah.

Guru bisa terjebak pada bingkai berfikir ala kaca spion. Guru yang terjebak cara berfikir semacam ini sulit diajak berubah. Dari tahun ke tahun cara mengajarnya sama karena guru berprinsip bahwa cara mengajar pada zaman dahulu masih cukup baik untuk diterapkan pada saat ini.

Cara menyelenggarakan program dan kegiatan di sekolah juga cukup meniru tradisi-tradisi yang sudah dijalankan oleh para guru terdahulu. Tidak perlu merubah tradisi yang sudah terbentuk walaupun zaman sudah berubah. Mereka berjalan ke depan namun senantiasa melihat ke belakang. Inilah yang dimaksud dengan Sindroma Kaca Spion (SKS). Satu-satunya cara untuk bisa menjalankan kegiatan hari ini dan hari esok adalah dengan jalan mempelajari dan meniru tradisi yang sudah lewat tanpa ada kreasi baru.

Saya pernah mengamati seorang guru mengajar di kelas. Dari awal jam pelajaran hingga akhir lebih banyak duduk di belakang meja guru. Hanya beberapa kali beliau berdiri untuk menuliskan sesuatu di papan tulis. Salah satu alat pelajaran favoritnya adalah penghapus kayu yang selalu dia pukulkan ke meja. Perintah-perintah dia kirim melalui ketukan penghapus. Para siswa diam, duduk, dan dengan tekun menuliskan sesuatu berdasarkan perintah. Lalu saya tanya kepada kepala sekolahnya, apakah gaya mengajar guru tersebut selalu begitu ? Kepala sekolah mengiyakan sambil memuji bahwa guru tersebut termasuk guru senior yang bagus mengajarnya dan beliau lakukan hal yang sama selama bertahun-tahun. Ketika era digital hadir, kelas sudah dilengkapi dengan LCD dan Wifi, cara mengajarnya tidak juga beranjak berubah.

Saya juga mengamati cara sekolah menyelenggarakan program dan kegiatan, baik kegiatan intra kurikuler maupun ekstra kurikuler misalnya kegiatan Pramuka, upacara, dan lainnya. Kegiatan upacara bendera dari tahun ke tahun dilakukan dengan cara yang sama, tanpa ada improvisasi.

Setiap hari Senin para siswa wajib berkumpul di lapangan upacara , berbaris menghadap tiang bendera, mengikuti rangkaian acara upacara. Dari Senin ke Senin rutinitas upacara berlangsung tanpa ada improvisasi, seolah upacara itu menjadi semacam ritual ibadah yang tabu bahkan haram untuk ditinggalkan atau diselingi dengan kegiatan lainnya. Karena zaman dulu upacara dilakukan dengan cara seperti itu maka sekarang pun harus begitu, tidak boleh dirubah.

Sekolah sebenarnya boleh saja mengatur jadwal upacara secara selang-seling. Misalnya, Senin minggu pertama melaksanakan upacara dan senin berikutnya diisi dengan kegiatan yang lebih kreatif, misalnya pentas seni atau orasi siswa. Selain bisa mengurangi kebosanan siswa, pengaturan semacam ini juga bisa menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas siswa. Siswa bisa mengekspresikan pendapatnya secara bebas di mimbar orasi, bisa menyampaikan kritik konstruktif bagi kemajuan sekolah. Siswa juga bisa mengeluarkan daya kreasi seni atau keunikannya di pentas budaya hari senin tersebut.

Selain kegiatan upacara, satu kegiatan sekolah yang minim sentuhan perubahan adalah Pramuka. Para siswa banyak yang mengeluhkan tentang muatan kegiatan pramuka. Kegiatan pramuka dari waktu ke waktu hanya berhenti pada tepuk tangan, menyanyi, upacara, dan baris - berbaris. Tidak ada kreasi baru yang menarik minat siswa untuk aktif dan senang beraktivitas di wadah pramuka.

Inilah beberapa contoh pengelolaan kegiatan sekolah yang masih terjebak oleh bingkai “berfikir ala kaca spion”, selalu melihat ke belakang dan mengikut ke praktik sebelumnya. Padahal kalau kita membaca pepatah China, ada ungkapan, “ we can not step into the same river twice”. Sebagaimana sungai, kehidupan dengan aneka perniknya ini setiap jam bahkan setiap detik terus berubah atau berganti. Kita tidak mungkin menginjak air yang sama di air sunga yang selalu mengalir.

Sayangnya, sangat sedikit guru yang berani mendobrak tradisi kegiatan sekolah ala kaca spion ini. Sedikit guru yang berupaya menggoyahkan apa yang telah mapan serta membelenggu pikiran dan praktik pendidikan di sekolah. Sedikit guru yang berani menantang dan mempertanyakan semua otoritas pendidikan dan kebiasaan sekolah yang sudah bertahun-tahun berjalan, termasuk kebiasaan guru itu sendiri dalam mengelola pembelajaran.

Sekarang ini kita butuh guru yang memiliki keberanian untuk melompat ke wilayah pikiran yang tidak diketahui. Guru yang memiliki fresh mind, yang berani menawarkan hal-hal baru yang lebih segar, yang berani membersihkan pikiran dari “kotoran-kotoran “ masa lalu dan mencobakan hal-hal baru dalam dunia pendidikan. Guru yang berani melakukan trial and error. Guru yang berani berfikir dan melakukan sesuatu tanpa mengkerangkakan. Begitu ada ide segera dilaksanakan sambil melakukan konseptualiasasi sehingga memunculkan best practice baru. Wallaahu a’lam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sekarang ini kita butuh guru yang memiliki keberanian untuk melompat ke wilayah pikiran yang tidak diketahui. Guru yang memiliki fresh mind, yang berani menawarkan hal-hal baru yang lebih segar, yang berani membersihkan pikiran dari “kotoran-kotoran “ masa lalu dan mencobakan hal-hal baru dalam dunia pendidikan. Setuju Pak ... shiiipps ...

23 Mar
Balas



search

New Post