Arif R. Saleh

Pekerjaan yang tidak membosankan adalah menulis.......

Selengkapnya
Navigasi Web
Sosok Gentayangan
Sumber : duniaklenik.blogspot.com

Sosok Gentayangan

Bergegas Hendra menuju rumah Kiai Azis. Langkahnya setengah berlari. Gerimis yang turun. Tak dipedulikannya.

Sesampai di rumah Kiai Azis, diketuknya pintu rumah. Cukup keras.

“Assalamu’alaikum Pak Kiai!”

“Wa’alaikum salam….” Terdengar suara lembut.

“Minta tolong Pak Kiai. Istri saya….”

“Kenapa istrimu, Hendra?”

“Sekarat! Mulai tadi sore tubuhnya kejang-kejang. Berteriak tak karuan”

“Astaghfirullah hal adzim….”

Kiai Azis segera pamit ke Bu Nyai. Bergegas menuju rumah Hendra. Jalanan mulai basah. Tersiram gerimis yang makin deras.

Sesampai di rumah Hendra, hujan lebat tetiba datang. Sangat deras. Disertai kilat menyambar dan kalang kabut gerak angin. Menerpa pepohonan. Mematahkan ranting-ranting. Merontokkan dedaunan.

Keadaan sekitar rumah Hendra sepi. Letak rumah menyendiri. Di pinggir kebun karet. Jauh dari tetangga.

Hendra hanya tinggal berdua dengan istrinya. Murni namanya. Sudah tiga belas tahun berumah tangga, belum juga diberi keturunan. Yang lebih tragis, Murni senang selingkuh.

Entah sudah berapa lelaki bujang mencicipi tubuh Murni. Sudah berapa suami orang jatuh ke pelukan Murni. Dasar watak. Meskipun seringkali dihujat. Tetap doyan selingkuh. Meskipun seringkali diingatkan. Tetap kukuh. Senang selingkuh.

****

Hendra dan Kiai Azis menuju kamar Murni. Bau busuk menyengat. Entah bau apa. Dan dari mana. Kiai Azis berusaha kuat menahan. Sedangkan Hendra, sudah terbiasa.

Sudah setahun Murni sakit. Namun tidak terdeteksi sakit apa. Dokter dan dukun juga bingung mendeteksi sakit Murni. Tubuh yang padat, drastis kurus tinggal tulang. Perutnya mengeras. Sekeras batu.

Sudah satu tahun pula, Murni hanya dapat berbaring. Seringkali meronta dan teriak-teriak kesakitan. Hingga Hendra harus rela mengikat kedua kaki dan tangan Murni di ranjang tempatnya berbaring.

Tubuh Murni kembali berontak. Berusaha lepas dari ikatan kedua kaki dan tangannya. Matanya yang cekung menatap tajam Kiai Azis. Bibirnya yang kering terus melenguh.

“Panassss…. Panas Kang Hendra” Lenguh Murni menatap Hendra.

Kiai Azis segera duduk di kursi. Tangannya meraih kitab kecil dari sakunya. Tak lama bacaan Surat Yasin mengalun menembus dinding kamar.

“Hadohhhh!.... hentikan, hentikannn!” Mata Murni melotot tajam menghunjam Kiai Azis. Segera Hendra menenangkan Murni. Tubuh Murni semakin kuat berontak. Menggelinjang. Tak tentu arah. Mulutnya mengerang. Meraung-raung. Hingga lidahnya menjulur ke luar.

Melihat kondisi Murni yang tersiksa sakaratul maut, Kiai Azis menghentikan bacaan Surat Yasin. Segera dihampirinya Hendra. Membisikkan sesuatu ke telinga Hendra.

“Ikhlaskan Murni pergi. Pegangi kepalanya dengan kasih sayang”

Hendra hanya mengangguk pelan. Matanya mulai basah. Bulir-bulir air menetes pelan tak tertahankan. Dari mata yang nampak sayu.

****

Kiai Azis menghampiri Murni. Mata Murni tetap melotot tajam. Mulutnya yang kering, tak henti mengerang. Persis seperti sapi disembelih. Tangan dan kakinya berusaha berontak. Namun belitan yang kuat, tak mampu dilepaskan.

Mulut Kiai Azis komat-kamit. Entah apa yang dibaca. Khusuk menghadap arah kiblat. Dan secepat kilat tangan Kiai Azis membekap mata Murni yang melotot kesakitan sangat.

Tubuh kering dan kaku tampak dadanya terangkat. Lantas kepalanya pelan-pelan rebah di pangkuan Hendra. Gerak dadanya semakin pelan. Pada hentakan entah yang ke berapa. Lenguhan terakhir melepaskan ruh Murni dari raganya. Meninggalkan dunia.

Sesaat setelah Murni mati. Kumandang Adzan Maghrib terdengar dari arah Masjid. Terdengar agak jauh. Hujanpun terhenti. Tergantikan gerimis rintik-rintik.

Selepas sholat Maghrib. Orang-orang berdatangan ke rumah Hendra. Malam itu juga, jenazah Murni dikubur. Tepatnya di pekuburan umum kampung. Dekat jembatan.

Satu-persatu orang-orang meninggalkan gundukan tanah. Tempat Murni beristirahat panjang. Hingga tinggal Hendra dan beberapa kerabat.

Saat Hendra hendak meninggalkan kuburan. Tiba-tiba terdengar tangisan menyayat. Tangisan dari arah kuburan Murni. Kiai Azis segera mendekati Hendra. Menepuk bahu Hendra untuk tetap tabah.

****

Tengah malam nan sepi. Hendra duduk di ruang tamu. Matanya belum bisa dipejamkan. Meskipun tubuhnya letih. Seusai menguburkan jenazah istrinya.

Tiba-tiba suara cicak ramai bersahutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Belum lagi kucing satu-satunya juga gaduh bersuara di luar. Seakan memberi tanda. Entah tanda apa.

Terdengar derit pintu. Dari arah kamar. Hendra segera menuju kamar satu-satunya. Pintunya tertutup rapat. Pelan dibukanya.

“Astaghfirullah….!” Pekik Hendra. Ditenangkan hatinya. Terlihat sosok Murni duduk di tepi ranjang. Menunduk.

“Mengapa kau kembali lagi, Murni?”

Sosok Murni hanya diam. Wajahnya yang pucat menatap sayu.

“Kembalilah ke alammu. Tempatmu bukan lagi di sini”

Sosok Murni hanya menangis. Tidak satupun kata keluar dari mulutnya. Cukup lama Hendra berdiri memandang.

Hendra meninggalkan sosok Murni. Kembali duduk di ruang tamu. Rasa takut tak pernah ada. Sebab semasa hidup pun, Murni seringkali menggoda dengan tingkah aneh. Kadang di luar nalar. Sering tertawa sendiri. Cekiki’an. Persis seperti ketawa hantu gentayangan.

Cukup lama tangis sosok Murni terdengar. Belum juga reda. Hendra dibuat jengah. Akhirnya Hendra meninggalkan sosok Murni sendirian di rumah.

Ditemani sepeda motor butut, Hendra begadang ke Krajan, kampung sebelah. Hingga pagi menjelang.

****

Sepeninggal Hendra ke Krajan, kampung dibuat heboh. Kasak-kusuk ramai membicarakan sosok Murni. Gentayangan memanggil dan mencari Hendra di jalanan kampung. Kasak-kusuk ramai pula. Akibat senang selingkuh. Ruh Murni gentayangan.

Setiap kali Hendra ke Krajan, suara Murni terdengar berkeliling kampung. Mencari Hendra. Membuat warga takut. Apalagi untuk ke luar rumah di malam hari.

Suasana kampung mencekam di malam hari. Sepi menyayat. Jika ada rumah penduduk yang terbuka pintu ataupun jendela, sosok Murni akan berdiri depan rumah mereka. Menanyakan keberadaan Hendra.

Walaupun sosok Murni meneror warga. Tidak satupun warga berani bertanya ke Hendra. Bukannya takut. Hanya sungkan dan kasihan dengan nasib Hendra yang hidup sendiri.

Kabar sosok Murni yang gentayangan sampai pula di telinga Pak Kampung. Hingga ada keinginan untuk membicarakan dengan Kiai Azis.

Malam Senin selepas Maghrib. Ditemani dua warga, Pak Kampung menemui Kiai Azis.

“Aku sudah tahu maksud kedatangan kalian”

“Benarkah Kiai?”

“Ya. Kalian tentunya akan membicarakan teror Murni ke warga kampung”

Pak Kampung dan dua warga hanya terdiam. Tak berapa lama terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah Kiai Azis. Sosok Hendra segera mendekat.

Setelah menjawab uluk salam. Kiai Azis menyampaikan rencana untuk menghentikan teror sosok Murni. Penyebab warga kampung ketakutan di malam hari.

Tak berapa lama, lima orang bergerak ke pekuburan. Satu-satunya kuburan umum yang ada di kampung.

Sesampainya di kuburan Murni. Mereka duduk menghadap kiblat. Kiai Azis memimpin tawasul. Lalu melilitkan surban di nisan kuburan Murni.

“Tolong surban ini tiap hari dilihat. Jangan sampai terlepas hingga empat puluh hari kematian Murni. Insyaallah arwah Murni tenang di alamnya. Tidak dimanfaatkan makhluk gaib lainnya” Singkat Kiai Azis menyampaikan pesan.

Akhirnya kelima orang meninggalkan pekuburan. Tidak ada lagi kata yang terucap diantara mereka. Yang jelas, kampung kembali damai. Tidak lagi diganggu sosok Murni yang gentayangan.

Ujung Akar Bromo. 13.02.2019.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen Pak Arif bagus. Sedikit koreksi, kata "Kyai" menurut KBBI seharusnya ditulis "Kiai".

14 Feb
Balas

Terima kasih koreksinya Pak Edi. Nambah ilmu, barakallah.... Salam takzim

14 Feb

Syerem tapi penasaran sebelum baca sampai akhir. Saya suka susunan kalimatnya pendek-pendek...enak dibaca. Pengin bisa nulis seperti Pak Arif. Barakallah Bapak

14 Feb
Balas

Sekedar menyalurkan aksara yg berserakan Bu Dyahni.... Salam takzim

14 Feb

Untung mbacanya udah pagi...sereem...alhamdulillah..sudah kembali tenang...serem2 kriuuuk Pak Arif...barakallah

14 Feb
Balas

Ini sudah diperhalus. Yg belum diedit lebih syeremmm....hihihihi.... Salam takzim

14 Feb

Judul cerpenx apa bos...kok tragis di akhir cerita

14 Feb
Balas

Sosok gentayangan.... Salam takzim Bu Guru

14 Feb

Waduh seremmm Pak Arif...Sekarang Bu Yanisa ada temannya tuh..Bikin cerita horor ..Semangat pagi. Barakallah...

14 Feb
Balas

Saingan berat tuh....hihihihi... Salam takzim Bu Guru

14 Feb

Semoga, tidak ada lagi Murni murni yang lainnya. Na'udzu billahi min dzalik. Barakallah Pak Arif

14 Feb
Balas

Semoga Pak Haji. Barakallah.... Salam takzim selalu

14 Feb

Pesan bagi yang suka selingkuh. Ihhhh, mengerikan.!. Selamat pak Arief.

14 Feb
Balas

Ngeri-ngeri banget Pak Inspektorat....hihihihi.... Salam takzim

14 Feb

Innalilahi. Dalam sekali. Kiai. Barakallah.

14 Feb
Balas

Njeh Pak Iki ae....hihihihi.... Salam takzim

14 Feb

Wah syerem gimana tuh pak.untung bacanya pagi hari hehe. Salam takzim pak guru

14 Feb
Balas

Tengah malem dibaca lagi ya....ada sesuatunya....hihihihi.... Salam takzim Bu Guru

14 Feb

Alhamdulillah.... akhirnya damai juga kampung Hendra dari teror hantu Murni.. peringatan untuk tidak pada selingkuh ya pak Arif Sukses selalu

14 Feb
Balas

Selingkuh tak senikmat akibatnya....hihihihi.... Salam takzim Bu Guru

14 Feb



search

New Post